Prolog

1.4K 64 35
                                    

Seluruh sudut bar diisi keremangan cahaya. Alunan musik jazz, suara minuman tertuang, dan bunyi pergeseran gelas pendek berisi cairan kecoklatan.

Rungu Doyoung masih setajam itu, segala jenis bunyi di sekitarnya mulai dia anggap seni sembilan tahun belakangan ini. Sebagaimana seniman lainnya, dia mampu menemukan inspirasi di manapun.

"Hai, boleh aku bergabung?"

Sorot Doyoung lurus pada rak botol anggur di belakang punggung seorang bartender. Mendatarkan ekspresi. Denting es yang menyentuh sisi dalam gelas terdengar ketika dia menyesap pelan isinya. Menghela nafas, Doyoung lantas menandaskan isi gelas di detik selanjutnya. "Ini tempat umum, kau boleh duduk di mana saja." ekor matanya melirik singkat pada perempuan bergaun ketat yang memberinya sodoran gelas champagne.

Perempuan itu melunturkan senyumannya yang terkesan main-main, tertukar rekahan senyum sensual. Bahasa Doyoung yang beku tidak pernah gagal memicu rasa penasaran dari banyak wanita. Tampan, dingin, misterius, Doyoung sulit dilewatkan sebagai tantangan untuk dibuat takluk.

"Kau sendiri?"

Doyoung melihat bagaimana cara perempuan itu menggoda. Jemari lentiknya memberi usapan sensual di atas lengan berlapis kemeja hitam yang tergulung sampai siku, merasakan otot keras yang terbentuk dibalik rupa kulit putih. Diam, Doyoung menikmati perlakuan perempuan itu sembari mencetak sunggingan miring.

Lagi pula perempuan itu tidak buruk. Wajah serta lekuk tubuhnya adalah mahakarya dengan nilai sempurna, Doyoung pun mengakui. Sayang, kesenangannya harus usai saat Doyoung merasakan tatap tajam dari belakang serta tepukan keras di bahunya.

"Sepertinya aku terlambat," suaranya tenang namun mengandung emosi terselubung. "Kau tidak akan mempersilahkanku duduk?"

Doyoung mengusap tengkuk, menghela nafas berat. "Maaf nona, tapi itu tempat duduk 'teman'ku," ujarnya memberi lirikan kecil.

Mendesah kecewa, perempuan itu menggigit bibir, melirik pria berpenampilan casual dengan long coat sinis.

"Pesan apapun yang kau mau, aku akan membayar," imbuh Doyoung. Sebelah lengannya melingkari pinggang ramping si perempuan, memberi elusan pelan saat menggiringnya meninggalkan kursi.

Pria yang masih berdiri dibelakang punggungnya berdecak keras. "Kau sudah berada di negara ini hampir satu bulan, jika Asahi tidak memberitahuku kau ada di sini, mungkin aku akan tetap menjadi orang bodoh yang berbicara dengan bulan setiap malam karena menunggumu."

Doyoung melirik pria itu melalui bahunya ketika kursi di sampingnya kembali berpenghuni. Mengacungkan gelas kosong pada bartender agar terisi kembali. "Itu lagu Bruno Mars?" balasnya acuh.

"Apa kau akan fokus pada hal itu sekarang?" nadanya mulai bergolak. "Satu tahun kau mengacuhkanku, Apa masih belum cukup? Setidaknya hubungi aku ketika kau sampai."

"Aku tidak memiliki kewajiban untuk itu So Junghwan, kenapa kau bersikeras."

Bibir Junghwan otomatis merapat. Memejam mata sejenak, kepalan tangannya kemudian memukul permukaan meja bar cukup keras. "Beri aku gelas," pintanya setengah menggeram.

Kim Doyoung bertopang dagu, memainkan lidahnya pada deretan gigi. Menatap Junghwan yang menuang anggur dan minum terburu-buru. "Sekarang katakan kenapa kau bisa ada di sini? Kehadiranmu hanya akan menghancurkan malamku, kau tahu itu."

"Kim," Junghwan mengernyit, hampir tersedak berkat ia berbicara sementara minumannya masih menyangkut di tenggorokan. "Merindukanmu adalah kejujuranku, sedangkan memberikan undangan ini adalah alibiku untuk berada di sini." undangan berwarna navy berlukis tinta silver tersimpan di atas meja. "Terserah kau mau menerima jawaban yang mana."

It's All About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang