♡Happy reading♡
.
.
.
.
.Akhir pekan adalah salah satu hal paling membahagiakan dalam hidup Biya. Pertama, karena dia tak perlu bertemu dengan bos Titisan Medusa. Dan kedua karena hari itu adalah hari ulang tahunnya Om Bagas. Jadi selama akhir pekan Biya pergi menginap di rumahnya Om Bagas yang terletak di daerah Sanur utara.
“Kak katanya manajer di kantor pusat ganteng?”
Meeek, cuping hidung Biya seketika berkerut— memandangi orang yang tengah berbicara. Apa ini? Kenapa omong kosong itu bisa sampai ke telinga Chaesa? Oh, serius Biya tak mau lagi mendengar apalagi membahas segala hal yang berhubungan dengan bos terkutuk bernama Askara Jingga.
“Siapa yang bilang?”
“Papa.”
Hah, Biya langsung misuh-misuh di dalam hati. Ngapain coba Om Bagas sampai membual seperti itu? Ganteng? Ganteng dari Hongkong? Bahkan mengingat wajahnya saja membuat Biya kepingin muntah.
“Ah, kalau gue ketemu sama dia tiap hari mah langsung pingsan.”
Biya memutar bola matanya saat mendengar bualan yang keluar dari mulut Saesha. Anak bontotnya Om Bagas itu pasti sudah gila.
“Kak Yaya enak banget sih bisa ketemu tiap hari sama dia.”
Cih!
“Lo udah pernah ketemu saja dia?”
“Belum.”
Lah? Jawaban dari Saesha membuat Biya geleng-geleng kepala.
“Lo nggak pernah ketemu dia tapi kenapa bisa bilang kalau Pak Jingga ganteng?”
“Lah kan udah gue bilang papa yang cerita.”
Astaga, Biya menghembuskan napas kasar. Ternyata sepupunya juga sama gilanya seperti orang-orang di pabrik yang selalu meributkan wajah Pak Jingga. Biya heran apa hebatnya punya wajah tak manusiawi seperti itu. Kalau kelakuannya saja mirip mutan tak punya perasaan dan selalu menyiksa Biya sepanjang waktu.
“Kak Yaya naksir ya sama tu manajer?”
“Lo gila?” balas Biya langsung melotot menatap Saesha. Tapi anak itu malah terkekeh mendapati wajah Biya yang mirip tahu basi.
“Idih, ngomong aja kalau suka.”
“Gue monyet kalau gue sampai suka sama dia,” balas Biya terlalu cepat karena luapan emosi.
Dan perempuan di depannya malah bertepuk tangan kegirangan, menatap Biya dengan ekspresi lucu. Shit! Apa anak bontotnya Om Bagas ini memang sudah sinting?
“Kak Yaya, serius ya. Kak Yaya monyet kalau sampai suka sama dia,” girang Saesha wajahnya luar biasa sumringah.
Biya hanya bisa menghembuskan napas kasar. Ia lalu beranjak dari gazebo yang ada di belakang rumah. Jika masih duduk bersama Chaesa seperti itu, entah omong kosong apalagi yang akan dia dengar. Tapi langkah Biya mendadak terhenti saat sampai di halaman depan. Matanya melotot seolah baru saja melihat hantu di siang bolong.
Hah, gue nggak salah lihat kan?
Biya tahu dunia ini begitu sempit. Tapi bagaimana bisa orang yang baru saja dibicarakan Saesha beberapa saat lalu berdiri di hadapannya seperti ini? Terlebih di rumahnya Om Bagas! Omo...
Suasana semakin bertambah panas waktu Pak Jingga tiba-tiba saja menarik pergelangan tangan dan menyeret Biya keluar dari pagar rumah. Shit!
“Bapak apaan sih? Lepasin!”
“Pak, sakit!!!”
“Pak Jingga lepasin!” erang Biya, menyentakkan jari-jari Pak Jingga yang membelit tangannya bagai cakar besi.
Ya Tuhan, Biya benar-benar sadar kalau hidupnya kelewat burik. Tapi please, bukannya ini sudah keterlaluan? Ini bahkan akhir pekan. Biya pikir dia bakal terbebas dari bos sialannya bernama Askara Jingga. Tapi apa ini?
“Bapak apa-apaan sih?” sungut Biya saat mereka berhenti di ujung gang dan Pak Jingga memandangnya dengan ekspresi tajam.
“Kamu ngapain tadi?”
“Bapak tu yang ngapain, seenaknya aja narik-narik tangan saya kayak gitu?”
“Saya tanya tadi kamu ngapain di rumahnya Pak Bagas?” Ekspresi wajah Pak Jingga yang terlihat begitu marah, nyaris membuat Biya tersentak. Bukan, Pak Jingga memang selalu cemberut tiap kali bertemu Biya. Tapi entah kenapa, ekspresinya kali ini terlihat begitu berbeda. Seolah dia benar-benar marah dengan perempuan itu.
“Apa urusannya sama Bapak?” tantang Biya sengit.
Jelaslah, Biya tak terima. Tiba-tiba saja Pak Jingga menarik tangannya dan bersikap sekasar itu. Cuma gara-gara lihat Biya ada di rumahnya Om Bagas? Hah! Apa itu masuk akal?
“Bapak kenapa? Marah-marah nggak jelas kayak gitu?”
“Kamu masih tanya?”
Biya menghela napas panjang sambil memejamkan mata sejenak. Berusaha mengendalikan emosi — tahu kalau perdebatan ini terus dilanjutkan, bendungan itu akan segera bobol. Percuma, iya percuma. Percuma sekali meladeni manusia paling sialan, paling kolot, paling bebal yang tengah berdiri di hadapannya ini.
“Mau ke mana kamu?” tanya Pak Jingga setelah berhasil menarik dan menahan lagi pergelangan tangan Biya, hingga perempuan itu tersentak dan menghadap sempurna menatap wajahnya.
“Bukan urusan Bapak,” desis Biya dari sela-sela gigi yang terkatup rapat.
“Ikut saya!”
“Nggak mau!”
“Ikut saya atau kamu pengen saya pecat.”
“Ya udah pecat aja!”
Biya segera berbalik dengan amarah yang meletup-letup di atas kepala — berniat meninggalkan Pak Jingga. Tapi tubuhnya tiba-tiba menegang saat sepasang tangan memeluknya dari belakang. Ha? Ni orang gila?
Kalau saja ia tak inget orang yang tengah memeluknya sekarang adalah manusia paling menyebalkan yang hobi membuatnya tekanan batin, Biya pasti bakal salah paham dan mengira Pak Jingga punya perasaan khusus padanya.
“Ayo saya antar pulang.” ujar Pak Jingga setelah memutar tubuh Biya hingga wajah mereka saling berhadapan kembali. Ekspresi wajah Pak Jingga yang nggak sekasar tadi membuat dahi Biya berkerut dalam.
Kepala Biya terasa pusing. Capek menghadapi tingkah bos gilanya yang kelewat absurd. Helaan napas panjang terdengar saat Pak Jingga menarik tangannya lagi dan menyetop satu taksi yang kebetulan lewat.
***
“Bapak mau ke mana?” tanya Biya heran saat Pak Jingga hendak keluar sambil membuka pintu taksi. Bunyi tik-tak-tik-tak khas suara lampu sein yang tengah menyala terus terdengar waktu sopir taksi menepikan mobilnya di depan sebuah kafe.
“Kamu pulang sendiri aja. Saya sudah bayarin ongkos taksinya. Inget langsung pulang ke rumah. Jangan kelayapan apalagi balik ke rumahnya Pak Bagas. Kalau kamu berani balik ke sana saya bakal telepon Pak Bagas buat memastikan.”
What? Kesel, kesel, kesel.
Terus ngapain lo tadi narik-narik gue kalau akhirnya lo ngebuang gue kayak gini? Setan!
“Lha tadi bukannya bilang mau nganterin pulang?”
Demi apa tangan Biya gatal ingin melempar kepalanya Pak Jingga dengan kotoran kucing. Biya yakin orang ini pasti sudah memakan setengah kilo micin hingga kadar ngeselinnya jadi tambah berkali-kali lipat seperti ini.
“Nggak usah manja. Kamu udah gede. Umur aja udah 31 tahun. Masa pulang sendiri aja nggak berani.”
Dih, sekarang ngatain umur gue udah 31 tahun. Dasar sakit jiwa!
Biya refleks memijit pelipisnya yang mendadak pening dengan satu tangan. Tingkah ngeselinnya Pak Jingga memang bisa mengalahkan birokrasi di Indonesia.
Dongkol menghadapi tingkah Pak Jingga yang kelewat absurd dan nggak ada akhlak, Biya sekonyong-konyong meminta sopir taksi menghentikan mobilnya waktu melihat seseorang yang teramat dia kenal masuk ke dalam kafe yang beberapa saat lalu dimasuki oleh Pak Jingga. Mata Biya bahkan semakin membeliak waktu melihat orang itu berjalan menuju meja yang tengah di duduki Pak Jingga.
Hee, mereka kenal?
Tentu saja Biya bisa melihat semua pemandangan itu lantaran dinding kafe bernama Namu Coffee itu terbuat dari 100% kaca transparan. Biya bahkan bisa mengenali punggung Pak Jingga yang duduk membelakangi dinding kaca. Ia lantas melambaikan tangan dan memeluk orang itu lalu mempersilahkannya duduk di bangku kosong yang ada di sampingnya.
Eh, apaan nih? Gue nggak salah lihat?
***
“Ngapain kamu masih di sini? Bukannya tadi saya udah nyuruh kamu...”
“Bapak kenal orang tadi?” tanya Biya tanpa menggubris tatapan sinis Pak Jingga. Ia buru-buru berjalan menghampiri lelaki yang baru keluar dari dalam kafe.
“Kamu kenapa?” Ekspresi wajah Pak Jingga yang tadinya kesal mendadak berubah heran.
“Kenapa apanya?”
“Wajah kamu kenapa jadi senyum-senyum aneh kayak gitu? Kamu sakit?”
Biya refleks menepis tangan Pak Jingga yang menyentuh keningnya. “Bapak kenal orang tadi?”
“Orang tadi?”
“Iya, orang tadi. Itu bukannya penulis terkenal yang punya perusahaan penerbitan?”
“Terus?”
“Minta kontaknya dong Pak,” ujar Biya berusaha bersikap manis. Tapi ini Askara Jingga. Tak perlu heran jika jawaban yang keluar dari mulutnya selalu sukses membuat emosi Biya meletup-letup bagai disiram bensin.
“Buat apa? Mau kamu godain?”
Ya salam. Dasar kepala burung!
“Bapak cemburu?”
“Ngapain saya cemburu sama kamu?”
“Bukan sama saya, tapi sama orang tadi.” Biya berusaha menjelaskan. “Saya nggak tertarik ngerebut pacar orang,” tambahnya dengan suara datar.
“Kamu ini ngomong apa sih?”
“Bukannya Mas Andrea pacar Bapak?”
“Ngawur! Kamu kurang menyan apa kurang sajen?”
Dih dikira gue makhluk jadi-jadian?
“Lha terus kenapa tadi mesra banget?”
“Andrea itu... heh, ngapain saya harus jelasin ini sama kamu? Emang kamu siapa? Nggak penting banget! Seharian kamu udah bikin saya jengkel ya. Nggak usah nambahin emosi saya makin tambah naik.”
Aargh! Gue butuh sianida! Gue pengen ngeracunin bos terkutuk gue yang nggak tau diri!
“Bapak masih nggak mau ngenalin saya sama mas Andrea?”
“Nggak. Nggak usah ngarep. Nggak usah mimpi. Sampai lebaran monyet pun saya nggak bakalan ngenalin kalian.”
“Bapak pelit banget sih. Nggak takut kuburannya sempit?”
“Nggak papa pelit yang penting saya kaya. Masalah?”
Cih, sombong banget!
“Besok-besok bakal saya sebarin kalau Bapak penyuka sesama jenis,” ancam Biya sengit. Dia tak peduli sekalipun wajah Pak Jingga seolah ingin memakannya hidup-hidup.
“Mulutmu nggak punya saringan? Kamu punya bukti saya pecinta sesama jenis? Kamu nih lulusan luar negeri tapi kenapa pikirannya sempit...”
“Saya tu punya kenalan yang kayak gitu, Pak. Ya persis kayak Bapak.” Biya memotong ucapan Pak Jingga tanpa pikir panjang. “Dandannya kelewat necis, macho, eh, temen saya nggak macho sih. Cuma kalau soal dandan dan penampilan dia nomor satu.”
“Mau bilang saya ganteng aja repot banget.” Huek! Biya seketika ingin muntah.
“Saya heran otakmu sebenernya kamu simpen di mana. Kenapa gampang banget ngejudge orang kayak gitu?”
“Saya nggak ngejudge. Bapak sendiri bilang kalau nggak tertarik sama konsep pernikahan.”
“Terus apa hubungannya?”
“Ya jelas ada dong. Berarti Bapak nggak tertarik sama perempuan.”
“Sekarang saya tanya Pak Bagas tu siapa kamu?”
“Ngapain saya harus ngejelasin sama Bapak? Nggak penting banget. Lagian itu bukan urusan Pak Jingga.”
Ha ha ha. Enak kan gue bales?
“Kamu punya bakat nyusahin orang ya?” Pak Jingga mendelik.
“Bapak punya bakat bikin orang kesel ya?”
“Biya!”
“Jingga!”
Tahan Biya. Tahan. Lo nggak boleh bikin Pak Jingga jengkel. Lo harus dapet kontaknya mas Andrea.
“Bapak harus tanggung jawab dong.”
“Tanggung jawab apa? Emang kamu hamil?”
Iish! Mulutnya laknat banget.
“Bapak tau nggak cewek yang lihat kita tadi? Dia tu anaknya Pak Bagas. Gimana kalau dia mikir macem-macem terus ngadu yang aneh-aneh sama Pak Bagas?”
Iya, sebelum diseret keluar dari pagar rumah— Saesha memang memergoki Biya yang tengah diseret Pak Jingga. Sepupunya itu bahkan nyaris menjerit melihat Pak Jingga yang ada di depan rumahnya.
“Bukannya kamu yang seneng dikira punya hubungan khusus sama saya?”
“Bapak pikir saya gila?” Pak Jingga seketika melemparkan tatapan sengit setelah Biya selesai berbicara.
“Kamu tu mintanya apa? Dari tadi ngajakin saya ribut mulu.”
“Kenalin sama Mas Andrea.”
“Kamu nggak paham ya sama konteks pembicaraan yang saya omongin?”
“Kenapa Bapak nggak mau ngenalin saya sama Mas Andrea?”
“Karena saya nggak suka sama kamu. Kamu itu cewek super ribet yang seneng banget bikin saya darah tinggi.”
HAH?
“Bapak nggak ngaca? Siapa orang gila yang narik-narik tangan saya kayak gitu?”
“Saya cuma pengen menyelamatkan istri saya. Emang salah?”
Cuih! Pak Jingga mau saya racun pakai sianida?
“Emang siapa yang mau jadi istrinya Bapak? Saya pasti udah nggak waras kalau sampai mau nikah sama Pak Jingga.”
“Lho, kamu lupa? Kamu dulu ngaku-ngaku jadi istri saya?”
Ha ha. Ya gini kalau ngomong sama Askara Jingga. Jelimet ribet kayak beban hidup gue.
“Bapak suka sama saya?”
Bukannya menjawab, Pak Jingga malah menangkup kedua bahu Biya hingga mereka menghadap ke sebuah kaca etalase toko yang memperlihatkan pantulan bayangan Biya dan Pak Jingga.
“Kamu nggak lihat perbedaan kita?”
Sial. Biya sontak mendengus kesal saat mafhum dengan maksud pertanyaan Pak Jingga.
Iya, gue upik abu. Tapi dia pangeran dari neraka jahanam.
“Cinta nggak memandang perbedaan.”
“Saya nggak mungkin sekhilaf itu.”
“Berarti Bapak sukanya sama Mas Andrea?”
Hanya berselang setengah detik setelah ia selesai berbicara, dunia di sekitarnya mendadak saja terhenti. Angin nggak lagi berhembus. Kendaraan-kendaraan yang tadinya berlalu-lalang kini terdiam membisu seolah ada orang yang sengaja menekan tombol pause tak kasat mata. Biya bahkan baru sadar waktu Pak Jingga mulai menempelkan bibirnya dan melumat bibir itu begitu pelan. Sementara orang-orang yang berjalan melewati mereka tampak begitu terkesima.
AARGH! ASKARA JINGGA, GUE BENCI BANGET SAMA LO!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
ENDING CHOICE
RomanceAskara Jingga itu nggak lebih dari sekedar mimpi buruk buat Khaliluna Anbiya. Songong, sombong, minus attitude dan memperlalukan Biya seperti musuh bebuyutan. Kehidupan Biya yang dulunya terlihat sempurna, efisien, bebas ribet mendadak saja jungkir...