004

3 2 0
                                    

Usiaku sangat muda lugu, polos dan juga bodoh. Aku masih tidak bisa memahami mana yang harus dilakukan dan tidak dilakukan, sesuai saja dengan firasatku yang menyebabkan kehilangan semua.

Jari kecil menekan mainan bertombol mengeluarkan suara sedang nyaring dan bermelodi ceria. Warna-warni dari tombol itu Menarik jari kecil untuk selalu menekan-nekan.
Sang jari besar tiba-tiba muncul menekan warna biru tua.
Jari kecil berhenti sejenak menatap jari besar itu keatas.
" Anak ayah main apa?" Jari besar mengalih kepada kepala dan mengacaknya pelan.

" Rana main yang ayah beliin kemarin jauhhhh..." Ucap ia lalu jari kecil itu memegang ujung permainan itu.
Bentuk persegi dan sangat ringan untuk di tenteng.

Rian, tersenyum lalu beranjak pergi. Ia menatap ponsel yang sedari tadi berdering. " Aa? Ponselnya bunyi muluk kok ga di matiin?" Rin meletakan lauk ke meja yang sedari tadi ia masak, telinga terlalu sering mendengar suara ponsel Rian. Hampir setiap hari ketika Rian dirumah.

" Rana, makan dulu!" Perintah Rin.

Suasana makan seperti biasa, tidak ribut dan juga tidak terlalu hening, hanya terdengar suara Rana yang mengunyah meminta siap dari sang ayah dan juga bunda.

" Aku pergi ke keluar kota boleh kan?" Tanya Rian membuka pembicaraan.

" Ga bisa tunggu aku lahiran nih aa?" Sendu Rin sambil mengusap perut yang sudah memasuki 6 bulan.

" Tadi di cek! Anaknya perempuan lagi?" Ucap Rin mengalih pembicaraan.

Hatinya getar mengunyah dengan pelan rasanya hambar. Bernafas pelan lalu menelan, Tak tau apa yang ia rasakan saat- saat ini.

Rian hanya diam, wajahnya kesal sudah sekian kalinya ia bercerita namun, selalu di alihkan. " Iya, pergi aja tapi pulang ya pas Rin lahir.." pinta Rin.

Duduk di paling ujung, merasakan angin sore yang sejuk sekali, aku menatap ayah membawa koper besar, wajahnya tampak datar tidak ada rasa perpisahan darinya. Ketika kereta datang, sayang sekali, sang ayah tetap menunjukkan datar.

Bunda,
Bunda selalu berjalan tak ada niatan untuk naik bis, aku yang mengandeng tangan bunda sambil menikmati permen besar ini sungguh heran.
Tangisannya terdengar sudahlah jalan sunyi.

Ia tak ingin ada kata perpisahan namun, tetap menyetujui karena takut alasannya logis dan menyakitkan.

3 bulan berlalu, ia mengotak-atik handphone, pulang pergi mengintip di ruang tunggu kereta. Aku hanya tertawa melihat tingkah lucu itu, kisah aneh tapi aku menyukainya.

1 tahun berlalu , aku mulai bosan, adikku hanya menangis saja yang ku lakukan adalah menjaga adikku yang sedari tadi menangis kencang, bunda juga belum pulang dari kerja. Aku menangis menatap foto yang lengkap ada diriku, ayah, dan bunda. Aku mulai memarahi adik ku dengan kata-kata yang tidak seharusnya.

" Kenapa anda lahir saya kehilangan orang yang saya cintai."

Hanya menangis tak menjawab, menangis kencang hingga bunda datang memeluknya erat menenangkannya.

Bunda melahirkan anak sendirian, ia menangis sejadi-jadinya karena tidak ada yang melihatnya kecuali aku? Apakah aku tidak di anggap? Aku kacau sejak dahulu. Bunda selalu memperhatikan bayi lembut itu dan mengotak-atik handphonenya.

" Bisakah kau lupakan dia?" Ini yang ingin ku keluarkan sejak bayi itu lahir.

Aku tak bisa pergi bermain, sekolah pun aku berhenti tak ada biaya, sulit untuk membaca ceritaku karena terlalu banyak koma. Bahasanya sungguh kacau balau sesuai dengan masa kecilku.
Yang aku harapkan adalah ketika aku pulang sekolah lalu di sambut oleh bunda dan di belikan mainan lagi sama ayah.

Kini, sudah tidak seperti dulu. Dia mengotak- atik ponsel mencari keberadaan yang sudah tidak akan kembali lagi. Bahkan ia melupakan aku yang sudah menyendiri yang ia bisa lakukan adalah menyuruhku dirumah menjaga bayi dan juga membantu sedikit untuk pekerjaan rumah. Aku akan bersekolah untuk masuk SD. TK aku hanya di lewatkan.

Kata-kata itu menyinggung perasaan Rin.

" Kenapa?" Tanya Rin dengan tatapan kosong.

" Karena dia tak akan kembali lagi. Kita sudah tau apa yang terjadi." Jelasku lagi.

" Aku masih mencintainya kami berjanji, dia akan pulang apapun yang terjadi. Baik dia masih waras ATAU GILA SEKALIPUN!!!" Kalimat tekanan itu membuatku kesal dan stres.

" Urus Kisah percintaanmu sendiri dan jangan ingat anakmu lagi!!"

Kehidupan ini layaknya drama, aku berjalan dimalam hari menikmati masa-masa suram yang tak ingin aku langkahkan. Hidup ini memang begini? Skenario sudah di atur namun takdir tetap saja berlanjut mengubahnya. Aku tak dengar apa-apa kecuali hari yang gelap saking gelapnya aku membenci kehidupan.

Malam berlalu dengan cepat, sampai lupa bahwa hari ini sudah pagi. Seseorang membangunkan ku lalu berkata " Rana? Bundamu nyari kamu sampai kecelakaan."

Kenapa? Kehidupan aku selalu salah sampai aku hanya ingin mengungkapkan apa yang aku rasa hingga menjadi korban. Sejak saat itu aku benci mengungkapkan sesuatu.
Aku mengelak setiap ditanyakan kenapa selalu saja bersikap semua baik-baik saja.

" Maaf," lirih Rin membelai pipiku.

Salah satu kakinya patah, penyebabnya karena aku terlalu panik.

" Aku yang salah bunda.." ucap ku tanpa ekspresi apa-apa.

" Sekarang bunda ngerti, bunda akan berubah lebih baik tanpa harus memikirkan dia lagi. Maaf sekali lagi."

Hati yang keras ini mulai luluh, itu yang diharapkan dari gadis kecil yang tidak- mengerti apa-apa tentang kisah cinta suram.

" Rana, cuman pengen bunda berhenti berharap dengan dia, kita tau dia bagaimana." Jelasku lagi.

Tiba-tiba tangan lemasnya membelai rambut busukku.

" Sudah lama bunda ga dengar kamu manggil nama kamu." Ucapnya lalu tersenyum. Disini lain Rini menangis kencang.

Minggu, 17 April 2022

Kehidupan Yang Saya Lihat (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang