PB - ENAM

11.2K 841 25
                                    

Anyelir menghela napasnya penuh syukur. Satria baru selesai memeriksa Regan, dan ia menyatakan bahwa Regan sudah bisa dibawa pulang sore ini. Regan yang mendengar bahwa dirinya boleh pulang, memekik senang, bergumam layaknya orang yang sedang berkumur, mengucapkan terima kasih pada Dokter Satria. Tanpa menunggu lama, setelah meminum obatnya dan mengucap terima kasih, Regan pun terlelap begitu saja.

Udara di luar begitu dingin. Hujan baru saja usai beberapa menit yang lalu. Langit masih tertutup awan pekat keabuan. Cuaca yang sangat menggoda orang untuk bergelung di balik selimut, pikir Anyelir. Wajar saja Regan langsung pulas.

"Terima kasih, Dok," ucap Anyelir.

Dokter Satria masih berdiri di hadapan Anyelir, membuat wanita itu bingung.

Apa Dokter Satria selalu seperti ini pada semua pasien-pasiennya?

Setelah Peristiwa "Musala", di mana Dokter Satria menawarkan diri menjadi imam salatnya, Anyelir merasa sikap lelaki itu sedikit berubah Dokter Satria menjadi semakin sering menjenguk Regan dan membawakan mereka aneka makanan bahkan mainan untuk Regan. Lelaki itu bahkan tidak merasa kesulitan berkomunikasi dengan dengan Regan.

Regan yang biasanya tidak percaya diri berbicara dengan orang asing, selalu terlihat santai jika sedang mengobrol dan bercanda dengan Dokter Satria. Meski, sesekali dokter itu akan menatapnya, memberi isyarat agar Anyelir menerjemahkan apa yang dikatakan Regan. Sehingga Anyelir merasa geli dibuatnya.

Anyelir lantas menepis pikiran itu. Mungkin, Dokter Satria hanya iba pada mereka. Biar bagaimanapun, Dokter Satria juga sudah tahu bahwa Anyelir adalah seorang single parent. Orang tua pasien dengan pelayanan jaminan kesehatan pula. Anyelir dan Regan layak dikasihani. Anggap saja, Anyelir memberi lelaki itu peluang untuk mendulang pahala dari kedermawanannya terhadap dirinya dan putranya.

"Ehm, Anyelir, boleh nggak kalau saya panggil kamu Anyelir tanpa embel-embel 'Bu'?" tanyanya tiba-tiba.

Suara berat lelaki itu terdengar khawatir. Akankah Anyelir menerima tawaran mendadak itu ataukah ia akan menolaknya?

Dahi Anyelir berkerut, bertanya-tanya, kenapa Dokter Satria bersikap semakin aneh saja? Akan tetapi, pada akhirnya Anyelir mengangguk, setelah sesaat tampak linglung. Dan seakan teringat bahwa menjawab pertanyaan Satria hanya dengan anggukan adalah hal yang tidak sopan, Anyelir buru-buru bersuara.

Ia berdeham. "Tentu saja boleh, Dok. Lagi pula, saya pikir, saya masih cukup muda untuk dipanggil 'bu'. Sebenarnya 'mbak' saja cukup. Dan lagi, saya rasa, usia dokter dan saya sama," jawabnya seraya tersenyum canggung. Apalagi posisi mereka yang lumayan dekat dan hanya dipisahkan oleh ranjang Regan.

"Ah iya, usia kamu memangnya berapa? Saya tiga puluh satu," ucap lelaki itu dengan sama canggungnya.

"Beda empat tahun dari Dokter," jawab Anyelir. Dokter Satria mengangguk dan tersenyum.

Jujur saja Anyelir tidak terlalu nyaman berbicara seperti itu dengan Dokter Satria. Ia jarang berinteraksi dengan lelaki lain kecuali Dimas, putranya, dan Ergan―tentu saja―itu membuatnya kesulitan untuk berbincang-bincang santai dengan Dokter Satria.

"Kamu juga bisa panggil saya tanpa embel-embel 'Dokter'," katanya.

Anyelir segera menggeleng, "Kayaknya itu agak nggak sopan, Dok."

Giliran Dokter Satria yang menggeleng, "Tidak. Maksud saya, supaya kita lebih akrab."

Lebih akrab?

"Maksud Dokter?" tanya Anyelir, menyuarakan kebingungannya.

Dokter Satria tampak salah tingkah, setelah pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Anyelir. Sesekali ia menggaruk tengkuknya dan menundukkan kepala, menghindari kontak mata dengan Anyelir. Namun, semua sia-sia saja. Lelaki bertubuh jangkung itu tak mampu menghindar dari tatapan Anyelir.

Perfectly Broken | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang