PB - DUA

13.4K 1.1K 51
                                    

"Regan, nanti jangan nakal, ya. Jangan ke mana-mana, tetap di sini, oke? Nanti, Bunda bakal selalu nengokin Regan," ucap Anyelir seraya memandang putranya yang tengah duduk di kursi kecil tepat di pojok ruangan pantri berukuran lima kali enam meter itu.

Anak itu duduk tepat di sebelah meja yang digunakan untuk meletakkan dispenser dan juga rice cooker. Regan yang tengah asyik memainkan origami dari kertas bekas lantas tersenyum sambil menganggukkan kepala. Hati Anyelir teriris tatkala mengelus puncak kepala putranya. Anak itulah satu-satunya hal paling berharga yang dimilikinya saat ini. Jauh lebih berharga daripada dirinya sendiri. Regan adalah harta Anyelir satu-satunya.

Wanita itu berjongkok untuk mengecup kening, pipi, dan hidung Regan.

Sebelum Anyelir menegakkan tubuhnya kembali, Regan menarik wajah sang ibu dengan lembut dan mendaratkan bibir mungilnya di pipi ibunya itu.

"Bunda sayang Regan. Sayang banget," bisik Anyelir.

"Ayan Da anet," balas Regan.

Hati Anyelir seketika dilingkupi hangat dan haru bersamaan. Bagaimana bisa dia memiliki putra semanis ini? pikir Anyelir. Sebelum ia benar-benar menitikkan air mata, Anyelir menegakkan tubuh dan berlalu dari hadapan Regan untuk membuat secangkir kopi. Sewaktu hendak mengantar Regan ke pantri beberapa saat lalu, Anyelir bertemu dengan Nanda, yang mengingatkannya untuk mengantarkan kopi ke ruang direktur.

Anyelir menghela napas berat. Membuat dan mengantar kopi pagi untuk pimpinan memang tugas rutinnya, tetapi tugas yang satu ini selalu dikerjakannya dengan setengah hati. Mengantar kopi berarti menyediakan telinganya untuk serentetan makian yang tidak layak ditujukan pada manusia mana pun.

"Opi?" tanya Regan dengan suara lirihnya yang menggemaskan.

"Iya, sayang. Ini kopi," balas Anyelir.

"Da num opi?"

Anyelir menggeleng pelan sambil menunduk untuk menatap putranya.

"Bukan, Sayang. Bunda nggak minum kopi. Kopinya untuk bosnya Bunda."

Anyelir menatap Regan dengan cemas. Seandainya saja Regan tahu untuk siapa kopi itu akan ia suguhkan, akankah Regan senang atau justru sedih seperti dirinya?

Setelah melambaikan tangan dan mengecup puncak kepala Regan sekali lagi, Anyelir bergegas menuju ruang direktur. Langkahnya tergesa tetapi ragu. Dia sudah menyusun dialog yang sekiranya akan dilontarkan direktur kepadanya.

Anyelir mendapati Laras, sang sekretaris yang tampak asyik dengan tumpukan pekerjaan tanpa memedulikan orang di sekitarnya.

"Mbak Laras," panggil Anyelir.

Wanita yang seumuran dengan Anyelir itu langsung mendongakkan kepala dan menatap Anyelir. Seulas senyum menghiasi paras ayunya.

"Langsung masuk aja, tadi saya udah diwanti-wanti Pak Bos. Beliau pengin dapetin kopinya sesegera mungkin," kata Laras.

Anyelir mengangguk seraya berjalan lesu menuju pintu ruang direktur. Diketuknya pintu kokoh di depannya. Sebuah suara terdengar dari dalam. Dengan pelan didorongnya knop pintu itu, lalu menyembulkan kepalanya ke dalam ruangan.

"Pak, saya bawa kopi untuk Bapak," kata Anyelir, sesantun mungkin.

"Masuk!" sahutnya, dingin.

Anyelir menutup pintu dan berjalan mendekati meja. Hampir setiap pagi Anyelir memasuki ruang besar dengan nuansa hitam itu, tetapi kesan yang ditimbulkannya untuk Anyelir selalu sama. Mengintimidasi.

Sofa hitam di salah satu sisi ruangan seharusnya terlihat sangat nyaman, tetapi entah mengapa Anyelir merasa seolah benda itu akan menerkamnya.

Ruangan itu terasa sejuk, tetapi Anyelir merasa menggigil, seperti lukisan-lukisan klasik yang menggantung di dindingnya.

Perfectly Broken | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang