Axellion─001

150K 901 21
                                    

"Abang!"

"Abang bangun ih," Eca berdecak kesal melihat tidur Axel yang lebih mirip dengan simulasi mati.

Eca berhenti menggoyangkan lengan Axel. Tubuhnya merangkak naik ke tempat tidur dan duduk di atas perut Axel. Dengan gerakan lembut, Eca meraba dada Axel yang keras. Axel pasti rajin berolahraga!

"Abang bangun!" Eca menunduk dan berteriak di telinga Axel.

"Arghh!" Axel menutup sebelah telinganya yang terasa berdengung.

"Ganggu aja sih," dengan berat hati, Axel membuka matanya. Pemandangan yang tersuguhkan itu membuat dirinya turn on. Seragam yang Eca gunakan terbuka di bagian kancing atas, hingga menampilkan belahan dadanya. Apalagi dengan posisi Eca yang duduk di atas perutnya, membuat Axel berpikiran yang 'iya-iya'.

"Turun," suruh Axel.

Eca nyengir. Tubuh mungilnya segera beranjak turun.

"Anterin Eca sekolah," Eca menarik tangan Axel saat Axel justru hendak berbalik untuk melanjutkan tidurnya.

"Berangkat sendiri sana!" ketus Axel.

"Tapi bang-"

"Udah huss huss," Axel mengibaskan tangannya.

Eca cemberut. Kakinya menghentak kasar keluar dari kamar Axel. "Yaudah, Eca minta jemput Deon aja!"

Mendengar pekikan Eca, Axel segera bangkit. Berkat kakinya yang panjang, dengan beberapa langkah besarnya Axel berhasil menyusul Eca di depan gerbang.

"Tungguin, abang siap-siap dulu," Axel menahan pergelangan tangan Eca yang hampir melangkah keluar.

Eca tersenyum senang, "oke!"

○○○

"Belajar yang bener," Axel mulai mengeluarkan petuah-petuah rutinnya setiap kali mengantarkan Eca sekolah.

"Iya," Eca menjawab dengan jengah. Pasalnya, sebelum Axel menyelesaikan petuahnya, Eca tidak diperbolehkan keluar daei mobil. Bahkan Axel mengunci pintu mobilnya.

"Jangan jajan sembarangan juga, apalagi seblak,"

"Ih abang, itu tuh makanan wajib para cewek! Abang itu cowok, gak bakal paham deh," Eca protes. Enak saja Axel ini berkata seperti itu. Seblak itu wajib!

Axel mendengus, "satu lagi. Jangan deket-"

"Jangan deket-deket sama Deon, iya-iya Eca tau. Eca mau turun, nanti telat," Eca memotong kalimat yang sudah di luar kepalanya.

"Adek abang pinter," Axel membuka kunci pintu mobil lalu mengusap pelan puncak kepala Eca.

Eca beringsut maju, mendekatkan tubuhnya pada Axel.

Cup.

"Jangan lupa jemput Eca, ya," Eca mengingatkan. Dirinya keluar dari mobil setelah mengecup singkat pipi kiri Axel.

"Sialan! Bibirnya lembut banget," Axel bergumam seraya menyentuh pipi kirinya.

Dari dalam mobil, Axel menatap punggung Eca yang semakin mengecil sebelum menghilang di koridor. Seingat Axel, dalam hitungan hari adeknya itu akan menginjak usia 17 tahun. Tak terasa sekali, gadis kecilnya susah beranjak dewasa.

"Padahal rasanya baru kemaren gue bantu gantiin popok dia," Axel terkekeh pelan. Kakinya mulai menekan gas dan beranjak dari depan gerbang sekolah Eca.

Axel itu freelancer, sehingga setelah mengantarkan Eca, Axel putuskan kembali ke rumah dan mulai mengecek Email yang masuk, sebelum sebuah panggilan telpon mengganggu kegiatannya.

"Halo," sapanya.

"Gimana kabar kamu?"

"Bilang aja Papa mau nanyain kabar Eca," Axel memutarkan bola matanya malas walau tak akan terlihat oleh Papanya.

Terdengar kekehan pelan dari sebrang, "Papa nanyain kabar 2 anak Papa,"

"Baik, ko. Tapi sekarang Eca lagi sekolah," Axel mengapit ponselnya dengan bahunya. Tangannya kembali mengecek Email pada laptop yang Axel taruh di atas meja.

"Papa masih belum bisa pulang, jangan bikin adek kamu nangis,"

"Hm," Axel hanya bergumam pelan.

"Axellion, jangan-jangan kamu sering bikin nangis Eca kalo gak ada Papa di rumah,"

Axel menegakkan tubuhnya, "Papa jangan asal nuduh dong. Papa ini sering perhatian berlebih sama Eca doang,"

"Oh, jadi ceritanya anak Papa yang ini mau dimanja juga?"

Pipi Axel memerah hingga ke telinga, "enggaklah. Axel udah gede,"

"Masa sih?"

"Aku lagi kerja, Pa. Lanjut nanti, ya,"

Tut.

Axel mematikan panggilan secara sepihak. Hubungan anak-bapak itu memang sangat akrab, baik sebelum maupun sesudah kehadiran Eca di tengah-tengah mereka.

Sejak kecil, Axel hanya hidup berdua dengan Darius, Papanya. Sang Mama meninggal saat melahirkannya. Hingga kemudian Papanya menikah lagi dengan wanita yang entah dari mana. Axel tidak melarang, apalagi di umurnya yang masih belia, dia masih membutuhkan sosok ibu.

Tahun-tahun berlalu, hubungan mereka tetap baik-baik saja sebagai keluarga yang harmonis. Ibu sambungnya begitu menyayangi Axel dengan tulus. Hingga di umur Axel yang tepat menginjak 9 tahun, hadir seorang bayi cantik.

"Kamu tunggu di rumah, Papa akan bawa Bunda ke rumah sakit. Jangan lupa kunci pintu dan jangan biarin orang asing masuk,"

Dengan tergesa-gesa Darius menggendong wanita yang Axel panggil Bunda. Darah merembes keluar dari sela-sela kakinya. Axel hanya menurut, mengunci diri dari dalam rumah hingga tertidur di ruang tamu.

"Axel, buka pintunya! Papa lupa bawa kunci cadangan," Darius mengetuk pintu dengan sedikit keras.

Axel terbangun. Dengan wajah menahan kantuk, tangan mungilnya memutar kunci dan membukakan pintu untuk sang Papa. Malam telah tiba saat Axel menengok keluar.

"Ini bayi siapa?" perhatian Axel tertuju pada bayi mungil di gendongan Papanya.

"Sekarang, dia adek kamu. Namanya Teresha,"

Axel mengangguk. Matanya celingukan mencari satu orang lainnya.

Darius menahan dirinya untuk tidak menangis melihat puteranya. Darius tau apa yang sedang Axel cari.

"Bunda mana?" akhirnya pertanyaan itu keluar dari bibir mungil Axel.

Darius mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi Axel. "Bunda nyusul Mama ke surga,"

Axel menatap bayi kecil itu dengan mata berkaca-kaca, "kasian dia belum ngerasain kasih sayang Bunda, sama kayak aku yang gak ngerasain kasih sayang Mama,"

Darius mati-matian menahan tangisnya mendengar kalimat spontan dari Axel.

"Kalo gitu, Axel harus selalu ada buat adeknya, oke?"

"Oke!" Axel menautkan kelingkingnya dengan kelingking Darius. Tangannya yang bebas, mengusap air mata di pipinya.

"Axel bakalan jadi Abang yang kuat!"

Axel terkekeh pelan ketika ingatannya terlempar jauh pada hari itu. Tangannya mengusap wajahnya kasar, mencoba menghapus bayangan itu.

"Entah kebetulan dari mana, kita lahir di tanggal yang sama, gadis kecil."

Axel melirik foto besar yang terpajang di dinding. Foto yang berisi dirinya, Eca, dan Papanya. Foto itu diambil saat Papanya mengadakan perayaan ulang tahun yang ke-17 untuk dirinya, dan ke-8 tahun untuk Eca.

○○○

Tbc...

Step SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang