Serendipity 2

481 30 2
                                    

Beberapa hari berlalu. Kini adalah hari yang Maureen tunggu. Hari pernikahan dirinya, hari bertemu dengan ayahnya, dan hari dimana Maureen bisa keluar dari rumah bibinya. Bagus bukan? Ini adalah kabar yang menggembirakan, walaupun disatu sisi Maureen agak cemas. Bagaimana calon suaminya? Kenapa harus Maureen? Apakah calon Maureen itu tampan? Sedikit berpikir tentang itu, namun Maureen akan menerima calon suaminya.

Maureen kini berada di kamar, menghias sendiri wajahnya tanpa MUA. Pernikahan ini adalah pernikahan sah, dimata agama dan hukum. Di usia Maureen yang ke 19 tahun, sudah bisa menjadi syarat Maureen akan menikah.

"Cepet bego! Di depan ada bokap lo tuh!" ujar Maura sembari menoyor kepala Maureen. "Sok cantik! Nikah sama orang modelan kayak gitu, iwhsss jijik deh gue, untung bukan gue yang nikah sama tuh orang."

"Maksud kamu apa, Ra?" tanya Maureen.

"Btw, dengan nikahnya lo sama dia, gue sama keluarga gue punya duit 700 Juta. Gila ya lo, Ren. Pakai pelet apa lo? Sampai-sampai orang mau bayar buat nikah sama lo," Maura tertawa geli sembari menghisap permen lollipop yang selalu dia bawa kemana-mana.

"Maksud kamu, aku dijual?" tanya Maureen.

"Ya jelas lah. Lo itu barang rongsokan yang udah jelek, selagi ada yang mau bayar dengan harga tinggi, kenapa nyokap gue harus nolak?!" Maura menjambak rambut Maureen yang sudah dihias rapih. "Hidup lo akan selalu jadi beban buat orang lain, Ren!"

Ucapan Maura kini terbayang-bayang di kepala Maureen. Apa maksud semua perkataan itu, Maureen tidak mengerti. Siapa yang membayar? Dan siapa yang dibayar? Namun, dari semua pertanyaan itu, yang jelas dipikirkan Maureen adalah, dirinya hanya barang rongsok yang sudah usang dengan harga murah, itu Maureen.

Maureen menyeka air matanya. Dia menatap pantulan wajahnya yang terlihat membengkak akibat ulah bibinya. Maureen, dirimu bukanlah apa-apa bagi orang lain. Tidak akan ada yang peduli padamu.

"Alen," suara lelaki paruh baya. Suara itu Maureen sangat rindu, hampir 2 tahun Maureen tidak mendengar suara tersebut.

Maureen tersenyum melihat pantulan wajah sang ayah dari cermin. Dia berbalik badan, menghampiri, serta memeluknya. "Alen kangen ayah," ucapnya pilu. "Alen capek, Yah. Alen ga kuat, Alen sendirian Yah. Alen mau sama ibu, ibu pasti juga pengen ketemu Alen." Katanya sembari terisak.

"Ini hari pernikahan Alen, kok menangis?" Bramasta memeluk putrinya dengan kondisi yang nyaman, dia mengusap punggung itu, dan mencium kedua pipi Maureen. "Bagaimana calon menantu ayah? Apa dia tampan seperti anak ayah yang cantik? Apa dia gagah? Maureen, kenal sama dia dari mana?" tanya Bramasta bertubi-tubi.

Hah. Melihat sang calon suami saja Maureen belum pernah. Apalagi sampai mengetahui perawakan lelaki tersebut.

"Ganteng dan gagah, Alen kenal di tempatnya kerja, Yah," kata Maureen sembari tersenyum.

"Iya, ayah sempat dengar, kalian menikah dengan perbedaan usia yang cukup jauh. Namun, ayah mau Alen nanti tetap fokus sama belajar, lulus sekolah, Alen kuliah, sembari mengurus cucu ayah nanti."

Cucu. Mendengar kata itu Maureen juga ingin memiliki anak. Pasti keluarganya akan menjadi keluarga yang utuh dan baik. Maureen berharap banyak kali ini.

Maureen mengangguk mengiyakan. "Lihat make up nya jadi luntur," kata Bramasta.

***

Bramasta dan Maureen beranjak keluar kamar setelah selesai merias wajahnya. Maureen tersenyum lebar, sembari menggenggam erat tangan Bramasta.

Di ruang tamu, terdapat beberapa orang memakai blazer hitam, kemeja putih, dan celana hitam. Badannya besar dan tegak. Mereka berdiri, dengan gagahnya. Bramasta yang melihat itu hanya bisa menatap Maureen dengan tatapan heran. Sepertinya, Maureen juga terheran kali ini.

Kurang lebih ada 5 lelaki yang gagah tengah berdiri. Diantara lelaki tersebut, ada seorang pria tampan, dengan kemeja panjang dengan lengan yang sudah di gulung. Namun pria tersebut duduk di kursi roda.

Tepat saat Maureen menatap lelaki yang duduk di kursi roda itu, mata mereka beradu. Dimana dia menelisik lebih jauh. Mauren menatap lelaki itu dari atas sampai bawah. Diantara mereka semua, dimana calon suami Maureen?

"Yang mana calon suami kamu?" tanya Bramasta berbisik.

Maureen tidak menjawab kali ini, dia hanya tersenyum dan menghampiri bibinya serta Maura yang tengah memakan lollipop.

"Baik, wali, serta saksi sudah ada. Mari kita segera langsungkan akad nikahnya," kata sang penghulu.

Lelaki bergegah diantara mereka langsung mengambil posisi, namun bukan posisi untuk duduk disebelah Maureen, lelaki itu justru meraih kursi roda, dan mendorongnya. Sontak Maureen dan Bramasta terkejut. Namun disisi lain, Maura tertawa melihat wajah Maureen yang tampak kaget.

Lelaki itu membantu orang yang tengah duduk dikursi roda, dan memindahkan tubuhnya tepat disebelah Maureen.

Bramasta menggenggam tangan Maureen dan menatapnya heran. Maureen juga sama seperti Bramasta. Terkejut. "Tunggu, saya harus bicara dengan putri saya," tekan Bramasta sembari bangkit mengajak Maureen.

"Waktu yang dimilik tuan hanya sebentar, dia harus kembali ke kantor," ucap lelaki gagah yang berdiri dibelakang. "Setelah akad, kami harus membawa tuan dan nyonya untuk kembali ke mansion."

Dengan ucapan itu Bramasta dan Maureen semakin tidak mengerti dengan semua hal yang terjadi. "Kamu harus menjelaskan semuanya sama ayah nanti," tekan Bramasta.

🏂

SERENDIPITY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang