1. Seandainya

195K 9.4K 161
                                    

Hallo, Temen-temen.
Perkenalkan, namaku Mui dan ini cerita pertamaku.
Mohon dukungannya, ya.

***

Menikah adalah sebuah keputusan besar yang melibatkan kesiapan fisik, emosi, mental, dan tanggung jawab untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, menikah juga adalah ibadah yang sangat sakral dalam Islam. Mitsaqan ghaliza, artinya perjanjian yang amat kukuh. Dengan menikah, kita bisa menjaga kesucian, mendapatkan ketenangan, dan saling melengkapi sebagai hamba Allah.

Dan melihat semua keutamaan menikah itu, Giska membulatkan tekad untuk melanjutkan kisah cintanya ke tahapan yang suci. Selain karena sudah cukup mengenal kekasihnya—kurang lebih selama 1 tahun—mereka juga sudah sama-sama siap.

“Ma, menurut Mama, kemanginya udah cukup, belum?” tanya Giska pada wanita paruh baya yang datang bersamanya untuk food test. Ia menunjuk salah satu makanan Sunda yang ada di hadapannya.

“Iya, sih. Kayaknya bakalan lebih nikmat kalau daun kemanginya ditambah.” Wanita paruh baya itu mengangguk, setuju dengan ucapan Giska. “Mau tambah aja?”

Giska mengangguk. “Iya, Ma. Tambah dikit lagi.”

“A, coba sini.” Beliau melambaikan tangan pada pegawai katering yang ada di sana. “Nanti, tolong tambah kemangi buat karedok, ya. Biar lebih nendang, gitu. Lebih nikmat.”

“Baik, Bu.” Dengan cepat, laki-laki pegawai katering itu mencatat di sebuah buku kecil. “Ada lagi yang perlu ditambahkan?”

“Jus jeruknya masih agak asem, A,” ucap Giska. “Terus, bistiknya tolong ditambah daun jeruk, ya. Biar agak lebih seger.”

Memang banyak maunya. Giska harus kritis dalam persiapan pernikahannya. Dia tidak ingin ada yang kurang, barang sedikit pun. Semuanya harus sempurna, karena ini adalah pernikahan impiannya.

Di usia 24 tahun, Giska memantapkan hati untuk menikah dengan Rakha, laki-laki yang selama setahun ini dekat dengannya. Tidak ada pacar-pacaran, tanggal jadian, atau tembak-menembak. Mereka hanya dekat dengan tujuan menikah. Dan 3 bulan lalu, dengan resmi Rakha mempersunting Giska atas restu orang tua mereka.

“Gis.”

Sontak Giska menoleh. “Ya? Kenapa, Ni?”

“Kayaknya, aku harus pergi sekarang, deh. Barusan ambu telepon, minta dianter ke Pasar Baru. Gak apa-apa, 'kan?” Nia—sahabat Giska—menggigit bibir bawahnya karena merasa tak enak hati.

Perlahan tapi pasti, Giska mengangguk. “Ya udah, pulang aja kalau gitu. Lagian, aku juga ditemenin Mama Elly.” Lalu, Giska menoleh, menunjuk bistik yang ada di meja. “Ini cuma perlu tambah daun jeruk aja, 'kan?”

“Iya, cuma itu. Soal rasa sama kekentalan kuah udah pas, sih.” Nia menepuk bahu Giska. “Aku duluan, ya. Maaf gak bisa nemenin sampai beres.”

“Iya, gak apa-apa. Buruan jalan, sana. Kasihan tante kalau harus nunggu lama,” usir Giska sembari mendorong sahabatnya menjauh.

“Habis manis sepah dibuang, ya,” sindir Nia sembari tertawa meninggalkan tempat katering.

Giska hanya melambaikan tangan di tempat saat sahabatnya itu menjauh.

Terhitung sudah hampir 10 tahun mereka bersama. Dari awal masuk SMA sampai lulus, Nia yang menjadi sahabat terdekat Giska. Walaupun mereka kuliah di kampus yang berbeda, tetapi tidak merenggangkan persahabatan. Sampai mereka terjun ke dunia kerja pun—bahkan saat Giska akan menikah—Nia tetap tidak terganti.

“Ma, aku terima telepon dulu, ya. Dari ayah,” pamit Giska pada mama mertuanya.

“Oh, iya, iya,” jawab Bu Elly—calon ibu mertua Giska.

Surga Bersamamu [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang