PB - EMPAT

11.1K 982 40
                                    

Malam hari, suhu tubuh Regan meningkat. Anyelir terus merasa was-was, takut jika demam putranya itu akan berlangsung lama. Dalam tidurnya, Regan terus saja merintih. Anyelir kebingungan karena tidak tahu bagaimana harus membawa Regan ke rumah sakit tanpa uang cukup di tangan. Sementara, jika membiarkan anaknya hanya dengan bantuan paracetamol yang ia beli di warung dan kompresan saja, masih membuat Anyelir merasa tak tenang. Sebab, itu sudah ia lakukan empat jam yang lalu dan panas putranya tak kunjung turun.

Dengan gemetar ia menaruh sapu tangan berwarna putih yang sudah ia basahi air dingin ke dahi Regan. Ia benar-benar ketakutan dengan kondisi anaknya itu. Air mata Anyelir tiba-tiba menetes saat bayang-bayang menyedihkan mulai menghampirinya. Hatinya seperti ditohok saat melihat tubuh kecil mungil putranya menggigil. Dengan badan bergetar, Anyelir memeluk Regan dengan erat, berusaha menyalurkan rasa hangat dari tubuhnya.

"Idin, Da," ucapnya dengan suara tersendat.

Anyelir mengusap sudut mata Regan yang berair, juga sudut matanya yang basah akibat tangis yang tak terbendung lagi.

"Bunda peluk Regan, kok. Bunda nggak bakal biarin Regan kedinginan," ucap Anyelir dengan suara serak.

Anyelir tidak tahu kenapa Regan tiba-tiba demam. Karena sepanjang sore tadi Regan terlihat baik-baik saja. Hal itu membuat Anyelir benar-benar merasa takut.

"Idin," katanya lagi.

Giginya bergemeletuk. Anyelir sudah berusaha maksimal untuk menghangatkan tubuh Regan dengan seluruh selimut yang ia miliki.

Di rumah itu, hanya terdapat dua selimut. Dan itu sebenarnya tidak pantas disebut selimut karena hanya berupa kain tipis. Dua selimut itu sudah membalut tubuh Regan, tapi tetap saja tidak berpengaruh. Regan tetap saja mengeluh kedinginan.

Air mata Anyelir terus menitik. Dia mulai dijalari rasa panik. Udara malam ini sangat gerah. Namun, putranya terus saja merintih kedinginan. Anyelir mengambil sapu tangan di atas kepala putranya, memeras, lalu menggantinya dengan air yang baru kemudian kembali menempelkan kompresan air dingin itu di kening Regan, tapi tampaknya semua itu sia-sia saja. Suhu tubuh putranya justru semakin tinggi. Meski tidak mengukurnya dengan termometer. Anyelir bisa merasakannya dari telapak tangannya.

Anyelir tidak punya cara lain. Ia harusnya membawa Regan ke dokter. Ia mengintip dompetnya. Ia bahkan tidak yakin sanggup membayar taksi.

"Regan," bisik Anyelir. Sambil mengepak pakaian ke dalam tas tenteng, Anyelir memikirkan Ergan dengan rumahnya yang mewah. Kalau saja Regan tidak pernah terusir dari rumah yang nyaman itu, Regan tidak perlu tinggal di tempat kumuh seperti ini. Kompleks yang kotor. Sumber penyakit Regan mungkin saja berasal dari sana. Dalam hati, Anyelir merutuki kemalangannya.

Andai saja, sewaktu terusir dulu ia sempat mengambil ijazah dengan gelar sarjana pendidikannya, Anyelir mungkin bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Anyelir bisa melamar menjadi guru di sebuah sekolah swasta. Menjadi guru honorer pun tak masalah. Meski gaji guru honorer juga tak begitu bisa diandalkan, setidaknya menjadi guru lebih dipandang baik dibanding menjadi karyawan bawahan seperti pekerjaannya yang sekarang, office girl.

Hal-hal seperti ini malah membuat Anyelir semakin mengingat Ergan. Meski hubungan Anyelir dan Ergan tidak sebaik sebelum fitnah yang menimpanya, dulu Ergan begitu perhatian terhadapnya. Kalau saja Ergan sudi mencintai Regan, tentu saat ini dia tidak akan kebingungan seorang diri.

Jujur saja, Anyelir masih mencintai Ergan. Meskipun lelaki itu telah menorehkan luka yang teramat dalam di hatinya. Anyelir tahu ia begitu bodoh. Namun, sangat sulit menghilangkan rasa cinta itu, sekeras apa pun ia mencoba. Bahkan mengingat-ingat semua perlakuan buruk Ergan tak membuat perasaannya berkurang sedikit pun. Seperti cinta Anyelir, memang tercipta untuk Ergan.

Perfectly Broken | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang