Part 17

281 32 0
                                    

Doyoung acuh tak acuh, berjalan tegas tanpa menghiraukan tatap kagum dari banyak pasang mata. Sebelah tangannya mengepal, seolah melindungi sisa hawa panas yang tertular dari Junghwan. Doyoung meresapinya sepanjang perjalanan menuju ruangan Junkyu, meyakinkan diri jika So Junghwan memang sakit, bukan berpura-pura demi mendapat atensinya.

Wajah pucat serta tampilan kacau Junghwan tak henti membayangi benak Doyoung. Dia tidak menyukai dirinya yang terpancing dan justru terganggu dengan itu.

"Katakan terima kasih kepada uisa sonsaengnim."

Dari jarak dua meter, Doyoung melihat Junkyu berbincang dengan seorang gadis cilik dan wanita dewasa yang ia duga sebagai ibunya. Bocah itu memegang sebuah mainan yang masih terbungkus rapi, dan nampak sangat menyukainya dengan memeluknya erat.

"Uisa sonsaengnim, terima kasih banyak!" tubuh mungilnya membungkuk lucu.

Junkyu tertawa. "Eoh, lain kali kau tidak boleh takut untuk pergi ke rumah sakit lagi. Jika kau tidak ingin melakukannya, maka sonsaengnim tidak akan pernah memberimu mainan lainnya. Kau sangat menyukainya, kan?"

Anak itu mengangguk cepat, melirik boneka kelinci barunya sebelum tersenyum lebar pada Junkyu yang mensejajarkan tubuh mereka. "Aku akan menjadi anak yang berani mulai sekarang."

"Bagus, dengan begitu sonsaengnim akan menyediakan lebih banyak mainan untukmu. Kau hanya harus berjanji tidak akan melewatkan kontrolmu setiap bulannya, janji?" kelingking Junkyu mengacung.

"Em, janji!" si gadis cilik membalas Junkyu dengan menautkan kelingkingnya.

"Sonsaengnim, terima kasih untuk mainannya." si wanita tersenyum lembut. "Kalau begitu kami permisi. Sampai jumpa sonsaengnim."

Junkyu balas membungkuk. Ia tersenyum lebar seraya melambai pada si gadis cilik yang mulai menjauh dalam gandengan sang ibu.

Doyoung memiringkan kepala. Saat bekerja Junkyu tampak dewasa, tidak berisik dan kekanakkan. Andai saja saudaranya itu bersikap serupa dalam kehidupan sehari-hari, maka Doyoung rela memanggilnya hyung setiap waktu.

"Kau sembelit? Kenapa lama sekali di kamar mandi?" Junkyu berujar begitu atensinya mendapati sang adik.

Mendengkus, Doyoung merotasikan mata tanpa berkeinginan memberi jawaban. "Aku ada urusan. Saat pulang kau bisa menghubungiku," katanya bernada datar.

Mengerucutkan bibir, Junkyu memberi sorot enggan. "Tidak perlu, aku bukan anak usia dini yang perlu kau antar jemput. Banyak taksi dan bus, aku bisa naik salah satunya untuk pulang. Kau tidak perlu merepotkan dirimu sendiri."

Dahi Doyoung mencipta kerutan samar. "Jangan kau pikir aku tidak tahu apa yang kau rencanakan," todongnya.

Junkyu gelagapan. "A— apa maksudmu? Memangnya apa yang aku rencanakan!?"

Telunjuk Doyoung mengacung tegas, menunjuk pada Junkyu. "Jangan berani menghubungi Haruto di belakangku, apalagi sampai menemuinya atau—"

"Atau apa?" potong Junkyu, sebal. Bagaimana mungkin isi kepalanya bisa se-transparan itu.

"Atau aku akan mengadukan kalian berdua pada eomma, kita lihat apa yang akan dia lakukan padamu."

Menggembungkan pipi, Junkyu mendelik sinis sebelum masuk kembali ke ruangannya dan menutup pintu cukup keras. Merajuk.

Doyoung berdecak, tidak ingin terlalu memikirkan perilaku Junkyu yang menurutnya berada di ambang batas normal dan abnormal. Entah kapan sifat kekanakkan saudaranya itu bisa hilang. Doyoung berdoa, semoga hal itu terjadi secepatnya, karena dia tidak bisa membayangkan saat Junkyu menua sementara pola pikirnya masih serupa. Hanya dengan memikirkannya hal itu terasa sangat menyeramkan.

It's All About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang