16. Malioboro

71.7K 7.2K 115
                                    

Giska mengedarkan pandangan, meneliti satu per satu interaksi pengunjung Malioboro. Ada sekelompok muda-mudi yang tertawa bersama, sepasang remaja yang bercanda ria, sampai orang tua yang mengawasi anak balita mereka memainkan balon sabun. Sudut bibir Giska terangkat saat melihat pemandangan itu. Berharap suatu saat dia dan Abi sudah memiliki keturunan saat berkunjung ke Malioboro lagi.

Lalu, perhatiannya teralihkan pada sang suami yang datang sembari membawa semangkuk es dawet. Refleks Giska menoleh ke belakang untuk memeriksa sesuatu. Dagangan es dawet masih banyak, tetapi Abi hanya membawa satu mangkuk.

"Lho, buat aku mana?"

"Ini." Abi menyerahkan mangkuk di tangannya. "Berdua sama saya."

Alis Giska terangkat. "Kenapa gak beli dua mangkuk aja? Itu masih banyak."

"Biar romantis. Kayak Rasulullah sama Aisyah."

Seketika Giska tidak bisa berkata-kata. Raut wajah bingungnya hilang saat itu juga. Berganti dengan senyum tipis disertai semburat kemerahan di kedua pipinya. Kadang begitu pemalu, kadang sangat terang-terangan. Dua sifat tolak belakang Abi itu selalu bisa meninggalkan kesan di hati Giska.

"Ya udah," cicit Giska sambil menyambar sendok dan mulai menikmati es dawet. Dia terus memandangi Abi. "Mas gak pernah pacaran?"

Abi menoleh dan menggeleng sebagai jawaban.

"Kalau deket sama perempuan? Waktu SMA atau pas kuliah, gitu? Kan, banyak perempuan yang coba deketin Mas. Barangkali ada yang sesuai kriteria Mas, terus kalian dekat."

"Gak pernah."

"Sama sekali? Masa, sih?" Giska memicingkan matanya, sedikit tidak percaya dengan ucapan suaminya.

Disimpannya sendok di tangan Abi. Dia memosisikan tubuhnya untuk lurus menghadap Giska. "Gak ada yang betah sama saya, Giska. Jangankan teman perempuan, teman laki-laki aja cuma beberapa. Dari SMP sampai SMA, saya selalu sendiri. Waktu kuliah, saya cuma dekat sama Rakha. Ada peningkatan jumlah teman waktu tinggal di Braga. Itu juga cuma tiga orang." Abi merapikan jilbab Giska yang sedikit tersingkap karena embusan angin. "Cuma kamu yang tahan sama saya."

Giska mengangguk paham. Entah mengapa, ada rasa senang di hatinya mengetahui tidak ada perempuan yang memiliki masa lalu istimewa bersama suaminya. Namun, tentu Giska tidak akan berhenti di sana.

"Kalau suka sama perempuan? Pernah?"

"Kayaknya, agak aneh jika saya bilang tidak. Saya laki-laki, jadi wajar jika saya tertarik pada perempuan, 'kan?"

Kesenangan itu lenyap seketika. Senyum di wajah Giska luntur. "Namanya siapa? Kapan Mas suka dia? Berapa lama?"

"Namanya Fatimah. Waktu kuliah. Cuma 2 bulan karena saya tahu dia sudah bersuami."

Ish! Malah dijawab lagi. Dasar, gak peka! Giska hanya bisa mengomel dalam hati. Dia terus menyendok es dawet untuk meredakan gejolak di dadanya.

Abi menoleh saat merasa ada yang janggal. Giska yang bertanya ini dan itu mendadak pendiam. Wajah cerahnya kini berubah muram. Seketika ia mengingat ucapan Cecep.

"Kalau perempuan cerewet tiba-tiba jadi pendiam, berarti ada yang salah. Entah ada yang terjadi pada mereka atau kita yang salah tapi tidak sadar, kita tetap harus bertanya. Mereka adalah makhluk dengan gengsi segunung, Bi. Mereka enggan jujur akan perasaan mereka. Dan sebagai laki-laki, sudah sepantasnya kita membuat mereka nyaman untuk bersikap terbuka."

Dengan penuh hati-hati, Abi meraih tangan Giska. "Tapi, cuma suka. Beda sama kamu. Kan, saya cinta kamu." Abi tersenyum hangat saat pandangan mereka bertemu. "Saya cinta kamu dari dulu, sekarang, dan sampai nanti."

Surga Bersamamu [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang