Gagal

463 109 0
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.

“Bapak tau salah satu hal yang paling saya benci? Ketika saya ditanya kenapa kamu nggak pengen nikah? Rasanya itu... pertanyaan paling bodoh yang pernah saya denger.”

Ya...”

Biya mengambil napas dalam, memandang Pak Jingga lekat, sebelum akhirnya sadar kalau matahari sudah nyaris menghilang ke tempat peraduannya.

“Emang siapa yang nggak pengen nikah? Saya juga pengen nikah. Saya juga pengen hidup normal. Saya juga pengen punya keluarga seperti orang kebanyakan. Tapi mereka yang tinggal di sekitar saya cuma bisa ngejudge. Bertanya dengan nada ketus dan menghakimi. Kenapa kamu nggak nikah-nikah, padahal umurmu udah 31 tahun?” Seberkas senyum pahit nyaris melengkung di bibir Biya. “Tapi sekali pun mereka nggak pernah mikir, kenapa saya bisa kayak gini?”

“Saya juga pengen nikah Pak...” lirihnya, perasaan getir itu terdengar kelewat jelas.

“Saya juga pengen kayak temen-temen saya.” Sambil menunduk Biya terus bicara. “Tapi pada akhirnya saya sadar... saya nggak mungkin ngedapetin itu. Kenapa? Karena bagi saya hubungan personal antara laki-laki dan perempuan adalah hal mustahil yang nggak bakalan bisa saya dapetin.”

“Karena masa lalu kamu?” tebak Pak Jingga setelah melihat Biya terdiam cukup lama.

“Hampir. Tapi nggak semuanya.”

Kening Pak Jingga berkerut dalam saat mendapat jawaban dari lawan bicara.

“Kalau dengan perasaan seperti ini saya memutuskan menikah dengan orang lain. Apa mereka bisa menerima saya?” Biya melirik Pak Jingga dari sudut mata.

“Mungkin Pak Jingga mikir saya aneh. Saya juga sadar saya nggak bisa maksain orang lain buat memahami apa yang saya rasain. Tapi saya juga nggak bisa memaksakan diri saya sendiri hanya demi membuat semua orang bahagia.”

“Saya gak pernah ngebiarin orang lain masuk ke dalam hidup saya karena saya tau pikiran saya terlalu semrawut. Seperti yang pernah Bapak bilang dulu. Saya bukan perempuan seperti pada umumnya. Mungkin setelah mereka tau gimana kondisi metal saya yang begitu labil, mereka bakal lari ninggalin saya.”

“Ceritain semuanya,” pinta Pak Jingga yang membuat Biya makin tak habis pikir.

“Pak— Pak Jingga masih nggak ngerti sama apa yang saya maksud? Bapak masih nggak sadar kalau yang Bapak lihat sekarang cuma kulitnya aja? Padahal kenyataannya nggak cuma sebatas itu.”

“Tolong biarin saya mutusin pilihan saya sendiri.”

Biya menghembuskan napas kasar mendapati sikap setengah batu Pak Jingga yang semakin terasa menyebalkan.

“Keluarga saya... keluarga saya terlalu berantakan,” ujar Biya menggigit bibir. Perasaannya tak nyaman saat mengatakan itu. “Mungkin saya nggak dateng dari keluarga broken home. Tapi kenyataannya hidup saya nggak jauh beda dari anak-anak broken home. Sepanjang pernikahan orang tua saya, mereka selalu aja berteriak. Saling nyalahin satu sama lain tanpa pernah mikirin gimana perasaan saya. Bahkan sejak kecil saya selalu melihat pertengkaran kedua orang tua saya.”

Biya diam sesaat dan memejamkan mata. Bibirnya bergetar. “Apa setelah semua yang saya lalui— menurut Pak Jingga, hubungan pernikahan saya bisa bertahan lama? Apa ada jaminan kita nggak saling melukai satu sama lain? Apa bakal ada jaminan kita bakal selalu bahagia? Bagi saya hubungan seperti itu cuma hal riskan yang nggak saya tau ujungnya seperti apa. Lalu, kalau sudah seperti itu bukankah jauh lebih baik buat hidup sendiri?”

“Kamu takut kalau keluargamu bakal berantakan seperti hubungan orang tuamu?” Pak Jingga bicara dan perempuan itu hanya menundukkan kepala. Ia sepertinya tak berniat menjawab pertanyaan itu. Ia jelas tahu lelaki di depannya pasti sedang berusaha menerka apa yang sedang dia pikirkan.

“Mungkin kita nggak bisa milih dilahirkan dalam keluarga seperti apa, Ya. Tapi satu hal yang perlu kamu tau. Setiap manusia punya pilihan buat menentukan jalan hidupnya sendiri.”

Tangan Pak Jingga terulur dan menggenggam sebelah tangan Biya. Sementara satu tangan lainnya ia ulurkan untuk menyentuh dagu Biya— membuat wajah perempuan itu beralih menatap wajahnya.

“Saya emang nggak tau pasti sebesar apa luka yang kamu dapet. Tapi saya tau luka itu bakal membekas selamanya,” ujar Pak Jingga menyeka cairan bening yang menggenang di pelupuk mata. “Saya juga tau hidup nggak begitu adil. Mungkin masa lalu yang pernah kamu alami begitu buruk. Mungkin kamu tumbuh dalam keluarga yang nggak harmonis. Dan semua hal yang selama ini kamu harapkan nggak berjalan sesuai kehendakmu. Tapi bukan berarti masa depanmu juga bakal berjalan seburuk seperti yang kamu bayangin. Selagi kamu masih dikasih hidup sama Tuhan, itu berarti kamu masih punya harapan.”

Biya berusaha menggeleng kukuh— berharap bisa mendebat ucapan Pak Jingga. Tapi sepasang mata cokelatnya yang kelewat cemerlang itu seperti mengunci bibirnya rapat-rapat.

“Kasih saya kesempatan,” ujar Pak Jingga penuh nada memohon. “Tolong biarin saya mengikat hubungan ini dengan cara yang bener. Saya pengen mengucapkan akad di depan keluarga kita. Emang kamu nggak mau sholat di belakang saya lagi dengan status yang halal dan sah?”

Sialan! Kenapa dia harus menatap Biya dengan ekspresi kelewat menusuk?

“Emang keluarga Pak Jingga setuju?” tanya Biya ketus.

Pak Jingga tiba-tiba menunduk, ekspresinya tak terbaca. Membuat perasaan Biya tiba-tiba seperti ditusuk. Lah, kenapa nih? Gagal dong jadi istrinya Pak Jingga? Eh!

“Mereka nggak setuju?” tebak Biya lagi dengan suara yang lebih terdengar seperti menuduh. Tapi Pak Jingga tiba-tiba menggelengkan kepalanya pelan— membuat perempuan itu merengut bingung.

“Saya cuma punya tiga adik kandung, Ya. Dan mereka semua setuju. Mereka juga bakal dateng kok kalau kita jadi nikah. Tapi adik perempuan saya kayaknya nggak bisa dateng.”

Hah, terus kenapa ekspresinya tadi kayak gitu?

“Bapak bohong?”

“Nggak. Serius. Kalau kamu nggak percaya saya bisa telepon mereka sekarang. Mereka juga lagi nungguin kabar dari saya. Mereka seneng banget waktu saya ngabarin kalau saya pengen nikah.”

Hah, gila!

“Tapi Leah kayaknya nggak bisa dateng karena dia lagi hamil tua. Jadi nggak mungkin juga dia fly ke Bali sekarang.”

What! Biya bergegas bangkit dari posisi duduk dan meninggalkan Pak Jingga.

“Ya... kamu belum jawab pertanyaan...”

“Bapak maksa banget sih!” ujarnya marah.

Ya... please...! Gimana lagi saya harus ngeyakinin kamu? Apa saya perlu minta keluarga saya buat dateng...”

“Ya udah.”

“Hah?”

“Ya udah saya mau jadi makmum sholatnya Pak Jingga.”

Dan Pak Jingga seketika menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.

“Please ulangin lagi.”

“Elah, Pak! Rempong banget sih!”

Ya...” Perempuan itu mengerang jengkel waktu melihat Pak Jingga yang tiba-tiba merengek seperti anak kecil.

“Iya, Pak, iya. Saya mau nikah sama Pak Jingga. Udah dong, emang kurang jelas? Masa saya harus woro-woro pakai toa masjid...” Biya langsung menjerit saat Pak Jingga meraup tubuhnya, mengangkatnya tinggi-tinggi seperti bocah SD.

“Ayo, saya kenalin sama om saya,” ujar Pak Jingga setelah menurunkan tubuh perempuan itu— membuat Biya melongo dan nyaris terperangah. Mata Biya bahkan tak bisa berkedip waktu menyadari seseorang yang tengah berjalan ke arah mereka.

“Ini Om Hadi. Kemarin waktu saya dateng ke rumahmu, saya pengen sekalian ngajakin Om Hadi tapi...”

Lho, ini bukannya bapak-bapak yang makan sama Pak Jingga di restoran tempo hari. Eh, tunggu! Pak Jingga tadi bilang apa? Om Hadi? Hah?

“Maksud Bapak? Pak Hadi yang punya Pabrik Deka?”

Lah, mak! Habis dong hidup gue kalau orang sepabrik tau gue bakal nikah sama keponakan yang punya pabrik? Meeek!


ENDING CHOICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang