11. Gangguan Masa Lalu

79K 8K 149
                                    

Abi melangkah menuju area parkir. Dia memainkan kunci mobilnya dan terus melangkah penuh keyakinan. Dari luar, dia memang terlihat baik-baik saja. Namun, di dalam, pikiran Abi sedang pusing-pusingnya.

Ini tentang tangisan Giska. Dua malam berturut-turut, istrinya itu menangis. Baiklah, yang kedua adalah salah Abi. Namun, untuk yang pertama, Abi belum tahu alasannya. Dari keceriaan Giska tadi pagi, sepertinya ia juga tidak berniat untuk memberi tahu Abi. Selama 2 hari Abi hanya bisa bertanya-tanya sendiri mengapa Giska menangis sendirian di balkon malam itu.

“Woy!”

“Astagfirullah!” pekik Abi saat bahunya ditepuk lumayan keras. Dia melirik Cecep yang cekikikan sendiri. “Kebiasaan!”

Cecep memegang perutnya. Ekspresi terkejut Abi barusan benar-benar hiburan tepat untuk lelahnya. “Lagian, jalan sambil ngelamun kayak gitu. Setan lewat, habis kamu, Bi.” Sekarang, Cecep menggandeng bahu Abi dan melangkah bersama. “Kenapa, sih? Pengantin baru mukanya kusut begitu. Gak dikasih jatah, ya?”

Tanpa ampun, Abi menyingkirkan tangan Cecep dari bahunya. “Sembarangan!”

Cepat-cepat Cecep menyeimbangkan langkahnya yang sempat sempoyongan. “Terus kenapa? Apa yang bikin kamu bengong begitu? Cerita, dong. Kan, kita temen.”

Ragu-ragu Abi melirik Cecep yang mengangkat alisnya. Memang, Cecep belum memiliki istri. Namun, untuk perkara perempuan, Cecep ini jauh lebih senior dibandingkan Abi. Laki-laki itu pernah mengaku memiliki mantan di hampir seluruh kelurahan yang ada di Tasik.

Sementara Abi, pacaran saja tidak pernah, tahu-tahunya Allah langsung kirim seorang istri.

“Kalau perempuan jadi gampang nangis itu artinya apa, ya?” Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari bibir Abi.

“Gampang nangis gimana? Cengeng, gitu? Dikit-dikit nangis?”

Abi mengangguk. “Gara-gara saya bilang ‘gak apa-apa’, Giska nangis. Terus, malam sebelumnya saya lihat dia nangis sendirian di balkon. Itu artinya apa, ya?”

“Jujur, ya, Bi.” Seakan tidak kapok, Cecep kembali menggandeng bahu Abi. “Kadang, pendiamnya kamu itu bikin kesel, lho. Gak jarang kalau ditanya kamu jawabnya pakai anggukan atau gelengan doang. Lebih manusiawi dari itu, jurus kamu cuma ‘iya’ sama ‘enggak’. Dan yang aku lihat, Giska itu orangnya periang. Pasti makan hati kalau ngomong sama kamu. Cewek itu, kalau udah kesel banget, cuma bisa nangis.”

Rasa bersalah langsung menyelimuti hati Abi. Ada benarnya juga yang dibicarakan Cecep. Dari masa sekolah di Jogja sampai kuliah di Tangerang, Abi tidak punya banyak teman. Sekarang, Abi sadar alasannya. Karena bicara dengannya sedikit membosankan dan menjengkelkan.

“Tapi, bisa juga karena mau dapet. Kan, cewek suka mendadak sensitif pas mau datang bulan. Bisa nangis gak jelas, terus ketawa, terus teriak. Suasana hatinya naik turun karena pengaruh hormon.”

“Oh—”

“Tapi, ada kemungkinan lain yang masuk akal juga,” potong Cecep. Dia melirik Abi sekilas dan tersenyum penuh arti. “Giska hamil.”

Untuk kedua kalinya, Abi menyingkirkan tangan Cecep dengan kasar. Dia terus melangkah, tidak peduli jika temannya itu tersingkir ke permukaan basement sekalipun. Bagaimana bisa alasannya yang terakhir? Hubungan mereka belum sampai ke tahap sejauh itu.

“Bi!” panggil Cecep, tetapi tidak direspons. “Heh, Abimana!” Dia tertawa sambil melihat punggung Abi yang kian menjauh. “Suaminya Giska!”

Langkah Abi terhenti seketika. Dengan wajah datar dia berbalik dan menatap Cecep.

“Yang ini serius.” Cecep mengangkat tangannya, pertanda ia bersungguh-sungguh. “Bisa aja istri kamu lagi ada masalah tapi gak bisa bilang. Entah karena merasa gak enak hati, merasa bisa menghadapi masalah itu sendiri, atau takut menyakiti perasaan kamu, itu semua bisa jadi alasannya. Dan sebaiknya kamu segera tanya. Sekuat-kuatnya perempuan, mereka tetap butuh sandaran saat terjebak masa sulit.”

Surga Bersamamu [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang