Menjauh

4.7K 234 2
                                    






Satu minggu sudah semenjak Rendra memutuskan untuk melepas Kanaya. Satu minggu ini pula pria itu sudah tidak pernah terlihat lagi didekat Kanaya. Bahkan di malam saat keduanya berdebat, malam itu juga Rendra memutuskan untuk balik ke Jakarta tanpa sepatah kata apapun.

Unit apartemen disebelah Kanaya juga sudah kosong tanpa kehadirannya. Hari ini adalah hari minggu. Sudah jam sebelas siang dan Kanaya masih tertidur.

Ngomong-ngomong tentang Kanaya, wanita itu terlihat uring-uringan dan tak punya semangat hidup seminggu belakangan. Pria itu memang benar-benar menghilang dari hidupnya. Kanaya jadi susah fokus, ngatukkan, susah senyum, dan badannya terasa gampang capek. Seolah-olah semua energi positif terserap habis dari tubuhnya.

Drrtttt!!

Deringan ponsel pun mulai membangunkan wanita itu. Kanaya menggeliat sembari mengumpulkan nyawa. Tangannya meraba permukaan nakas untuk meraih benda pipih tersebut.

Dengan mata memicing karena silau, Kanaya mencoba melihat siapa yang menelponnya. Ia pun mengubah posisi menjadi duduk.

Kanaya mengernyit. Tumben Stivano adiknya menelpon jam segini. Apa ia itu sudah membuat keputusan untuk jadi pulang minggu ini?

"Halo?" Sapa pria itu dari seberang sana.

"Hmm, halo Van.."

"Baru bangun?" Tanyanya heran. Setelah menjalankan butik, baru kali ini ia mendengar Kanaya bangun siang.

"Iya." Jawab Kanaya seadanya.

"Gimana kabar kamu? Uang jajan masih cukup kan?" Tanya Kanaya mengalihkan topik.

"Kabar aku baik. Uang jajan juga aman, kan aku juga kerja disini. Kak Naya ga usah lebay transferannya." Sindir Stivano. Kanaya memang suka berlebihan dalam memberi uang. Ya bagus sih, tapi berlebihannya itu loh emang bener-bener definisi berlebihan. Sampai-sampai Stivano sering diledek punya sugar mommy oleh teman-temannya.

Kanaya terkekeh. "Biar kamu bisa hidup senang disana Van, bukan sekedar cukup."

Stivano mengiyakan saja perkataan kakaknya yang suka hiperbola itu.

"Oh iya kak, soal libur kali ini.. Kayaknya belum bisa pulang. Masih banyak tugas yang harus aku urus disini, kalo kerjain disana ga bakal efisien."

Kanaya mengernyit. "Kan libur, kok masih sempet-sempetnya mikirin tugas?"

"Yang libur kegiatan perkuliahnya, kalo tugasnya enggak."

Kanaya membuang napas panjang. "Gitu ya?" Ucapnya dengan berat hati.

"Iya. Emang kenapa? Tumben pengen banget aku pulang."

"Gapapa sih, cuma pengen ada temen aja disini. Bosan sendirian terus." Jujurnya.

"Makanya cari pacar kak. Eh jangan, cari suami aja maksudnya. Bukan level kakak lagi pacaran, tapi harus yang serius, alias nikah."

"Kalo ada calonnya juga udah gas dari dulu Van, tapi kamu tau sendiri belum ada yang pas. Lagian kakak ga mau asal comot cuma gara-gara kebelet."

Stivano tertawa mendengarnya. Kasihan sekali kisah cinta saudara perempuannya itu.

"Yaudah, kalo emang di Indo susah dapetnya, berarti kak Naya harus kesini, siapa tahu jodohnya sama bule bukan sama orang lokal."

"Hahaha, bisa aja kamu."

"Beneran mau sama bule? Nanti aku cariin."

"Udah, kamu fokus ngerjain tugas aja sana,"

"Jadi ga mau nih?"

"Ga mau. Kecuali kamu bawa bule nya kesini baru kakak mau."

"Alesan. bilang aja kakak kangen sama aku terus mau aku pulang sekarang. Ga usah dibumbuin sama bule-bule segala."

BOSS!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang