Jarak Suci

495 107 0
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.

Hari mulai beranjak sore saat Biya kembali ke kontrakan Dalbang. Perasaannya semrawut sampai perempuan itu ingin menghancurkan seisi rumah. Semenjak kenal Pak Jingga, hidup Biya berubah begitu tragis. Dasar Askara Jingga sialan! Sekarang ponselnya sudah remuk tak berbekas, belum lagi Biya juga harus bertemu gelandangan gila yang membuatnya hampir berakhir di kantor polisi karena Pak Jingga memukuli gelandangan itu dengan membabi buta hingga nyaris tak berbentuk. Ya Tuhan, Pak Jingga pasti sudah sinting. Kenapa juga dia harus melakukan hal segila itu? Hanya karena dia melihat gelandangan itu mendorong Biya sampai tersungkur ke belakang?

Hiks, Biya benci sekali dengan lelaki itu. Ingin meninju dan meremukkan tulang tengkoraknya. Biya lalu mengentak-entakkan kaki ganas di atas tempat tidur. Tapi perutnya keroncongan. Berniat turun ke lantai bawah, pemandangan di depan mata malah membuat Biya nyaris meneteskan air liur.

Pak Jingga gess, keluar dari kamar mandi cuma pakai handuk doang. Hah. Astagfirullahaladzim! Mata Biya mengerjap beberapa kali.

Lagian ni orang gila apa gimana? Bukannya punya private bathroom di dalam kamarnya yang segede gaban? Terus ngapain dia malah mandi di luar kayak gini?

Ah, hati Biya benar-benar lemah. Masa pemandangan surgawi menyejukkan mata harus Biya anggurin?

“Air liurmu tumpah-tumpah tu.”

Mulut Biya spontan menutup. Ia lalu memberengut membalas tatapan Pak Jingga. Selagi bos laknat itu lewat di depan matanya, aroma familiar yang tercium dari tubuh Pak Jingga membuat perempuan itu secara tak sadar membuntutinya dari belakang.

Oh, ini bukannya...

Bruk!

Aargh! Sial, sial, sial! Biya langsung mengutuki dirinya sendiri saat sadar menubruk tubuh tinggi besar yang kini berbalik dan melotot menatap wajahnya.

Hah, mati gue! Tubuh Biya bahkan semakin menegang begitu sentakan tangan Pak Jingga berhasil menarik dan memeluk tubuhnya— hingga bisa dia rasakan dada telanjang lelaki itu yang seputih gading.

“Pak,” cicit Biya lirik. Susah payah menelan kembali air liur saat memandang wajah Pak Jingga yang hanya berjarak beberapa senti saja dari wajahnya.

“Hmm?” Duh, suaranya mak! Kenapa seksi sekalay?

“Itu— itu bukannya,” Shit! Kenapa pikiran Biya jadi nge-blank seperti ini? “ Kok— kok wangi samponya mirip sama punya saya?”

“Emang punya kamu.” Hah? Kurang ajar!

“Pak...” Perempuan itu semakin bergerak gusar. Berusaha melepas tangan Pak Jingga yang membelit di sekitar tubuhnya— memangkas habis jarak di antara mereka.

“Kenapa? Lagi nggak ada orang di rumah.” Ucapan Pak Jingga sukses membuat kedua mata Biya seperti ingin melompat keluar dari dalam rongga.

Dasar bos terkutuk! Terus Kak Jeromi yang lagi di kamarnya itu apa? Makhluk jadi-jadian yang nggak kasat mata?

“Mau cium wangi sampomu lagi?” Pak Jingga bicara dengan suara menggoda seraya menjulurkan kepalanya tempat di hadapan Biya.

Aaakkk, jantung gue...

“Jangan...”

“Jangan digigit. Nanti saya pengen.”

Hah?

“Pa— Pak tolong jangan— macem-macem!”

“Siapa yang macem-macem?”

Seketika Biya merasakan sengatan hawa panas menjalar ke seluruh tubuh saat Pak Jingga meremas pinggulnya dengan lembut. Aroma sampo yang bercampur wangi sabun Pak Jingga bahkan makin memperburuk keadaan. Membuat isi kepalanya pening dan berputar-putar.

Dengan susah payah, Biya berusaha meletakkan kedua telapak tangan di depan dada Pak Jingga, berharap itu bisa sedikit menjadi penghalang di antara mereka. Tapi nyatanya percuma.

Bibir Pak Jingga yang mulai menelusuri sepanjang garis rahang seperti sengatan listrik yang menghisap habis seluruh kesadarannya. Bibir itu lalu berlabuh lembut, mengecup bibir Biya— membelitnya dengan hangat hingga perempuan itu mabuk kepayang dan tanpa sadar membalas setiap sentuhan yang ia dapatkan. Hingga akhirnya...

“Kalian ngapain?”

***

Aargh! Gila, gila, gila! Betapa Biya malu sekali. Ingin mengubur dirinya sendiri ke dalam perut bumi. Bagaimana bisa Achim sampai memergokinya melakukan hal tak senonoh bersama Pak Jingga? Dan lagi untuk ke sekian kalinya dia kembali jatuh ke lubang yang sama. Terbuai oleh bos terkutuk yang selalu bertingkah semaunya. Apa Biya sudah hilang akal?

Untung saja Achim tak lantas memberondongnya dengan berbagai pertanyaan yang membuat kepala Biya makin migrain parah. Sialnya, Biya bahkan merasa bersyukur bukan Koko apalagi Kak Jeromi yang memergokinya. Jika mereka berdua sampai tahu apa yang sudah Biya perbuat, hidup perempuan itu pasti tinggal kenangan.

Biya lantas memandang mendung kelabu yang sepanjang hari nangkring di atas sana. Membuat perasaannya semakin memburuk dan bertambah buruk. Dengan perasaan kecut, mata perempuan lalu berlabuh pada sebundel kertas yang masih berada dalam genggaman tangan. Alasan yang membuat hatinya sepanjang hari ini makin semrawut dan berdenyut nyeri.

Bukankah ini sudah yang ketiga puluh kali ceritanya ditolak oleh penerbit?

Huaaa... Air mata sialan itu akhirnya tumpah dan membanjiri pipi— membuat Biya sesenggukan nyaris kehabisan napas.

Apa mungkin ini saatnya dia menyerah? Apa benar yang dibilang Chaesa dulu, kalau semua hal yang Biya lakukan adalah sesuatu yang sia-sia? Harusnya dia sadar dia tak boleh berharap lebih pada impiannya. Orang tak berbakat seperti Biya memang tak berhak punya mimpi. Biya yang tak pernah benar-benar ahli dalam satu bidang, Biya yang selalu kesulitan menjalin komunikasi sama orang lain. Biya yang tak kompeten. Biya yang miskin dan punya masa depan suram. Intinya hidupnya sudah gagal.

Dengan kasar perempuan itu mengusap wajah lalu menjambak rambut bagian belakang dengan perasaan frustasi. Hari ini Biya hanya ingin bermuram durja. Mengasihani diri sendiri, menangisi nasib hidup yang terlampau burik. Lalu kemudian saat hendak berbelok menuju jalan masuk ke kontrakan Dalbang alis perempuan itu sekonyong-konyong terangkat saat melihat dua wajah yang tak asing keluar dari dalam mobil mewah. Rania dan Pak Jingga? Ngapain mereka.... Oh, jadi ini alasan kenapa sepanjang hari ini Pak Jingga nggak ada di kantornya bagai hilang di telan bumi?

Cih, dasar bedebah! Lusa kemarin cium-cium gue. Dan sekarang dia ketawa-ketiwi manja sama cewek lain. Bagus sekali Askara Jingga.

Oh tidak. Jangan salah sangka Biya bukannya cemburu melihat pemandangan murahan di depan matanya itu. Lagi pula dia toh tak peduli. Biya lalu berjalan kembali tanpa berniat menyapa apalagi menunggu Pak Jingga.

Ya...?”

Ya...?” Langkah kaki itu terus bergerak cepat.

“Yaya...” meskipun sadar orang yang sedang memanggilnya adalah Askara Jingga, tapi Biya berusaha menulikan telinga dan makin mempercepat langkah.

“Kamu— kenapa?” Wajah Pak Jingga sekonyong-konyong kaget saat menatap wajah Biya.

“Kamu habis nangis?”

“Nggak,” sanggah Biya buru-buru. “Lepas!” Lalu menyentakkan tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

“Nggak! Jawab pertanyaan saya dulu. Kamu kenapa?” kukuh Pak Jingga berusaha mempertahankan posisi mereka agar tetap saling berhadapan.

“Bukan urusan Pak Jingga.”

“Siapa yang bikin kamu kayak gini?” Ya ampun! Dasar batu!

“Bapak ngapain sih rempong banget?” bentak perempuan itu jengkel. “Bapak bukannya habis pergi sama cewek cantik. Ya udah nggak usah ngeributin saya terus kayak gini.”

“Siapa yang pergi sama cewek cantik? Saya pergi sama Rania. Kamu jelas tau siapa dia. Lagian saya keluar sama dia juga buat ngurusin pembukaan pabrik baru.”

Dasar munafik! Orang gue jelas-jelas lihat dengan mata kepala gue sendiri lo senyam-senyum waktu ngobrol sama Rania. Sekarang pakai acara ngelak.

“Eh, Pak. Saya kasih tau ya. Bapak mau pergi, ketawa-ketiwi, ciuman, atau tidur sama cewek lain, saya nggak peduli,” ocehnya tak karuan lalu membalikkan badan.

“Apalagi sih Pak?” Sumpah ya, kesabaran Biya rasanya sudah nyaris habis waktu Pak Jingga menyentakkan lagi tubuh perempuan itu hingga wajah mereka saling berhadapan kembali.

“Kamu kenapa?”

“Kenapa apanya?” Biya menatap bingung melihat raut wajah Pak Jingga yang terlihat aneh.

“Kamu kenapa akhir-akhir ini jaga jarak sama saya?”

“Cuma perasaan bapak aja,” kilah Biya berusaha menghindari tatapan mata Pak Jingga yang terlihat menelisik.

“Apa ini karena kejadian kemarin? Kamu berusaha menjauhi saya karena kejadian kemarin?”

“Emang kejadian yang kemarin penting buat Bapak?” sergah Biya, balik menyerang Pak Jingga.

“Apa?”

“Saya tanya apa kejadian kemarin penting buat Bapak?” bibir perempuan itu tertarik ke atas waktu melihat ekspresi wajah Pak Jingga yang terlihat kebingungan menjawab pertanyaannya.

“Ya udah, kita anggap aja kejadian yang kemarin itu cuma kekhilafan semata,” final Biya. Masih mengulum senyum mencemooh.

“Apa? Kamu bilang itu cuma kekhilafan semata?”

“Terus? Saya harus menganggapnya serius? Padahal kita sama sekali nggak punya hubungan apa-apa?” Senyum kecut tertarik di ujung bibir.

“Pak Jingga punya perasaan sama saya?”

Satu detik, dua detik. Bahkan setelah hitungan ke sepuluh lelaki yang tengah berdiri di hadapan Biya hanya diam membisu tanpa sedikit pun membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Biya.

Perempuan itu kembali tertawa kecut. “Ya udah sih Pak, nggak perlu dibikin ribet. Saya sadar kok sama posisi saya. Saya bukan siapa-siapa. Saya juga nggak mungkin salah paham sama hubungan kita.”

Biya tahu hidupnya terlalu berantakan jadi tak ada gunanya memikirkan hal tak penting yang akhirnya membuat kepalanya makin tambah pening.

“Pak, tolong dua meter.”

“Apa?”

“Jarak suci di antara kita. Dua meter.” Biya bicara lambat-lambat sambil menatap wajah Pak Jingga.

“Pak Jingga juga nggak perlu khawatir. Saya sama sekali nggak tertarik sama hubungan serius. Dan saya nggak pernah punya hubungan apa pun sama Pak Jingga.”




ENDING CHOICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang