3. Seharusnya Bahagia

78.1K 8K 282
                                    

Giska menatap pantulan dirinya di cermin. Itu benar-benar bukan Giska yang biasanya. Mahkota siger, ronce untaian bunga, kebaya putih, serta riasan membuatnya terlihat sangat berbeda.

Hari ini, tujuh Maret 2021, dia akan mengakhiri masa lajangnya. Dia akan menjadi kekasih halal Rakha. Hidup bersama dengannya, mengisi benang merah satu sama lain, dan memindahkan surganya dari sang ibu kepada Rakha. Luapan berbagai emosi menyelimuti dadanya. Bahagia itu pasti, sedih juga ada, dan rasa syukur yang tidak akan ada tandingannya.

"Teh."

Perhatian Giska teralihkan seketika. Dia menatap adiknya dari cermin dan menjawab, "Ya? Kenapa, Dra?"

Indra-adik laki-laki Giska-menggeleng sembari mendudukkan diri di ujung ranjang. "Gak apa-apa. Pengen aja temenin Teteh di sini. Kan, habis ini Teteh tinggalnya di rumah A Rakha."

Senyum tipis hadir di wajah cantik Giska. Dia menatap adiknya lekat-lekat.

Walaupun mereka sering berdebat, tetapi Giska sangat menyayangi Indra. Terlepas dari sikapnya yang menyebalkan, manja, dan jahil, tetapi Indra adalah adik yang baik. Dia bisa menjaga Giska dengan baik selama ini. Menjemput Giska kerja, berjalan di samping Giska saat mereka di tempat umum, dan bersedia merawat Giska saat sakit. Indra adalah adik yang sangat baik.

"Ih, jangan lihat aku kayak gitu, Teh," rajuk Indra sembari memalingkan pandangan, berusaha menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. "Janji, ya, nanti sering-sering main ke sini. Terus, telepon juga kalau susah dapet ojek pas pulang kerja. Kalau A Rakha gak bisa anter ke pasar, kasih tahu aku."

Giska segera melangkah dan duduk di samping adiknya. Dia mengusap air mata di pipi Indra. "Iya, nanti teteh pasti sering main ke sini, telepon kamu pas gak dapet ojek sama mau ke pasar." Pandangannya menyapu wajah Indra. "Kamu juga harus jadi anak baik, ya. Rajin-rajin bantu ibu ngerjain pekerjaan rumah. Bantu pekerjaan ayah di toko. Ayah juga gak boleh banyak minum kopi sama makan makanan berlemak. Kalau mau tidur, pastikan pintunya udah dikunci. Kalau main, jangan pulang kemaleman."

"I-iya, Teh." Ragu-ragu Indra mengangkat kepalanya. Ia sudah pasrah jika Giska harus tahu bahwa dia menangis. "Boleh peluk Teteh?"

"Boleh, dong." Giska membentangkan kedua tangannya, menyambut Indra. "Sini, peluk."

Tanpa pikir panjang, Indra langsung menenggelamkan tubuhnya dalam dekapan sang kakak. Meskipun ukuran tubuhnya lebih tinggi dan besar dari Giska, kali ini dia hanya seorang adik yang sedikit keberatan untuk melepas kakaknya.

Mulai hari ini, Indra tidak akan memiliki teman berdebat lagi, musuh untuk berebut remot televisi, atau korban kejahilannya yang selalu mengadu. Giska sudah menemukan jodohnya, kebahagiaannya yang baru. Dan sudah menjadi kewajibannya untuk ikut ke mana saja Rakha pergi. Bangunan ini hanya akan menjadi rumah kedua baginya.

"Gis," panggil seorang wanita paruh baya, adik Pak Amin. Namanya Bu Zahra. "Ya ampun, kenapa pada nangis begini? Make-up kamu nanti luntur, Gis. Ini, ini, pakai tisu."

Giska menerima tisu itu. "Sedih aja, Tan. Terharu juga."

"Sebisa mungkin ditahan dulu, Gis. Masa iya mau ijab kabul make-up kamu udah luntur? Gak cantik lagi, dong." Bu Zahra beralih pada Indra. "Kamu juga, Dra. Ngapain bikin kakak kamu nangis? Cepet, air matanya dihapus dulu. Nanti malah dikira yang enggak-enggak sama tamu."

"Iya, Tan. Iya," jawab Indra sembari mengambil tisu. Dia membersihkan air matanya sembari menatap sang kakak. Dan saat pandangan mereka bertemu, tiba-tiba saja Indra tertawa. "Kenapa kita malah nangis, sih, Teh?"

"Kamu, tuh! Bikin teteh sedih! Jadi dimarahin, kan, sama Tante." Giska juga tidak bisa menahan tawanya. Namun, sebisa mungkin bibirnya tidak tertarik terlalu tinggi. Takut merusak riasan. "Udah, Tan. Keluar sekarang?"

Surga Bersamamu [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang