42. Pecah

442 107 1
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.

Sehari sebelumnya...  

Perasaan gue kecut saat duduk berhadapan dengan Mas Andrea. Siang itu Mas Andrea ngajakin ketemuan di kafe tempat dulu kami bertemu. Nggak cuma sebatas perasaan, tapi gue tau Mas Andrea pasti mau membahas masalah lain ketimbang tulisan gue.

“Saya pengen minta maaf...” ujar Mas Andrea setelah kami berdiam cukup lama— membuat gue mengerutkan kening dalam.

“Saya baru tau kalau kamu nikah sama Jingga.” Tapi gue ngerasa bukan itu alasan Mas Andrea tiba-tiba mengucapkan kata maaf sama gue.

“Sejak kapan Mas Andrea kenal sama Jingga?” Gue bertanya tiba-tiba, keluar dari topik obrolan.

Mas Andrea nampak bingung mendengar pertanyaan yang gue lontarkan. “Sejak Jingga SMP,” tukasnya ragu seolah berusaha membaca emosi yang terpancar di wajah gue. Namun gue berusaha keras menahan semuanya.

“Jadi saudara Mas juga kenal Jingga sejak SMP?” Tasssh, masuk perangkap.

“Mereka senior dan junior di sekolah menengah pertama.”

“Jadi mereka sudah ngejalin hubungan sejak SMP?” Mas Andrea semakin terlihat gugup— sekarang pasti sadar pertanyaan gue tadi hanyalah jebakan. Mengorek luka lama. Bodoh, Biya! Lo bener-bener bodoh!

“Lalu kenapa pertunangan mereka tiba-tiba putus?”

Diam sesaat. Hawa dingin mulai menjalar di antara kami. Mas Andrea menarik napas panjang.

“Saya ngerasa nggak etis kalau harus menjelaskan masalah ini. Lagi pula itu udah lama banget.” Udah lama? Tapi saudaramu yang datang dari antah berantah itu pengen mengorek segalanya lagi.

“Mereka terlihat bahagia banget,” gumam gue— menarik napas panjang menatap Mas Andrea dengan setengah tercenung. “Tapi anehnya mereka putus,” lanjut gue mengalihkan pandangan ke dinding kaca.

“Nggak semua hal yang kamu lihat baik di luar, baik juga di dalem.” Ucapan Mas Andrea seperti mencubit gue. Tapi bukan itu yang terpenting sekarang.

Setelah 4 tahun berlalu— setelah mereka pisah bertahun-tahun lalu, tiba-tiba saja dia balik? Kenapa perempuan itu balik lagi setelah gue nikah sama Jingga? Apa dia berharap hubungan mereka bisa kembali seperti dulu?

Entah apa yang bisa gue harapkan dari hubungan gue sama Jingga? Kita nikah bahkan bukan karena cinta. Sekarang gue juga nggak bisa nyalahin dia.

“Mas nggak perlu minta maaf.” Gue akhirnya berkata. Walau Mas Andrea nggak ngejelasin secara gamblang alasannya meminta maaf pasti berhubungan sama saudaranya. Tapi gue tau. Lagi pula gue udah capek. Gue cuma pengen nyerah.

“Karena perasaan itu nggak bisa dipaksakan. Saya tau kok gimana posisi saudaranya Mas Andrea. Setelah menjalin hubungan sekian lama, lalu putus dan orang itu malah nikah sama perempuan lain.” Itu terlalu menyakitkan. “Seandainya saya ada di posisi itu, mungkin saya juga melakukan hal yang sama.”

Cinta itu saling menguatkan, melengkapi dan berjuang satu sama lain. Seandainya Jingga beneran punya perasaan sama gue, dia pasti nggak bakal ngebohongin gue, dia pasti bakal bicara jujur. Dia pasti merjuangin gue. Tapi nggak. Dia sudah lari ke sisi Kenia.

Mereka sudah kenal dari jaman ingusan, lalu memutuskan bertunangan setelah lulus kuliah. Kalau dipikir-pikir lagi itu pasti lebih dari sepuluh tahun. Waktu yang begitu lamanya— sangat lama untuk sebuah hubungan, terlalu banyak kenangan manis, hal-hal yang bakal susah dilupakan, memori-memori indah yang tercipta di antara mereka— yang nggak akan tergantikan dengan kehadiran gue. Dan sebuah perasaan nggak mungkin hilang begitu saja hanya karena mereka putus 4 taun lalu. Jingga hampir menghabiskan separuh hidupnya bersama Kenia. Perempuan cantik, berbakat, datang dari keluarga terpandang, berlatar belakang pendidikan yang bagus, yang tentunya mengenal seorang Askara Jingga jauh— jauh lebih baik daripada gue, orang asing yang baru saja masuk ke dalam kehidupan Jingga. Sungguh ironis. Gue membatin di dalam hati. Kalaupun Kenia bukanlah perempuan yang baik nggak mungkin Jingga bisa bertahan selama itu dalam sebuah hubungan— mengingat betapa buruk tabiatnya selama ini.

ENDING CHOICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang