27. Melepaskan

58.1K 5.1K 18
                                    

Pantang menyerah, Abi tetap berusaha menelepon Rakha meski tak diangkat untuk kesekian kali. Dia selalu mengucapkan bismillah saat menempelkan ponsel ke daun telinga, mendengarkan nada sambung dengan penuh harap, lalu beristighfar saat pemberitahuan sibuk yang dia dapatkan. Dan untuk kesekian kali, Abi mengusap wajahnya kasar.

“Mas, katanya A Rakha gak pulang,” ucap Indra, memberi laporan setelah menelepon orang tua Rakha.

“Kata Mbak Nia juga gak ada ke rumahnya, Mas.” Ayu juga melakukan hal yang sama. Bedanya, dia bertugas menelepon Nia.

“Astagfirullah.” Lagi, Abi mengusap wajah kasar. Dia membanting tubuhnya ke sofa dengan perasaan berkecamuk.

Bukan hanya Abi yang dirundung kalut. Bu Nenden tidak berhenti menangis. Pak Harjo terus berdoa untuk keselamatan menantunya. Ayu juga banyak mengomel tidak jelas. Dan Indra terus menyalahkan diri sendiri karena tidak menemani kakaknya.

Demi apa pun, Abi takut istrinya terluka. Walaupun masih menyayangi, bisa saja Rakha menyakiti Giska. Saat Abi mengaku dia suami Giska saja, Rakha sampai melayangkan tinjuan. Tentu, dia tersulut emosi saat tahu sahabatnya sendiri yang menikah dengan mantan calon istrinya. Dan sekarang, Rakha sampai nekat menculik Giska. Entah apa yang akan dilakukan laki-laki itu.

Setelah berusaha menenangkan diri—meski hasilnya nihil—Abi kembali menghubungi Rakha. Dia menunggu dengan resah. Dan tepat di nada sambung kelima, telepon itu diterima.

“Lo di mana, Rakha?!” sembur Abi saat panggilannya tersambung. Dia sampai berdiri, saking emosinya. “Jangan coba-coba menyakiti istri gue, Kha. Seperti yang pernah gue bilang, gue gak akan tinggal diam untuk yang kedua kalinya.”

“Lo di mana?” sahut Rakha di seberang sana.

Tidak langsung menjawab, Abi malah mengernyitkan kening. Jelas sekali suara Rakha terdengar serak dan sengau, seperti orang yang baru saja menangis. Suaranya juga terdengar lemah, tidak ada amarah atau nada menantang. Abi jadi ragu dia menyakiti Giska.

“Lo di mana? Gue mau pulangin Giska.”

Sekarang, herannya Abi ditambah dengan rasa lega. “Di rumah Paledang.”

Tanpa salam dan basa-basi, Rakha mengakhiri panggilan itu secara sepihak. Abi membuang napas panjang. Dia memang belum bisa lega sebelum melihat keadaan istrinya secara langsung. Namun, setidaknya, Rakha sudah ada niat baik untuk memulangkan Giska.

“Rakha akan mengantarkan Giska pulang,” ucap Abi, memberi tahu seluruh keluarganya.

Sementara di dalam mobil, Giska hanya bisa mengucap syukur saat mendengar perkataan Rakha pada suaminya.

“Terima kasih,” katanya.

Rakha hanya melirik Giska sekilas, lalu menyalakan mesin mobil. “Ini bentuk tanggung jawab aku karena udah bawa kamu dari Abi secara diam-diam.”

“Tapi, nanti kamu langsung pulang aja. Antar aku sampai depan gang aja.”

“Gak bisa, Gis,” tolak Rakha. “Aku harus berhadapan sama suami kamu, sama keluarga kamu. Sekalipun Abi bakal pukul aku atau laporkan aku ke polisi, aku harus menghadapi itu. Aku cukup jadi pengecut atas perkara Nia aja.”

“Tapi—”

“Aku akan menikahi Nia,” potong Rakha dengan cepat. “Jika menurut kamu itu adalah hal yang harus aku lakukan, maka akan aku lakukan. Bukan hanya sampai anak itu lahir, tapi aku akan berusaha menjalani rumah tangga sebaik-baiknya. Dan semoga waktu bisa menumbuhkan cinta di antara aku sama dia. Seperti yang kamu katakan tadi.”

Giska tidak menjawab apa-apa lagi. Dia hanya tersenyum lebar sambil mengucapkan syukur. Akhirnya, Allah mengetuk hati Rakha.

Setelah perjalanan sekitar 30 menit, akhirnya mobil Rakha terparkir di depan rumah Giska. Dia turun, mempersilakan Giska untuk masuk halaman lebih dulu, lalu mengekori dengan penuh percaya diri. Walaupun tahu bukan hal baik yang akan dihadapi, tetapi Rakha tidak akan mundur. Dia tidak mau menjadi pengecut lagi.

Surga Bersamamu [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang