Egois

466 108 1
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.

"Lalu Pak Jingga?" berang Biya saling menatap marah. Dia tahu salah satu dari mereka pasti tak ada yang mau mengalah.



"Emangnya aku kenapa?"



"Bukannya sebelum kita nikah, Pak Jingga udah sering banget ketemu sama Rania. Bapak inget nggak kejadian sore itu? Bapak sampai ketawa-ketiwi sama Rania. Bahkan Pak Jingga sering ngijinin dia bolak-balik dateng kontrakan Dalbang."



"Aku nggak ada apa-apa ya sama Rania."



Ha ha. Konyol. Alasannya kelewat bullshit. Terlalu klise sampai Biya kepengen muntah.



"Pak Jingga bilang nggak ada hubungan apa-apa?" Seulas senyum sinis melengkung di bibir Biya. "Cuma karena alasan nggak punya hubungan apa-apa, terus Pak Jingga bisa bebas kayak gitu? Pak Jingga ngurusin pembukaan pabrik baru juga sama Rania kan? Itu berarti kalian sering ketemu di luar kan? Tanpa sepengetahuan saya? Pak Jingga mikirin perasaan saya juga nggak? Apa saya pernah sekali pun marah sama Bapak?" Bayangan sosok Rania yang malam itu lagi teleponan sama Pak Jingga membuat emosi Biya semakin menjadi-jadi.



"Malam itu Bapak bahkan terima telepon dari Rania sampai harus keluar dari kamar. Kenapa? Takut saya denger obrolan kalian?"



"Kok sekarang malah kamu yang marah-marah sama aku?" Wajah lelaki itu sontak berubah semakin jengkel waktu mendengar ucapan istrinya yang terkesan balik menyerangnya. "Kamu tau nggak di kamar tu susah sinyal makanya aku keluar. Udah deh nggak usah ngalihin pembicaraan kayak gini."



"Ngalihin pembicaraan Bapak bilang? Dari dulu Pak Jingga tu emang susah kalau diajakin komunikasi sama orang. Emang harus banget terima telepon malem-malem dari perempuan yang bukan siapa-siapanya Pak Jingga? Apa besok tu udah nggak ada hari lain? Bapak lebih mentingin perempuan itu ketimbang saya? Padahal kita baru nikah? Kenapa? Mau alasan ngurusin kerjaan lagi? Nggak ada hubungan apa-apa lagi? Kalau gitu saya sama Rangga juga nggak ada hubungan apa-apa."



Pak Jingga seketika mengertakkan giginya murka. Dia jelas tahu kalau apa yang dibilang Biya 100% benar tapi emosi yang menguar seolah menyumbat isi kepalanya. "Kamu tu emang nggak pernah berusaha ngebuka hati kamu buat aku Ya."



"Sekarang Bapak bilang saya nggak mau ngebuka hati saya buat Bapak?" Biya bener-bener nggak menyangka kalau hubungannya sama Pak Jingga bakal berjalan seribet ini.



"Emang kenyataannya kayak gitu kan? Coba aja lihat sampai sekarang pun kamu masih panggil aku bapak, bapak, bapak!"



Ha ha. Konyol. Barusan dia bilang gue nyoba mengalihkan topik pembicaraan? Padahal omongannya aja udah nggak jelas kayak gini.



"Iya. Sekarang saya sadar Pak Jingga tetep aja egois." Perempuan itu berhenti sejenak. "Bapak pikir saya nggak muak sama sikapnya Pak Jingga?"



"Apa, muak? Kamu masih bisa bilang kayak gitu sama aku?" Ia mengusap belakang kepalanya dan rahangnya sekonyong-konyong mengeras.



"Kalau Pak Jingga emang pengen saya ngebuka hati. Harusnya Pak Jingga bisa ngomong baik-baik sama saya. Bukannya marah-marah di depan orang lain kayak gitu." Biya menarik napas kasar sebelum melanjutkan.



"Saya minta maaf Pak kalau kemarin saya nggak ijin sama Bapak. Saya kemarin langsung pergi karena terlalu kaget denger kabar dari temen saya kalau ibunya lagi sakit. Saya pengen telepon Pak Jingga tapi ternyata panggilan saya selalu Bapak rejek. Dan maaf. Bapak salah kalau bilang saya nggak belajar ngebuka hati buat Pak Jingga. Kalau emang saya nggak mau ngebuka hati buat apa saya terima lamarannya Pak Jingga. Kenapa juga kita harus menikah? Dan ngapain juga saya cerita semua itu sama Pak Jingga? Perasaan sakit yang selalu berusaha saya tutup-tutupi bahkan dari keluarga saya sendiri?"

ENDING CHOICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang