57. Tanggung Jawab

602 127 9
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.

Melihat jauh ke belakang— setelah empat bulan berlalu— tidak ada yang mengira kalau drama kacangan yang terjadi antara gue dan Jingga cuma kesalahpahaman semata. Dan hidup kami yang kacau berantakan ternyata ulah Kenia yang ingin berhubungan lagi dengan suami gue. Gila!

Tapi bagaimana pun juga setelah memikirkannya sekali lagi gue jadi merasa kalau semua ini mungkin fase yang harus kami lewati. Sebuah fase di mana kami akhirnya bisa mengerti perasaan satu sama lain. Tentang keberadaan dan posisi gue di hati Jingga. Tentang berharganya hubungan ini untuk kami berdua. Tentang gue yang akhirnya mau belajar berdamai sama trauma yang dulu pernah gue alami. Tentang perasaan gue yang sebenarnya buat Jingga. Dan tentang kami yang selalu ingin menjaga kata kita di antara gue dan Jingga.

Tapi Jingga tetaplah Jingga. Manusia paling menyebalkan yang sanggup mengalahkan birokrasi di Indonesia.

Ya, bentar deh.”

“Apa lagi?” tanya gue dengan suara tak sabar. “Udah dong. Makan aja ribet banget sih. Aku udah laper banget nih.”

Jingga menatap gue dengan ekspresi horor.

“Ini tu ada bubuk kacangnya tau nggak.”

Hah.

“Panggil menejer kalian!”

Sial! Wajah itu sudah tak berbentuk. Sebelum gue sempat membalas ucapannya, suara marah Jingga tiba-tiba terdengar setelah lelaki itu memanggil pelayan yang tadi mencatat makanan yang kami pesan.

Sial, gue jelas tau kalau Jingga pasti bakal marah-marah. Wajahnya berselimut luapan emosi seperti sapi betina yang ingin sekali buang hajat.

“Apa-apaan ini Pak?” murka Jingga setelah seorang pria dengan setelan jas rapi terhuyung-huyung ke meja kami. “Bukannya sudah berkali-kali saya bilang istri saya alergi bubuk kacang? Tapi kenapa makanan yang saya pesan malah ada bubuk kacangnya? Bagaimana restoran berkelas punya pelayanan mengecewakan seperti ini?! Kalau istri saya sampai kenapa-kenapa kalian semua mau tanggung jawab? Hah?!”

Gue menarik tangan Jingga begitu melihat menejer itu meminta maaf berkali-kali sembari menundukkan kepala.

“Ji, udah nggak papa. Nggak usah marah-marah kayak gini.”

“Nggak papa gimana? Aku udah bayar mahal buat jadi member di sini. Biar mereka bisa ngasih makanan sehat buat kamu. Tapi apa ini?”

“Iya. Tapi aku kan nggak papa.”

“Belum.” Jingga mengoreksi, suaranya penuh emosi. Menatap menejer di depan kami dengan tatapan murka. “Kalau seandainya aku nggak ada di sini terus nggak ngecek makanan yang mau kamu makan. Kamu pasti masuk rumah sakit lagi.”

Astaga. Dasar kepala batu! Begitu keluar dari rumah sakit dan tau gue lagi hamil, sikap protektif Jingga yang kelewat menyebalkan bahkan semakin membabi buta dan bertambah berkali-kali lipat. Bahkan hanya karena urusan makanan dia sampai ingin menelan kepala orang yang ada di depannya. Dengan perut makin membesar gue lalu menarik tangan Jingga. Membawanya keluar sebelum lelaki itu membakar dan menghancurkan tempat ini. Ia bahkan masih terus mencerocos tanpa henti seakan ada kebakaran hebat di atas kepalanya. Oke, tak perlu kaget memang beginilah suami gue. Jika harus mengesampingkan wajah tampan dan saldo rekening yang ada dalam dompetnya, tak ada yang bisa kalian harapkan dari seorang Askara Jingga. Eeer!

***

“Ngapain lagi ngajakin aku ketemuan?” Perempuan itu memejamkan matanya perlahan.

“Kamu udah ngilang empat bulan. Dan cuma ini yang bisa kamu omongin sama aku?”

Keheningan bertahan cukup lama. Ia menatap lawan bicara dengan pandangan frustasi. Menarik napas panjang dalam satu tarikan napas.

“Terus kamu minta aku harus ngomong apa lagi?” Suara perempuan itu terdengar kembali. Suasana di antara mereka terasa semakin mencekik.

“Apa kamu nggak ngerasa harus ngejelasin semuanya sama aku?” tuntut lawan bicara.

“Kalau aku nggak mau nerima telepon dari kamu itu tandanya nggak ada lagi yang harus dijelasin.”

“Ken, kamu tu apa-apaan sih? Tinggal sedikit lagi tujuan kita bakal berhasil dan kamu malah ngerusak semuanya kayak gini.” Orang itu menatap Kenia dengan pandangan menusuk.

Kenia mengerang. “Iya, aku emang salah. Aku salah karena udah kemakan hasutanmu. Emang sampai kapan sih Jess, kamu mau kayak gini?”

“Sampai kapan?” Jessi mendelik menatap Kenia. Bola matanya nyaris keluar dari dalam rongga.

“Kamu nggak inget kesalahan yang udah pernah kita lakuin?” Kenia sebenarnya tak ingin membahas masalah itu. Tapi dia sudah terlalu capek menghadapi sikap Jessi yang kelewat egois.

“Kesalahan apa? Emang kita ngelakuin apa?”

“Ngehancurin keluarganya Jingga!” bentak Kenia. “Bahkan karena ngebelain kamu, hubunganku sama Jingga juga harus hancur.” Suara Kenia terdengar kelewat pahit. Memikirkan kembali kejadian itu bagai membuka luka masa lalunya yang masih basah sampai sekarang.

“Kamu nggak ngerasa ya? Dulu gara-gara berusaha nutupin hubunganmu sama papanya Jingga pertunanganku sama Jingga hancur?” tanya Kenia lirih. Ia menggigit bibirnya, berusaha meredap emosi yang berdatangan tumpang tindih.

“Kamu nyalahin aku?”

“Aku nyalahin diriku sendiri karena terlalu bodoh sampai harus ngebelain saudara kayak kamu.”

“Terus anak itu? Kamu nggak kasihan sama dia? Kamu tega ngebiarin dia terlantar.” Jessi sama sekali tak mau menyerah. Emosinya bahkan semakin tersulut mendapati sikap Kenia yang jelas tak lagi membelanya.

“Biar aku yang tanggung jawab.”

“Apa?” Pandangan Jessi seketika membara.

“Minggu depan aku bakal balik ke Amerika. Dan kalian bisa ikut aku ke sana. Kita bisa mulai hidup baru dan lupain semua hal yang pernah terjadi di sini.”

“Nggak!” Jessi meronta— menolak mentah-mentah ucapan Kenia. “Buat apa kamu tanggung jawab? Hah?” lanjutnya dengan emosi yang semakin berkobar.

“Karena dia ponakan aku Jess,” jawab Kenia putus asa.

💜💜💜

3 bab terakhir udah kuunpublish yaw...
Yang mau baca 3 chapter terakhir silahkan vote dan follow dulu akun wattpadnya si kentang n_i__kka

Tengkyuuuu 🤗😘💜

ENDING CHOICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang