Anak Konda

607 119 0
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.



Hidup itu mirip banget sama jalan yang sering kita lewati. Kadang macet, kadang sepi, kadang ramai lancar. Kadang lo bakal ketemu sama makhluk nyebelin yang pengen lo tendang ke Antartika seperti Askara Jingga. Tapi untungnya setelah kejadian naas yang hampir membuat urat syarafnya nyaris putus, bos kampret nan laknat itu tiba-tiba hilang tanpa jejak.

Iya, dia menghilang. Nggak tahu ke mana. Nggak ada kabar. Mungkin dia lagi piknik ke alam baka atau mengarungi Samudra Hindia. Dia bahkan tak mengatakan apa pun pada Biya. Tapi jelas Biya tak peduli. Buat apa juga Biya harus repot-repot memikirkan lelaki biadab yang menciumnya di tengah jalan tempo hari. Aargh! Tiap kali teringat kejadian itu kepala Biya rasanya ingin pecah. 

Tapi jujur saja Biya sebenarnya sedikit heran, bagaimana Pak Jingga bisa bolos kerja selama hampir seminggu penuh? Aneh bukan? Biya seketika mengibas-ngibaskan kepala. Mengingat bos laknat itu membuat kepala Biya seperti terkena ledakan bom atom Hirosima. Biya lalu mengalihkan pandangannya ke arah Achim yang lagi duduk selonjoran di ruang tengah.

“Ini beneran bisa nginclongin muka? Kulit gue beneran bakal glow up gitu kayak punya kalian?” tanya Biya sembari memegang masker muka yang tadinya tergeletak di atas meja.

“Muka kita tanpa produk perawatan kulit mah udah glow up dari jaman orok, Kak Mbi.” Shit! Koko tiba-tiba muncul dan ikut nimbrung di antara Biya dan Achim. Suaranya yang kelewat menyebalkan membuat Biya ingin melemparinya dengan kaleng micin.

“Lha Kak Biya nih cewek tapi mukanya kayak ketek unta. Gimana bisa dapat jodoh? Kalau pengen glow up harus dirawat dong Kak. Jangan cuma pakai bedak bayi sama krim pelembab doang. Segalanya butuh usaha, Sis!” tambah Koko yang sialnya sukses membuat Biya semakin mendesis kesal.

“Eh, bocah cabe keriting diem nggak lo! Dasar upil koala!”

“Uuhh, atuuut.”

“Hish! Kambing!”

“Mbeeekkk!”

Achim seketika ngakak saat melihat perdebatan sengit antara Biya dan Koko. Guling-guling di atas sofa sambil memegangi perutnya.

“Kak Biya lagi stres Ko. Ditagih calon mantu mulu sama budhe.”

Shit! Perempuan itu seketika beranjak dari kursi dan menghampiri pintu rumah saat mendengar suara bel yang terus berbunyi. Dia sudah tak tahan menghadapi dua makhluk terkutuk yang sialnya juga tinggal di kontrakan Dalbang. Tapi belum juga sedetik membuka pintu rumah, mulut Biya sekonyong-konyong melongo dan langsung beristigfar berulang kali.

Eh, apaan nih?

Dari balik sosok tinggi besar muncul seorang perempuan yang amat ia kenal, Chaesa — sepupu Biya, anak kedua Om Bagas.

“Ngapain melotot kek lihat setan gitu?” Chaesa bicara sambil menyerahkan paper bag warna merah marun pada Biya. Wajah cantiknya yang seperti artis Korea itu putih polos hanya dilapisi seulas make up tipis bergaya minimalis.

“Nggak... nggak papa,” jawab Biya gagap, mencoba menelan ludah padahal tenggorokannya kering kerontang seperti padang mahsyar.

“Lo—lo nggak mampir dulu?” lanjutnya saat Chaesa mengecup pipi Biya secara bergantian.

“Udah telat. Harus jemput Uju,” balas Chaesa datar. Ia lalu mengalihkan pandangannya dan berkata. “Mari, Pak.” Membuat kening gue berkerut dalam.

Hah?

HAH?

HAAAAH!!!

Gimana Biya tak nyaris mati berdiri dan kena pendarahan otak kalau tengah hari bolong seperti ini dia melihat Chaesa tiba-tiba datang ke kontrakan bareng sama Pak Jingga? Omeee!

Please, gue pengen deportasi ke rumahnya Justin Beiber. Pemandangan sialan macam apa ini? Ah, lelah banget hati hayati. ㅠ.ㅠ

“Pak—Pak Jingga kok bisa sama Chaesa?” tanya Biya setelah Chaesa keluar dari gerbang depan.

“Kamu habis lihat setan? Nyebut-nyebut istigfar kayak gitu.” Bukannya menjawab pertanyaan yang ia dengar, Pak Jingga malah balik bertanya. Oh, jelas dia pasti mendengar apa yang baru saja Biya bilang. Raut wajahnya yang tampak datar saat bersama Chaesa kini berubah cemberut dan mengintimidasi — membuat Biya menggigit bibir dan susah payah menelan ludah. Oh, shit!

“Bapak ngapain ke sini?” cicit Biya lagi. Terlalu syok hingga tak tahu harus berpikir seperti apa.

Ngapain coba bos Titisan Medusa yang menghilang sekian purnama tiba-tiba muncul di depan kontrakan gue? Bareng Chaesa lagi. Pengen ngapelin setelah ngilang sekian lama? Kangen gue gitu? Pengen ngajakin kencan? Omooo...

“Pak Bagas belum ngasih tau kamu?”

Om Bagas? Biya semakin bingung dengan arah pembicaraan Pak Jingga.

“Ngasih tau apa?”

“Siapa Dek yang dateng?” Kak Jeromi berjalan mendekat membuat Biya spontan mengalihkan pandangan ke dalam rumah.

“Eh, ini Kak... bos aku...” Perempuan itu langsung gelagapan, bingung harus menjelaskan seperti apa pada Kak Jeromi. Masa dia harus bilang kalau bos Titisan Medusa tiba-tiba nongol tengah hari bolong dan ingin mengajaknya berkencan? Oh, no! Biya jelas tak mau jadi bahan olok-olokan seluruh penghuni rumah.

Namun sebelum pikirannya liar bergentayangan entah ke mana, ucapan Kak Jeromi setelahnya membuat Biya hampir terkena serangan jantung.

“Oh, ini yang mau ngontrak di lantai atas?”

Hee? Otak Biya berpikir keras.

Ngontrak di lantai atas? Maksudnya kamar di lantai dua yang ada di seberang kamar gue? DOUBLE WHAT?

KAK JAY GILA?!

Perempuan itu langsung beringsut mendekat ke sisi Jeromi, berniat protes. “Maksudnya apa sih? Kenapa Kakak nggak ngomong dulu sama aku?” desisnya pelan. Tapi bukannya meladeni ucapan Biya, Kak Jay malah tersenyum kelewat girang menatap Pak Jingga.

“Perkenalkan saya bos Biya di kantor pusat.” Mereka lalu berjabat tangan — membuat kepala Biya pening dan berputar-putar.

***

“Matamu bakal lompat keluar kalau melotot terus kayak gitu.”

“Apa-apaan nih Pak?” tanya Biya marah, mengertakkan gigi ganas. 

Hidup di dunia selama bertahun-tahun, tapi Biya tak pernah merasa dipermainkan seperti ini. Dasar bedebah gila, menganggap Biya seperti bahan lelucon. Biya benar-benar ingin mengunyah keledai gila yang membuat hidupnya sengsara.

“Apanya yang apa-apaan?”

Dih, sok pura-pura buta! 

“Udah deh Pak nggak usah bikin saya tambah emosi. Bapak jelas tau apa yang saya maksud.”

“Saya bukan dukun, cenayang atau paranormal yang bisa nerka-nerka atau tau apa yang lagi kamu pikirin.”

Sial! Biya paham sekali Pak Jingga jauh lebih menyebalkan dari birokrasi di Indonesia, tapi dia tak pernah menyangka kalau Pak Jingga bisa sekampret ini.

“Bapak kenapa tiba-tiba pindah ke kontrakan saya? Pak Jingga mau nyiksa saya?”

“Kurang lebih.”

Hah! Kepala Biya semakin berdenyut-denyut. Menghadapi Pak Jingga membuat emosi di hatinya tak lagi bisa dibendung. Dan kini yang tersisa hanyalah kemarahan yang tak bisa ia ucapkan. Apa bosnya benar-benar sudah gila? Rela meninggalkan mansion mewahnya demi tinggal di kontrakan Biya yang kelewat butut?

“Kamu udah tua tapi masih kayak anak kecil.”

Aargh! Jingga sialan!

“Sekarang saya tanya, kenapa kamu harus seheboh ini hanya karena saya pindah ke kontrakan ini?”

“Bapak masih bisa tanya?”

Pak Jingga tiba-tiba tersenyum mengejek. “Kamu tinggal di sini bareng 3 laki-laki yang bukan muhrimmu dan kamu santai-santai aja. Tapi kamu heboh seperti orang kebakaran jenggot hanya karena saya kebetulan pindah ke kontrakan kamu?”

Kebetulan?! Ha ha ha. Mulutnya manis sekali.

“Mereka bukan laki-laki,” jawab Biya lantang.

Lagi pula Biya memang tak pernah menganggap Kak Jay, Koko atau pun Achim sebagai laki-laki. Mereka sudah seperti keluarga bagi Biya. Sementara Pak Jingga? Bos gila yang selalu membuat hidupnya sengsara. Perempuan itu seketika menggigit bibir teringat adegan saat Koko dan Achim tiba-tiba keluar dengan wajah yang tertutup lapisan masker. Betapa terkejutnya Pak Jingga melihat penampakan makhluk antah berantah yang tak tahu diri itu. Oh, Biya yakin Pak Jingga pasti langsung berpikir buruk tentangnya.

“Mereka bukan laki-laki?” Pak Jingga mengulangi ucapan Biya, tersenyum mencemooh. “Jadi kamu menganggap saya seorang laki-laki sementara mereka nggak?”

Hah, terserahlah lo mau mikir apa Anak Konda.

“Jadi ini penampilan kamu kalau lagi di rumah?”

Mendengar ucapan Pak Jingga, Biya refleks mengalihkan pandangan mengikuti arah pandang Pak Jingga. Setelah beberapa saat barulah dia sadar kalau sejak dari tadi baju lengan panjang yang ia kenakan terbalik dan celana trainingnya tak kalah buluk dari nasib hidup Biya. Rambutnya bahkan lebih menyedihkan dari gelandangan yang hanya ia cepol sekenanya di pucuk kepala. OMO!

ENDING CHOICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang