22. Bertemu Kembali

59K 5.8K 89
                                    

Malam ini, Giska dan Abi kembali buka puasa di luar. Tidak ramai-ramai, hanya mereka berdua. Kata Abi, mereka berkencan malam ini. Bukan hanya buka puasa, Abi juga ingin menonton bersama istrinya. Namun, sebelum masuk bioskop, Giska meminta berkeliling dulu untuk mencari baju lebaran.

“Kan, Idul Fitri masih lama. Kenapa belanja dari sekarang?” tanya Abi. Dia pasrah saat Giska memutar tubuhnya berulang kali dan menempelkan banyak baju koko di punggungnya.

“Biar nanti gak repot, Mas. Jadinya nanti aku tinggal belanja buat bapak sama Ayu. Kalau belanjang semuanya sekaligus pasti gak keburu. Bisa sampai tiga atau dua kali belanja.”

Lagi, Abi berbalik atas kehendak Giska. Dia sedikit menengadah saat baju koko biru kini ditempelkan di tubuh bagian depannya. “Kok, berulang kali begitu?”

Giska memasukkan baju koko itu ke dalam keranjang yang ada di tangan Abi. Lanjut melangkah untuk mencari celana. “Ya emang begitu kalau udah nikah, Mas. Kan, belanjanya bukan buat sendiri. Bisa aja hari ini aku cuma bisa beli baju buat Mas, terus besoknya baru buat bapak. Bisa karena lupa atau kecapekan, jadi belanjanya gak sekali.”

Sembari ikut melangkah, Abi mengangguk. “Mengenai bapak sama Ayu. Emang gak apa-apa kalau nanti nginep di rumah ibu?”

“Ya, gak apa-apa. Kalau di rumah kita cuma ada satu kamarnya. Nanti bapak tidur di mana?” Giska meraih satu celana panjang berbahan linen dan mengukurnya di kaki Abi. “Lagian, nanti juga kita nginep di sana, Mas. Ibu seneng banget karena lebarannya bakal rame-rame.”

“Kalau saya beli rumah yang lebih besar, gimana?”

Pergerakan Giska langsung terhenti. Dia menengadah, memusatkan seluruh perhatiannya pada Abi. “Ya, boleh.” Giska mengangguk. “Tapi nanti, kalau kita udah punya anak yang harus mulai dipisah tidurnya, baru boleh beli. Itu juga jangan yang gede-gede banget, Mas, yang sederhana aja. Pokoknya jangan sampai kita gak bisa lihat anak kita karena rumahnya kegedean.”

Abi hanya mengangguk. Dia kembali melangkah mengekori istrinya memasuki area pakaian perempuan. Baru beberapa meter, langkah mereka langsung terhenti saat tak sengaja bertemu dengan Nia.

“Giska,” gumam Nia tanpa sadar.

Walaupun sempat terdiam beberapa saat, akhirnya Giska melanjutkan langkahnya. Dia mengulurkan tangan saat sudah di hadapan Nia. “Assalamualaikum, Ni. Apa kabar?”

Setengah gelagapan Nia menjabat tangan Giska. “Waalaikumsalam. Aku baik, Gis. Kamu sendiri gimana?”

“Alhamdulillah, aku juga baik.” Lalu, Giska berbalik dan menarik tangan Abi. “Kamu belum kenalan sama Mas Abi secara resmi, 'kan? Kenalin, ini Mas Abimana, suami aku.”

Spontan Nia menatap Abi dan Giska dengan mata yang setengah mencuat. “Jadi, kalian beneran nikah? Aku kira cuma bohong. Kirain Rakha sengaja ngomong kagak gitu cuma buat bikin aku ngerasa bersalah. Ternyata, kalian emang nikah.”

“Iya, alhamdulillah kami sudah menikah.” Giska melirik suaminya yang mendadak pendiam. “Mas, ini Nia. Dia ... sahabat aku. Kita udah sahabatan dari zaman SMA, udah hampir tujuh tahun.”

Abi langsung menyatukan kedua telapak tangannya. “Salam kenal, Nia. Saya Abi, suami Giska.”

“Oh, iya.” Nia mengikuti gerakan Abi. Berkenalan tanpa berjabat tangan. “Aku Nia.”

Rasanya, tidak mungkin Nia memperkenalkan diri sebagai sahabat Giska setelah apa yang terjadi. Perempuan itu masih memperkenalkannya sebagai sahabat saja sudah berhasil membuat Nia merasa begitu bersalah.

Jangan salah sangka, Nia sangat merasa bersalah atas apa yang terjadi. Dia malu dan sangat menyesal. Terlalu malu sampai tidak bisa datang ke rumah Giska untuk meminta maaf. Bukan hanya menghancurkan pernikahan Giska dan Rakha, Nia juga sudah menghancurkan persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak lama.

“Kamu ke sini sendiri atau sama siapa?” Giska berusaha mencairkan suasana. Jika kebisuan bertahan terlalu lama, pasti akan semakin tidak nyaman.

“Aku sendiri. Ambu sama abah sibuk kerja, seperti biasa,” jawab Nia sembari tersenyum getir.

“Kalau A Rakha?”

Nia menggeleng lemah. “Aku sama dia belum nikah, Gis.”

Refleks Giska menahan napasnya. Dia maju selangkah dan menyentuh bahu sahabatnya itu. “Kenapa belum, Ni? Masih persiapan?”

Lagi, Nia menggeleng. Kali ini, matanya mulai berkaca-kaca. “Dia kabur, Gis. Gak tahu ke mana. Mulai dari telepon sampai datang ke rumahnya, aku udah usahakan supaya dapat pertanggungjawaban dari dia. Tapi, nihil. Rakha pinter banget main petak umpet.”

“Astagfirullah. Kenapa A Rakha bisa sepengecut itu, sih?” dengkus Giska. Mendadak ubun-ubunnya bergejolak setelah mengetahui kabar ini. “Kamu udah coba bicara sama orang tuanya?”

“Udah, Gis. Bukan cuma aku, ambu sama abah juga ikhtiar. Bahkan mereka berulang kali dateng ke tempat tegel, tapi gak disambut baik oleh pihak sana.  Orang tua Rakha jelas menolak aku sebagai menantu mereka. Gak ada simpati sama sekali dari mereka atas keadaan aku ini.” Sekarang, Nia sudah mulai terisak. Hatinya benar-benar pilu menceritakan semua ini.

“Ya Allah, kenapa masalahnya bisa serumit ini?” Giska langsung memijat pangkat hidungnya yang tiba-tiba berdenyut.

Sungguh, baik Giska maupun Abi, keduanya sama-sama berpikir Rakha telah menikahi Nia dan hidup bahagia. Namun, ternyata laki-laki itu malah lepas tanggung jawab begitu saja. Tanpa memikirkan kesulitan apa saja yang harus Nia alami, Rakha justru sibuk melarikan diri. Giska tidak menyangka ia bisa sepengecut ini.

“Mungkin ini karma buat aku, Gis.”

Perhatian Giska kembali tertuju pada Nia.

“Aku udah tusuk kamu dari belakang. Bahkan, aku tetap melanjutkan hubungan itu setelah kamu dilamar Rakha. Aku ngebiarin semuanya mengalir jauh tanpa peduli sama perasaan kamu. Ini balasan yang harus diterima atas perbuatan aku ke kamu.” Nia meraih tangan Giska. Dia menggenggam tangan itu sangat erat, penuh permohonan. “Aku minta maaf, Gis. Aku benar-benar minta maaf. Aku menyesali semua perbuatan aku ke kamu. Seandainya aku bisa putar waktu, aku gak akan berani-beraninya khianati kamu.”

Giska melangkah, semakin mendekatkan diri pada Nia. Lalu, dia memeluk tubuh ringkih itu dengan penuh kelembutan. “Udah, jangan menyesali apa pun, Ni. Semuanya udah terjadi, gak ada yang bisa diubah. Lagian, aku juga udah maafin kamu sama A Rakha, kok. Aku udah ikhlas atas apa yang terjadi.” Giska berbalik sesaat. “Mas, tolong ambilin kursi.”

Abi menurut. Dia langsung mengambil kursi plastik yang ada di dekatnya dan diletakkan tepat di belakang Nia. Lalu, dia kembali berdiri di samping Giska dengan bibir yang mengatup rapat.

“Ini bukan karma, Ni. Ini semua ujian dari Allah. Kamu juga gak perlu pikirin aku. Aku udah bahagia sama Mas Abi. Lebih baik kamu fokus sama anak kamu aja.” Giska masih setia menenangkan Nia sambil terus mengusap punggungnya. “Atau, begini aja. Nanti Mas Abi coba hubungi A Rakha. Siapa tahu dia mau temui kamu.”

“Gak akan bisa, Giska,” sahut Abi dengan cepat. Akhirnya, dia ikut bicara juga. “Bukan bermaksud menolak, tapi saya tahu Rakha gimana. Jika tidak ada niat di hatinya, dia tidak akan mendengarkan perkataan orang lain.”

“Kalau begitu, biar aku aja yang bicara sama orang tuanya, ya?”

“Enggak boleh.”

Kening Giska tampak berkerut. Dia menatap Abi lumayan lama.

“Pokoknya enggak. Saya gak kasih izin!” tegas Abi.

Giska hanya bisa mengeucutkan bibirnya sembari kembali menenangkan Nia. Keinginannya untuk membantu Nia itu sangat besar. Giska tidak tega melihat Nia jalan-jalan sendiri ke keramaian dengan keadaan hamil. Harus ada orang yang menjaganya, walaupun hanya satu. Namun, apa boleh buat, Abi tidak mengizinkan.

Sementara itu, Abi melirik sekilas ke arah Nia. Lalu, dia mengalihkan pandangan ke sekitar.

Bukan apa-apa, Abi hanya tidak mau Giska berurusan lagi dengan Rakha. Cemburu itu yang kedua. Yang utama, dia takut usaha Giska nanti justru disalahgunakan oleh Rakha. Bukannya luluh dan mau menikahi Nia, yang ada dia ganggu istrinya. Karena Abi tahu pasti, cinta Rakha pada Giska itu masih amat besar. Ini adalah usaha Abi untuk menjaga rumah tangganya bersama Giska.

*
*
*

18 Juli 2022
To be continued.

Surga Bersamamu [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang