PB - LIMA

11.7K 899 31
                                    

Anyelir mendesah lega tatkala melihat kondisi Regan yang semakin membaik. Kemarin, setelah mendapatkan perawatan yang tepat, Regan akhirnya dipindahkan ke ruangan perawatan.

Anyelir mengalihkan perhatiannya pada pergelangan tangan sang putra. Ia sempat khawatir Regan akan menangis kesakitan saat jarum itu merobek pembuluh venanya. Akan tetapi Regan bahkan tidak menunjukkan raut kesakitan sama sekali.

Anyelir melirik jam yang menempel di dinding bercat cokelat di ruang perawatan putranya. Sudah pukul setengah satu siang. Azan sudah berkumandang sejak tiga puluh menit yang lalu. Wanita itu teringat, sejak kemarin dirinya hanya mandi sekali, itu pun saat ia pulang mengambil kartu BPJS-nya yang tertinggal di rumah. Bagaimana ia harus salat Zuhur dalam keadaan belum mandi? Namun, ia tetap bersiap menuju musala.

Seolah membaca gelagat Anyelir, Regan pun berkata, "Da, Eyan uda eyum ecensi te Allah." (Bunda, Regan juga belum presensi ke Allah)

Anyelir tersenyum mendengar kalimat Regan. Wajah putranya yang pucat tampak tersenyum malu, gaya khasnya setiap kali selesai berbicara.

"Regan nggak apa-apa nggak absen ke Allah," ucap Anyelir lembut. "Regan 'kan lagi sakit dan Regan kan juga masih kecil, jadi Allah bakal kasih izin Regan buat libur sebentar." Anyelir seraya mengusap surai hitamnya.

"Api lo Allah nayah ne Eyan na? Lo Allah dak acih ejeti te Eyan na?" (Tapi kalau Allah nanya ke Regan gimana? Kalau Allah nggak kasih rezeki ke Regan gimana?)

"Allah nggak bakal marah sama Regan. Kan Allah sendiri yang kasih izin. Nanti, kalau Regan udah baikan, Regan boleh salat lagi. Allah akan tetep kasih Regan rezeki. Sakit ini juga rezeki dari Allah. Regan dikasih rezeki berupa sakit supaya Regan banyak bersyukur," jelas wanita itu.

Regan pun tersipu dan mengangguk-angguk.

"Ya Da, api Da yum ecensi te Allah. Da tan, dak atit." (Ya, Bunda. Tapi Bunda belum presensi ke Allah. Bunda kan, nggak sakit)

"Iya, Bunda kan nggak sakit, ya. Harusnya Bunda udah harus presensi ke Allah, nih."

Anyelir menekankan telapak tangan ke kening Regan, memeriksa suhu tubuh putranya.

"Emangnya Regan nggak apa-apa kalau Bunda tinggal sendirian?"

"Dak," jawab anak itu singkat.

"Beneran?"

"Enel, Eyan tan ani." (Bener, Regan kan pemberani) Regan kembali tersenyum malu-malu.

"Eh iya, anak Bunda kan pemberani," Anyelir terkekeh seraya mengecup gemas pipi Regan penuh kelegaan.

"Ya udah, Bunda tinggal presensi ke Allah dulu, ya. Regan kalau perlu apa-apa, pencet tombol di belakang Regan itu, ya, Nak. Nanti ada suster yang bakal datang bantuin Regan. Oke?"

Anak itu mengangguk dengan senyum di bibirnya. Anyelir mengecup pipi Regan untuk ke sekian kalinya sebelum akhirnya bergegas menuju musala.

***

Setelah hampir sepuluh menit berjalan mengitari koridor rumah sakit, Anyelir tak kunjung menemukan letak musala. Padahal ia sudah bertanya kepada salah seorang perawat. Karena mulai kelelahan, ia memilih menepi dan menyandarkan tubuh ke tembok sebuah bangunan yang menurut dugaan Anyelir, adalah bagian dari ruang kantor tetapi berukuran lebih kecil. Menghela napas pelan, ia lantas memandang ke sekeliling.

"Musalanya ada di mana, sih? Kayaknya dari tadi aku udah muter-muter, tapi nggak ketemu juga," gumamnya kesal.

Anyelir memutuskan menunggu sampai ada seseorang yang lewat untuk menanyakan letak musala sekali lagi.

Perfectly Broken | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang