O2

435 31 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

Juyeon’s journal, January 11, 2009.

Aku tidak punya banyak hal yang kuanggap berharga dalam hidupku. Aku tak punya keluarga yang kucintai, aku tidak punya teman yang kusayangi dan bahkan hidupku tidak berarti banyak untukku. Tapi itu bukan berarti ‘semua’ hal sama sekali tidak berharga bagiku.

Hanya dia… dia yang bisa membuatku benar-benar memahami dan merasakan makna kalimat, ‘we realize something precious after we lose it’. Hanya sederetan kata-kata sederhana, namun butuh dua tahun bagiku untuk benar-benar mengerti artinya. Dua tahun bersamanya.

Semua itu berawal ketika usiaku mencapai delapan belas tahun, dan aku memutuskan untuk pergi dari rumah orang tuaku, kalau mereka masih bisa disebut orang tua. Aku tidak meninggalkan rumah tanpa alasan.

Dan yang menjadi alasan utama adalah, aku muak. Aku muak dianggap tidak ada di tempat yang disebut rumah itu. Dan kalaupun mereka menyadari keberadaanku, mereka hanya akan memperlakukanku seakan aku ini lebih rendah dari manusia. Bahkan ibu yang melahirkanku pun tidak lebih baik.

Sampai akhirnya aku memutuskan untuk membuang keluargaku sebelum mereka melakukannya lebih dulu. Sekarang, tak ada lagi Lee Juyeon yang mereka kenal.

***

Ponsel Juyeon berdering. Ia meliriknya sekilas, tapi terlalu malas mendekatkannya ke telinga, sehingga ia hanya menekan tombol loudspeaker-nya saja.

“Juyeon?” suara yang ia kenali sebagai suara kakaknya, Lee Sangyeon.

“Hn,” jawabnya malas, tak peduli Sangyeon mendengarnya atau tidak. Ia masih sibuk menekuni sederetan not-not balok di hadapannya.

“Juyeon, kau benar-benar yakin dengan apa yang kau lakukan? Ibu mengkhawatirkanmu.” kata Sangyeon.

Juyeon sama sekali tidak menanggapi, melainkan menambahkan beberapa nada lagi di kertasnya.

“Juyeon,” panggil Sangyeon, mengharapkan respon yang lebih baik dari adiknya. “Kau tahu? Ayah sebenarnya menyayangimu, ia hanya tidak tahu bagaimana menunjukkannya..”

Juyeon mendengus geram, dan meletakkan penanya. “Oh, memanggilku dengan nama Sangyeon selama delapan belas tahun itu salah satu bentuk rasa sayangnya ternyata? Mengharukan.” tanggapnya sarkastis.
Membuat Sangyeon terdiam mendengar kata-kata adiknya.

“Yah.. setidaknya ia sudah memanggilmu dengan benar sekarang..”

Juyeon berdecak kesal. “Sudahlah, Sangyeon. Berhenti membujukku untuk pulang karena aku takkan pernah mau. Biarkan aku menjalani sisa hidupku dengan tenang tanpa bayang-bayang Lee sialan itu..”

Blue And Red , Jumil ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang