Waktu masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi ketika Anyelir menyibak tirai jendela. Seberkas cahaya merembes masuk ke ruangan itu. Anyelir menghampiri ranjang di mana putranya terlelap. Dengan gerakan pelan, dielusnya puncak kepala Regan yang masih terbuai mimpi. Surai hitam legam itu terasa lembut ketika menyentuh telapak tangannya, membuat Anyelir tidak mampu menahan senyum.
Tidur anak laki-lakinya begitu damai. Anyelir tidak tega membangunkannya. Ditatapnya paras rupawan sang buah hati. Hidungnya yang mancung. Bulu mata lentiknya yang apabila kelopaknya terbuka, akan memayungi mata bulatnya yang indah dengan binarnya yang cerah. Bibir tipisnya yang berisi dan berwarna merah muda cerah. Dia begitu tampan, persis seperti ayahnya, Anyelir membatin. Setiap kali memandangi Regan, tidak bisa tidak, Anyelir akan membandingannya dengan mantan suaminya.
Regan baru menginjak usia empat tahun, dua minggu yang lalu. Putranya tidak seperti anak kebanyakan. Regan terlalu pendiam dan justru lebih suka menyendiri. Terkadang Anyelir dibuat takut melihat anak laki-lakinya yang tampak enggan berinteraksi dengan orang lain atau teman sebayanya. Mungkin itu juga disebabkan Regan belum bisa berbicara sefasih anak-anak seusianya. Kalimat-kalimat yang dilontarkannya belum sempurna, tidak begitu jelas, sehingga sukar dipahami orang lain. Kata-katanya lebih terdengar seperti gumaman. Mungkin itulah yang menjadi penyebab Regan tidak percaya diri.
Sementara itu, Anyelir tidak bisa berbuat banyak. Ia sedih setiap kali melihat Regan yang selalu tampak kesulitan ketika hendak berbicara. Putranya itu selalu tampak kebingungan saat ingin menyampaikan sesuatu. Anyelir ingin memeriksakan kondisi Regan kepada dokter ahli, tetapi itu tentu membutuhkan uang banyak. Anyelir sudah cukup kesulitan memastikan mereka makan cukup dalam sebulan.
Pada akhirnya, Anyelir hanya bisa menduga-duga, alasan putranya memiliki kesulitan komunikasi. Mungkin saja, karena ia jarang mengajak Regan berbicara. Dibanding berkata-kata, Anyelir memang lebih suka menunjukkan kasih sayangnya dengan tindakan. Di samping itu, kesibukan Anyelir bekerja juga membuatnya tak punya waktu banyak untuk mengobrol dengan Regan. Mungkin hal itulah yang membuat kosakata Regan tidak berkembang, termasuk kemampuan komunikasinya.
Masalah perekonomiannya yang memprihatinkan kerap membuat Anyelir kelimpungan. Dia dan putranya tinggal di daerah kumuh padat penduduk, yang setiap rumahnya nyaris tak bersekat. Lingkungan sekitarnya kotor, dan bau menyengat mengelilingi rumah mereka.
Apabila terjadi hujan deras, Anyelir seringkali harus mengungsi akibat banjir. Lebih menyedihkannya lagi, dalam beberapa minggu ke depan, ia dan Regan terancam akan kehilangan tempat tinggal. Perjanjian sewa rumah yang ditempatinya akan berakhir dan Anyelir belum memiliki sepeser pun uang untuk membayar sewa lagi. Ia kebingungan, harus mencari uang ke mana. Dalam waktu kurang dari satu minggu dia harus mendapatkan uang tambahan sebayak tiga ratus ribu. Itu belum termasuk cicilan hutang yang dia miliki beserta bunganya
"Da ...." Terdengar suara Regan yang memanggil Anyelir.
Maksud ucapan anak itu adalah Bunda. Seperti inilah cara Regan berbicara. Terpotong-potong dan sukar dipahami, kecuali oleh Anyelir.
Anyelir mengulas senyum demi melihat Regan yang berusaha bangun dari posisi berbaringnya. Ditatapnya Regan dengan lembut seraya tersenyum. Regan pun balas tersenyum. Senyumnya yang malu-malu terlihat sangat menggemaskan.
"Ehm, sayangnya Bunda sudah bangun. Regan lapar?" tanya Anyelir lembut, seraya mengusap surai hitam Regan. Tatapan Anyelir tertuju pada jam yang menempel di dinding kusam rumahnya. Semalam ia dan Regan sama sekali tidak makan apa-apa. Itu dilakukannya untuk menghemat pengeluaran belanja. Dan sekarang Anyelir merasa sedikit was-was karena hal itu.
Ketika Anyelir kembali menatap putranya. Regan tampak menggeleng pelan. Kedua tangan Regan terangkat, lalu mengalungkannya ke leher Anyelir. Mulutnya meluncurkan tawa riang seolah hidupnya tanpa beban. Wajahnya menyuruk ke leher Anyelir, membuat wanita itu mengeratkan pelukannya. Diusapnya punggung Regan perlahan.
"Aem co?" ucap Regan. Kalimat itu terdengar seperti pertanyaan. Yang dimaksud Regan adalah makan bakso.
Lagi-lagi wajah Regan tampak malu. Anyelir tidak tahu, kenapa setiap selesai berbicara, putranya itu selalu menampilkan ekspresi malu-malu. Mungkin itu sudah tabiat Regan. Atau mungkin juga ekspresi rasa malu karena suatu hal, yang sama sekali tidak Anyelir ketahui.
"Regan mau makan bakso? Nanti ya, kalau Regan udah mandi dan wangi, Bunda buatin deh baksonya." Anyelir mengacak rambut Regan gemas, sementara Regan hanya membalas dengan anggukan.
"Ya udah, Bunda mandiin, yuk!"
Anyelir bangkit dari posisinya dan langsung menggendong Regan.
Mereka pun keluar kamar, berjalan menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Di rumah itu hanya ada satu kamar mandi. Kondisinya sememprihatinkan dompet Anyelir. Lantai keramiknya sudah pecah-pecah, dan bak mandinya penuh dengan tambalan-tambalan. Namun, meski begitu, Anyelir tetap mensyukurinya. Mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah. Itu prinsip Anyelir.
***
"Aco nak, Da," ucap Regan, yang membuat bibir Anyelir merekahkan senyum.
"Baksonya enak? Regan suka, kan?"
Regan hanya mengangguk. Senyum di wajahnya tidak luntur. Senyum itu membuat matanya menyipit dengan menggemaskan. Wajahnya berbinar hanya karena sepiring bakso. Melihat wajah Regan yang begitu mirip dengan Ergan, membuat Anyelir berdoa di dalam hati, agar kelak, ketika Regan dewasa, ia tidak menjadi lelaki yang seberengsek Ergan yang menyebalkan, dan gemar bertindak sesuka hati.
"Sayang, kalau Regan sudah besar nanti, Regan harus jadi anak laki-laki yang menghormati perempuan ya, Nak. Jangan pernah menyakiti hati perempuan mana pun." Regan mendengarkan nasihat Anyelir dengan penuh perhatian. Sekalipun Anyelir tidak yakin Regan bisa memahami perkataannya.
"Karena," lanjut Anyelir, "bundanya Regan juga perempuan."
Lagi-lagi Regan menganggukkan kepala dengan sungguh-sungguh. Dengan bersemangat, ia mengunyah gigitan baksonya dengan lahap. Seketika senyum miris tercetak di wajah Anyelir. Seandainya Regan tahu jika yang dimakannya bukanlah bakso yang sebenarnya. Apa anak itu akan sedih dan marah padanya? Beruntung, Regan masih kecil. Dia tidak akan tahu beda antara bakso yang sebenarnya dengan adonan tepung yang diracik dari bumbu seadanya dan dibulat-bulatkan seperti bakso.
Anyelir mengusap kepala Regan sambil tersenyum dan berusaha untuk tidak menitikkan air mata. Padahal ini cuma bakso, tapi Anyelir bahkan tidak bisa membelikan bakso yang sebenarnya untuk Regan. Putranya yang hanya semata wayang. Miliknya satu-satunya. Anyelir merasa sudah menjadi ibu yang paling menyedihkan di dunia.
"Regan udah selesai makannya?" tanya Anyelir.
Regan mengangguk. Sambil tersenyum, Anyelir mengelus rambut Regan dengan lembut. Diambilnya mangkuk kecil di hadapannya dan menaruhnya di dekat kompor. Anyelir tidak sempat mencucinya. Dia sudah hampir terlambat untuk berangkat kerja. Diusapnya sudut bibir Regan yang kotor dengan sapu tangan persegi berwarna biru laut. Dengan tergesa-gesa Anyelir merapikan seragam office girl-nya lalu mengangkat tubuh Regan ke dalam gendongannya.
Setiap hari Anyelir membawa Regan ke tempat kerja. Dia tidak bisa menitipkan Regan pada tetangga atau ke tempat penitipan anak. Tetangga yang dulu selalu menerima Regan untuk dijaga lama kelamaan mengelih karena tidak bisa memahami ucapan Regan. Sementara untuk menitipkan Regan ke day care, Anyelir tersandung masalah biaya. Dan malangnya, tempat kerjanya tidak menyediakan tempat penitipan anak. Anyelir akhirnya membawa Regan ke kantor dan menempatkannya di sudut pantri. Regan yang memahami Anyelir, selalu tenang dan tidak pernah bersikap rewel.
Tak pernah sedikit pun Anyelir tidak merasa kejam karena harus membiarkan putranya menunggu sendirian di pantri. Namun, Anyelir tidak bisa memikirkan cara lain.
-tbc
Hai, maaf baru update, padahal rencananya malam tadi, cuma tadi malam bener-bener lagi riweuh. Semoga suka ya sama ceritanya, tolong tinggalkan komen dan vote supaya saya lebih bersemangat, terima kasih banyak ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfectly Broken | Tamat
ChickLit[CERITA MASIH LENGKAP] Anyelir tahu mencintai Ergan adalah hal termenyakitakan yang pernah ia rasakan. Terlebih ketika Ergan melontarkan caci-maki padanya juga pada Regan, yang notabenenya putra kandung laki-laki itu sendiri untuk alasan yang tak pe...