BANTUAN PANGAN NON TUNAI

442 22 21
                                    

"Tumben banyak amat cuciannya, Yuk War?" Satu perempuan dengan bawahan jarit, terlihat sibuk dengan popok bayi, ada di gantungan pakaian.

"Biasa toh, Ning. Kalau hari Jumat ya, begini," jawab Warsinah.

Dua jemuran milik mereka saling berhadapan. Dua tali panjang yang membentang, terikat di antara dua batang jambu batu, sudah penuh oleh jarit basah yang mulai diterpa matahari pagi.

"Wah. Pasti semalam Kang Noto mengamuk ya, Yuk. Hi hi hi."

"Kayak tidak tahu saja kamu, Ning." Warsinah juga mulai membentang sarung kawung milik suaminya.

"Lelaki memang begitu, Yuk. Biar sebentar, pokok butuhnya harus dituruti." Nining Sumining tersipu seraya memeras lembar popok.

"Ah, kamu ini, Ning."

"Eh, iya benar loh, Yuk. La ini buktinya." Nining Sumining mengibas popok di tangan.

"Kamu ini mbok ya, KB. Kasihan dengan anakmu yang nomor tujuh itu."

Bresh!

Warsinah mengibas kolor hitam pendek, tampak sedikit celah pada selangkangan.

"La bagaimana lagi. Bapaknya genduk, kalau tidak dituruti ... ya, tahu sendiri toh, Yuk. Obat lelah katanya, begitu."

"Obat lelah opo. Yang ada, aku itu kasihan melihat kamu. Kalau keluar ke warung semua anak kamu ajak. Gendong, gembol, gandeng renteng, seperti orang menyeberang jalan."

"Entah, Yuk. Apa saya ini yang kelewat subur. Cuma ditempelkan dikit saja sudah hamil."

"E, bagaimana toh? Mbok ya, kamu itu ya KB. Implan atau pil, atau apalah."

Percakapan berbatas tali jemuran masih terjadi. Di atas, angin pagi perlahan menyibak mendung putih, menjadikannya sinar hangat kembali menerpa deret jemuran keduanya.

"Kang Noto ke mana, Yuk? Belum bangun?"

"Sudah. Ke balai desa." Warsinah menggantung kutang, benda yang menjadi hadiah ulang tahun perkawinan kala itu.

"Rapat?"

"Biasa, Ning. Ambil bantuan."

"Wah enak ya, dapat bantuan." Nining Sumining menarik sudut bibir.

Warsinah sadar, ucapan itu menjurus atas keadaan Nining Sumining yang banyak anak.

"Mbok ya saya ini yang seharusnya dapat bantuan." Ucapan Nining Sumining membenarkan dugaan Warsinah.

"Kamu, 'kan orang baru, Ning, di sini? Mungkin belum."

"Iya paling, Yuk. Hari apa itu memang ada petugas Puskesmas datang. E ... tak pikir mau kasih apa toh apa begitu."

"La terus?" tanya Warsinah.

"Cuma kasih alat kontrasepsi, kondom. Buat apa? Apa dikira anak-anak saya mau makan kondom."

"Mbok ya, kasih beras atau apa."

"Kelambu juga mau. Kadang suka malu kalau semua kumpul jadi satu di kamar. Belum lagi kalau bapaknya minta, yang paling kecil minta nenen. Ah, pokoknya susah, Yuk," cerocos Nining Sumining.

"Minta tolong siapa kek ke Puskesmas, suntik KB. La wong tidak bayar kok, Ning," sambar Warsinah.

"Ah. Malas aku, Yuk War. Kalau urusan suntik menyuntik, aku itu paling takut sama jarum," balas Nining Sumining.

"La kamu ini bagaimana toh, Ning. Mau gawangmu kebobolan terus?"

"E ... entah, Yuk. Ingin sebenarnya kayak Sampean itu. Isi dapur sudah lengkap, bisa bantu suami kerja."

𝗖𝗘𝗥𝗞𝗔𝗞: 𝗘𝗜𝗞𝗘 𝗕𝗨𝗞𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗡𝗖𝗢𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang