40. Lubang yang Sama

443 107 1
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.

Jangan terlalu percaya sama orang yang baru kamu kenal.     

Gue kembali mengernyit waktu membaca pesan singkat itu. Pesan singkat yang gue terima dini hari tadi. Pesan singkat yang terus terngiang dalam kepala gue. Ribuan kali. Nggak tau maksudnya apa. Siapa orang iseng yang mengirim pesen aneh jam setengah tiga pagi? Apa itu bener-bener cuma sekedar pesan iseng? Atau ada maksud tersembunyi yang pengen dia sampaikan buat gue? Belum hilang perasaan kesal gue sama Chaesa dan sekarang dateng masalah lain?

Holly shit!

“Ngapa sih mukanya ditekuk-tekuk gitu? Habis diajakin gelut pakai gaya macan?”

Gaya macan gundulmu! Gue mendengus. Berdecak kesal tau Koko menghampiri gue saat menjemur baju di belakang rumah.

***

Masih dengan perasaan nggak enak— setelah perang semenanjung sama Koko— siang harinya gue mutusin buat pergi ke pabrik. Pengen ngajakin Jingga makan siang bareng. Tanpa meneleponnya terlebih dahulu. Namun saat taksi yang gue tumpangi akhirnya memasuki area parkir— ketika hendak membuka pintu penumpang tangan gue mendadak tertahan waktu menangkap pemandangan luar biasa indah di depan sana— di tempat Jingga biasa memarkirkan mobilnya. Jingga sedang berbicara dengan seorang yang nggak gue kenal. Tapi anehnya yang membuat gue cukup terkejut— gue tau siapa perempuan itu. Pianis favorit Koko. Dahi gue mengernyit dalam. Mereka kenal? Gimana bisa? Apa ini cuma sekedar kebetulan? Omong kosong!

Jangan tanya kenapa gue bisa langsung mengenali perempuan itu. Bahkan hanya dengan melihatnya sekali saja— dari brosur yang ditunjukin sama Achim— gue nggak akan lupa sama wajahnya yang kelewat cantik. Terlalu cantik sampai membuat gue kepengen nangis. Perempuan macam apa yang punya wajah luar biasa cantik kayak gitu?

Demi Tuhan sesaat gue merasa seperti upik abu. Mereka terlihat begitu manis bersama. Sementara gue? Si pungguk yang merindukan bulan.

Perasaan lain kembali mencubit gue saat sadar mereka bicara begitu akrab. Terlalu akrab untuk ukuran orang yang hanya sekedar kenal. Gue nggak tau Jingga bisa terlihat begitu bahagia sama orang lain. Mereka bener-bener ketawa lepas. Asal tau saja, selama kenal Jingga— dia bukan tipe orang yang bisa gampang ramah, ngobrol apalagi ketawa lepas sama orang lain. Bahkan sama gue. Istrinya sendiri. Sialan!

Perasaan asing mendadak melingkupi hati gue. Siapa sebenernya laki-laki yang gue nikahin? Apa gue bener-bener tau siapa Jingga? Dia terlihat begitu asing. Sambil menggigit bibir, coba menahan perasaan nyeri yang berkecamuk— gue mengambil ponsel dan menghubungi nomor Jingga.

“Ji, kamu di mana?” tanya gue begitu telepon tersambung dan melihat Jingga berjalan menjauh— seolah dia nggak pengen perempuan itu mendengar percakapan kami. Mulut gue menganga.

“Aku lagi mau keluar makan siang. Kenapa Ya?”

“Sama siapa?”

“Sendirian.”

Sendirian? Lalu perempuan itu? Perempuan yang bikin dia ketawa luar biasa sumpringah itu cuma makhluk jadi-jadian? Pesan yang gue terima tadi pagi seketika terngiang-ngiang dalam kepala gue. Jangan terlalu percaya sama orang yang baru kamu kenal.

Kenapa Jingga pakai acara ngebohongin gue segala? Serius dia mau pergi makan siang? Atau jangan-jangan dia mau kencan sama tu cewek? Sambungan telepon terputus di saat pikiran gue jelimet seperti benang kusut. Tanpa memberikan gue jeda untuk bermurah durja, Jingga dan perempuan itu masuk ke dalam mobil. Berdua! Ya berdua.

Mobil Jingga kemudian meninggalkan area parkir. Gue nggak berani mengikuti mereka. Terlalu pengecut menghadapi sesuatu yang mungkin bakal gue rasain kalau tau apa yang mereka lakuin.

ENDING CHOICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang