O6

173 27 8
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

Juyeon melangkahkan kakinya ke gereja St. Peter begitu ia keluar dari hotel tempatnya beserta rombongan JSA menginap, dan terlepas dari tatapan selamat-sebentar-lagi-kau-menikah dari teman-teman sekampusnya.

Juyeon merapatkan mantel yang dikenakannya ketika angin musim dingin Swedia berhembus. Walaupun begitu, ia menyukai suasana musim dingin di Eropa. Selang setengah jam kemudian, Juyeon sudah berdiri di depan pintu gerbang gereja St. Peter, tempat ia akan melaksanakan pernikahan palsunya. Juyeon menghela napas dan melangkah masuk.

Begitu Juyeon membuka pintu gereja kuno itu, Juyeon langsung menyukai suasana damai dan tenang di dalamnya. Suara sepatunya bergema ketika ia berjalan pelan menuju ke arah altar. Ia sangat menyukai dekorasi di dalam gereja itu. Membuatnya melupakan hal-hal keduniawian dan, terutama, masalah peliknya dengan keluarganya. Mata hitam Juyeon menangkap sebuah grand piano yang tampak sudah sangat berumur tapi masih terawat di salah satu sudut ruangan dekat altar.

“Ada yang bisa saya bantu?”

Juyeon menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang pendeta berdiri beberapa meter dari dirinya, dipisahkan oleh kursi-kursi panjang yang biasa diduduki orang-orang ketika sedang menjalankan misa. Juyeon sendiri tidak tahu misa itu apa secara detail, ia bukan seseorang yang religius.

“Ah, tidak. Saya hanya ingin mengecek keadaan tempat ini. Saya akan melangsungkan pernikahan di sini minggu ini.” jawab Juyeon.

Pendeta itu tersenyum mendengar jawaban Juyeon. “Semoga pernikahanmu berjalan dengan lancar.”

‘Aku harap juga begitu,’ batin Juyeon.

“Kalau begitu saya permisi. Saya sangat menyukai dekorasi gereja Anda.” kata Juyeon, berbalik ke arah pintu masuk setelah sebelumnya mengangguk singkat pada pendeta itu.

“Tuhan memberkatimu, Nak.”

Juyeon tidak membalas ucapan itu.

***

Ia menghabiskan seharian itu berada di luar ruangan untuk menghirup udara Eropa yang segar, berusaha mengurangi beban berat yang membuat otaknya serasa ditekan-tekan selama berbulan-bulan ini. Setidaknya kalau rencana ini sukses, masalah itu akan sirna dari hidupnya untuk selamanya. Ia akan memiliki hidup tenang, dengan satu-satunya masalah yang dimilikinya adalah menjadi pianis terkenal secepat mungkin. Tapi itu toh juga bukan masalah besar. Dengan kejeniusannya, dua tahun adalah waktu yang cukup.

Ketika jam tangannya sudah menunjukkan pukul empat sore, Juyeon menghabiskan kopi panasnya dan segera kembali ke hotel. Pertunjukkannya akan dimulai pukul sembilan malam ini. Ia harus melemaskan jari-jarinya sebelum menyentuh pianonya.

Begitu ia sampai di hotel, ia langsung menuju ke ruang rehearsal dan memainkan pianonya, melepaskan semua emosinya melalui Eroica gubahan Beethoven. Lagu yang sarat emosi menurutnya. Dan ketika selesai, terdengar suara tepukan tangan tunggal yang bergema di seluruh ruangan. Juyeon membuka matanya, merupakan kebiasaannya untuk bermain piano sambil memejamkan mata dan merasakan setiap aliran nadanya, dan mendapati Hyunjae duduk di salah satu kursi di ruangan itu.

Blue And Red , Jumil ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang