PERPISAHAN YANG SEMPURNA

149 12 1
                                    

Motor berhenti di bawah pohon sawo. Sapulina turun, lalu diikuti Kuswanoto.

Alang-alang gersang menghiasi jalan yang masih terlihat lengang.

Kuswanoto tampak melambai kepada satu mobil yang melintas.

Tin!

Kapasitas penumpang cukup, mobil hanya menghidupkan klakson sebagai tanda.

Terik matahari kian membakar. Satu mobil truk melintas. Kuswanoto hanya berdiri seraya melempar pandang ke arah belakangnya.

Tin!

Mobil truk perlahan berhenti. "Mau ke mana!" teriak satu lelaki dari sisi kiri mobil.

Sapulina segera berlari kecil nan manja untuk mendekat.

"He, duk iku mobile!" (He, bukan itu mobilnya!), teriak Kuswanoto.

Tampak Sapulina terlibat percakapan sejenak, tak lama kemudian satu lelaki muda turun dengan membuka pintu.

Kuswanoto segera mengejar mereka.

Terlihat Sapulina menyambutnya dengan senyum. "Kumis, eike ikut mobil kakang ini sampai kota."

"Lo piye to?" (Lo bagaimana toh?).

"Tidak apa-apa, Kang. Sepertinya dia membutuhkan tumpangan," ucap lelaki yang dimaksud, tak lain adalah kernet truk.

"Kumis ...."

"Ayo!" seru lelaki untuk Sapulina bergegas naik.

"Kumis, eike mohon jangan ceritakan ke mana eike akan pergi."

Kuswanoto mengangguk, jelas dia paham akan ucapan Sapulina, untuk tak menyampaikan ini kepada Pak RT.

"Eike pamit, Kumis."

"Pangestuku nggo awakmu," (Restuku untukmu), balas Kuswanoto.

Sapulina melangkah naik, diikuti kernet truk.

Mobil mulai bergerak, meninggalkan Kuswanoto yang berdiri di pinggir jalan.

"Kumis!"

Lambaian tangan perpisahan Sapulina dari jendela yang terbuka. Dibalas Kuswanoto dengan mengangkat tangan, menggerakkannya perlahan. Ya, perlahan tapi pasti, bayang Sapulina makin hilang seiring mobil yang makin menjauh.

Kuswanoto hanya terpaku dipinggir jalan, tersadar dia saat satu mobil yang pernah berhenti di halaman rumahnya malam itu melintas.

"Polisi?"

Kuswanoto tak memedulikan itu, berbalik dia melangkah menuju motor.

"Gak nyongko, iso duwe konco bencong." (Tidak menyangka bisa punya teman bencong).

"Yo njengkelno. Yo kadang mesakno." (Ya menjengkelkan. Ya kadang kasihan).

Kuswanoto memasukkan tangan, meraih kunci motor yang dia masukkan tadi. Dahinya yang memiliki dua garis kerutan khas sejajar vertikal, makin dalam melipat, saat dia merasa ada benda lain.

Betapa terkejutnya dia saat mendapati lipatan uang. Cepat dia membukanya, berjumlah enam lembar ratusan ribu. Uang yang pernah dia ikhlaskan untuk Sapulina dari hasil bantuan BNPT untuk periode tiga bulan.

Tak bisa berkata apa-apa, angan melayang pada saat Sapulina memeluknya erat di belakang boncengan motor tadi. Sapulina diam-diam mengembalikan uang itu dalam saku celana Kuswanoto.

"Eike bukan bencoooonggg!" teriaknya merentang tangan, sementara Kuswanoto hanya bisa tersenyum seraya terus membawa Sapulina untuk lekas sampai di jalan aspal.

"Eike bukan bencoooonggg!"

"Huuuuu!" teriak Sapulina keras, diakhiri tawa bahagia dalam sapu angin yang menerpa wajahnya.

Kuswanoto tak menahannya, dia sengaja membiarkan Sapulina bertingkah demikian, sesekali dia melirik dari kaca spion. Sapulina terlihat begitu bahagia.

Kuswanoto tersenyum saat Sapulina kembali duduk dan erat memeluknya dari belakang.

"Kumis, bolehkan eike kapan-kapan main ke sini lagi?"

Kuswanoto menarik napas panjang, menghembuskan perlahan, semua terngiang di telinga.

"Opo maksud omongane. Opo iyo Sapulina bakal mbalek neh neng Cerkak?" (Apa maksud ucapannya, apa iya Sapulina bakal kembali lagi di Cerkak?), batin Kuswanoto.

"Manut dalange ae lah wes," (Apa kata dalangnya saja), ucapnya seraya meraih setang motor, memasukkan kunci, dan memacunya untuk segera kembali pulang.

****

Sesampainya di rumah.

"Kang, dari mana saja Njenengan?" sapa Pak RT yang sudah menunggu dengan dua polisi yang waktu itu ke rumahnya, tidak disertai Bankantibmas.

"Ko ngendaki montor neng bengkel. Ginio?" (Dari melihat motor di bengkel. Kenapa?).

"Pak Polisi ingin menanyakan kepastian sekali lagi, tentang ODGJ itu."

"Weh. Awakku ki gak roh neng endi mlayune." (Weh. Aku ini sungguh tak tahu ke mana dia lari).

"Benar itu, Pak?"

"Sumpah Pak Polisi, awakku gak roh tenan," (Sungguh Pak Polisi, aku tidak tahu sungguh), jawab Kuswanoto.

"Bagaimana ini, Komandan?"

"Ya sudah, kita pantau terus. Aku yakin dia masih bersembunyi di sudut kampung ini."

"Maafkan kami, Pak Noto, telah mengganggu waktunya, tetapi kami harap, kalau memang benar Bapak, mengetahui atau bertemu dengannya, tolong beritahu kami, atau bisa lewat Pak RT."

"Nggeh, Pak. Pesti niku." (Ya, Pak. Pasti itu).

"Ayo, Pak RT. Kita langsung saja."

"Ayo."

"Kang, kami permisi."

"Yo." (Ya).

Kuswanoto berdiri mengantar kepergian mereka.

Saat mobil menjauh dari halaman, ada senyum tersembunyi, begitu tipis, bahkan samar oleh kumis yang bergerak melintang.

𝗖𝗘𝗥𝗞𝗔𝗞: 𝗘𝗜𝗞𝗘 𝗕𝗨𝗞𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗡𝗖𝗢𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang