Serendipity 1

763 33 0
                                    

"Tapi, Maureen masih muda, Bi. Maureen gak ingin menikah dulu, Maureen belum siap," ucap Maureen peluh. Karena pada dasarnya, Maureen masih ingin menyelesaikan SMA, walaupun beberapa bulan lagi Maureen sudah lulus. 

"Ya terus kalau bukan kamu siapa? Maura? Kamu fikir yang punya hutang ayah Maura?! Karena keluarga kamu, saya harus kehilangan suami saya, saya menanggung beban keluarga!!! Bahkan, anak dari pembunuh suami saya, saya yang urus, itu kamu Maureen!!!" Bentak Lisa--Bibi Maureen. "Harusnya kamu tau diri!! Hidup kamu hanya menumpang disini!!!"

Tidak dapat terbantahkan. Itu memang benar. Maureen hanya numpang dirumah bibinya. Setiap hari Maureen harus menanggung beban disini, tangisan yang tiap malam tak pernah berhenti. Setiap Maureen tinggal bersama, sepupu dan bibinya, Maureen seperti menjadi babu bagi mereka. Bahkan Lisa, selalu membully Maureen disekolah.

Naas memang hidup Maureen. Ditinggal oleh sang ibu, dan kini ayahnya Maureen mendekam di sel tahanan penjara dengan hutang yang harus Maureen tanggung. Bekerja paruh waktu, di bully oleh teman sekolahnya, tak punya tempat tinggal, dan tidak ada yang menyayangi Maureen.

Maureen hanya bisa menertawakan nasib buruk yang dia alami. Ada keinginan Maureen untuk berhenti sekolah, dan meninggalkan rumah yang dia anggap seperti neraka tersebut, namun Maureen tau, dirinya hanyalah sampah yang tidak bisa diterima masyakarat.

Bramasta Maureen. Mendengar nama Bramasta, siapa yang tidak kenal, hampir seluruh warga di kampung sini kenal. Seorang lelaki yang menipu uang, bahkan hingga Milyaran, dan kini? Hanya Maureen yang tersisa.

"Bukankah dengan menikah aku akan pergi dari rumah ini? Aku akan hidup dan tinggal dengan nyaman bersama suamiku? Harusnya aku bahagia, bukannya malah menolak tawaran Bibi."

Dengan cepat, Lisa mengambil vas kecil, dan melemparnya tepat di atas kepala Maureen.

Brak!!!

Darah mengalir deras dari kepala Maureen, dengan banyak beling yang sudah berkeping-keping hancur di lantai. Maureen? Perempuan itu biasa saja, sungguh tidak ada rasa sakit yang dia rasakan, Maureen sudah terbiasa. Luka bakar akibat masakan yang terlalu asin saja, masih ada, dan Maureen tidak merasakan sakit.

Semuanya akan menjadi terbiasa, jika kamu sering terluka.

"Maureen akan menikah dengan pria itu, Bi."

***

SMA STEREO--19 REO.

Tulisan itu ada dalam sebuah bendera hijau army yang digantung di gerbang sekolah. Tentu saja itu perbuatan anak geng di sekolahnya. Maureen hanya bisa menghela napas sebentar, lalu kembali berlari memasuki koridor sekolah.

"Telat, Ren?" tanya Alvin sembari menyusul Maureen dengan berlari kecil. "Kebiasaan deh."

"Sorry, Vin. Buat lo nambah tugas lagi, lo mau hukum gue?" Maureen menghentikan langkahnya, sembari menatap Alvin. Bagaimana tidak, Alvin adalah Ketua OSIS, kerjaannya mencatat semua anak yang terlambat datang ke sekolah.

"Kepala lo kenapa?" tanya Alvin sembari mengusap kepala Maureen. Namun sebelum Maureen menjawab, Alvin sudah lebih tau, dia langsung memeluk Maureen spontan.

"Vin, lo ngapain meluk gue?!" cekat Mauren panik.

"Sekarang lo ikut gue," balas Alvin sembari menggenggam tangan Maureen. Dia membawa Maureen ke ruang OSIS, dimana jarang ada yang masuk kesana kecuali atas arahan Ketua OSIS.

"Vin, gue harus masuk kelas," ujar Maureen.

"Gue yang bakalan urus lo, biar gue yang langsung temui guru," balas Alvin. Tangan Alvin masih setia menggenggam erat tangan Maureen.

Alvin, menyodorkan kotak makan, dan air dingin yang sebelumnya sudah dibeli. Maureen hanya bisa mengernyit heran tidak mengerti pada sikap Alvin. "Gue tau lo belum makan, padahal lo kerja di restauran. Lo terlambat, karena jadwal shift malam lo sampai jam 7 pagi, sedangkan sekolah bel masuk jam 6.55 pagi," ucap Alvin.

"Gue salut sama lo, Ren. Mana ada cewek kayak lo sekarang ini?" tanya Alvin.

Maureen tersenyum simpul. Pada dasarnya Alvin adalah sahabat bagi Maureen. Beruntung Maureen bisa mengenal Alvin dihidupnya yang kurang beruntung. "Ibunya Maura yang ngelakuin ini lagi sama lo?" tanya Alvin sembari mengusap kepala Maureen.

"Lo buat masalah apa lagi? Masak keasinan? Apa ga bersih nyuci baju Maura?" tanya Alvin sembari terkekeh.

"Ihhh, apa sih lo, Vin!" ujar Maureen. "Gue udah baik-baik aja, gausah khawatir gitu."

"Gimana gue gak khawatir, cewek gue terluka, Ren." kata Alvin sembari menatap Maureen.

"Cewek lo yang terluka, Vin. Gue malah ketawain cewek lo yang terluka ini," balas candaan Maureen yang membuat gelagak tawanya semakin besar.

"Lo seneng banget gue bercanda ya, Ren? Padahal gue serius," Alvin tersenyum hambar. Bukan maksud Maureen dia ingin serius dalam hal ini, namun Mauren tidak bisa elak bahwa dia nyaman dengan Alvin.

"Lulus mau kemana, Ren?" tanya Alvin mengalihkan topik pembicaraan yang sempat hening. "Kalau lo siap, gue bisa nikah langsung sama lo."

"Idih!! Ngaco!! Belajar dulu yang bener bego! Main nikah-nikah aja!!" kesal Maureen sembari memukul pelan pundak Alvin disebelahnya.

"Bercanda, jangan baper."

"Gue udah nikah duluan mungkin, Vin. Bakalan ngejalanin hidup gue setelah ini," Maureen membatin sembari tersenyum simpul kepada Alvin.

Maureen berharap pernikahan dirinya dan sang calon suami adalah pernikahan yang baik, pernikahan yang sudah berada dalam angan-angan Maureen. Menjadi seorang ratu, ditangan seorang raja.

🏂

Sluyurrrr!!

SERENDIPITY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang