PENCARIAN

168 10 38
                                    

Di tempat lain.

Di tengah persawahan, tampak dua sosok berjalan menyusuri galangan-galangan.

"Jane ngopo polisi iko ngoyak dewe, ha." (Sebenarnya kenapa polisi mengejar kita, ha).

"Marcadona mamaria membawa kitring ke penjara, Kumis. Ih, begindang."

"La awakku ki nglakoni opo to?" (Memangnya saya melakukan apa?).

"Itu karena yey culik eike." Seraya terus berlari.

"Nyulik matamu suwek! Nggo opo yoan, dikilo yo gak payu!" (Menculik matamu sobek! Untuk apa juga, dikilo juga tidak laku!). Berlari di belakang Sapulina

Mereka berhenti di sebuah gubuk tengah sawah.

"Bakal dowo urusane iki, sampek polisi mbarang ngejar-ngejar awakku. Adoh, Mak 'e ... kok dadi ngene to." (Bakal panjang urusannya ini, sampai polisi juga mengejarku. Aduh, Mak 'e ... kok jadi begini).

"Eit ... eit ... eit ... memang Tuhan indang adil, yeus? Berarti malampir indang milik kita berdua, Kumis. Mengerti?"

"Ko tak delepno neng lendot lo awakmu! Gak ngerti wong gupuh!" (Di lumpur nanti saya tenggelamkan kamu! Tidak tahu orang panik!).

"'Tu, 'kan? Eike bilang jugria apose, 'kan? Jodoh indang di tantangan Tuhan. Tidak bakal tertukar."

"Maksudmu ki opo, he. Iki goro-goro awakmu dadi gak genah ngene uripku!" (Maksudmu itu apa, he. Ini semua gara-gara kamu membuat tidak jelas begini hidupku!).

"Tuhan mengirim kita berdua untuk bulan madu di sini, Kumis, hi hi hi." Diakhiri gerak kemayu.

"Sindang naik. Ayo, sini. Eike sudah siap melayani. Ayo ... ayo." Dengan ngondek.

"Oalah Gusti. Patenono ae wong iki, cabuten ae nyowone, gawe sirahku mumet ki lo!" (Ya Allah. Matikan saja orang ini, cabut saja nyawanya, membuat kepalaku pusing!).

"Kok melanglang buana Kumis, yang groji."

"Groji ... groji. Geraji! Nggo nggraji lambemu iku!" (... Gergaji! Untuk menggergaji bibirmu!).

"Kumis, banyes nyamuk. Bentol ... ih, bentol." Sengau lagi.

"Ngurus! Awakku kate moleh!" (Tidak urus! Aku mau pulang!).

"Eh, janjong, Kumis. Eike dianggurin di sindang."

"Polisi-polisi yang terhormat itu pasti sudah menunggu yey. Dipenjara itu berat, seperti aku yang terpenjara oleh cintamu."

"Ya, Allah. Patenono wong edan iki ya, Allah." (Ya, Allah. Matikan saja orang gila ini ya, Allah). Dengan kesal Kuswanoto mengempaskan bokong di papan gubuk, gubuk yang dia buat untuk berteduh kala siang hari sewaktu sawah ini dia garap, sekarang hanya menyisakan lumpur kering.

"Kumis?" Sapulina tiba-tiba memeluk dari belakang, terasa kuat, seakan dia tahu kalau Kuswanoto pasti menolak pelukan hasrat itu.

"Tak sikut mrongos ngko awakmu! Culke!" (Saya sikut kamu! Lepaskan!).

"Kumis, sejak pandangan pertambangan tadi, eike udin cintrong. Cucok deh."

"Awakmu kok jek nghetek ae. Awakku ki duk homo! Kono kambek Juragan Ngadiman iko!" (Kamu kok masih menggebu saja. Aku ini bukan homo seperti Juragan Ngadiman itu!).

"Coba dulu, ah. Tintus beda jauh. Ya, sebelas dua belas begindang samosir perawan."

Kuswanoto membalikkan badan saat dirasa pelukan Sapulina sedikit longgar. "Tak idoni lo ngko cangkemu!" (Saya ludahi nanti mulutmu!).

𝗖𝗘𝗥𝗞𝗔𝗞: 𝗘𝗜𝗞𝗘 𝗕𝗨𝗞𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗡𝗖𝗢𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang