Funeral

507 66 1
                                    

-I'll take your bad days with your good walk through the storm, I would-

Wina
-------

Ini kali pertama seumur hidupku mengenal Krisan, dan melihatnya dalam kondisi semacam ini. Aku tidak tahu sehancur apa dia saat kehilangan kedua orang tuanya dulu, tapi kondisi Krisan saat ini membuatku ikut hancur.

Krisan saat ini adalah sosok yang sedang kehilangan dunianya. Air matanya belum juga surut meski jasad nenek sudah utuh dipeluk bumi. Krisan bahkan tidak berusaha menyembunyikan ratapannya dari para pelayat yang masih berdiam di sana untuk mengenang nenek sedikit lebih lama. Meski tidak ada raungan dalam tangis Krisan saat ini, tetap saja, melihat kedua pipi itu terus basah karena air mata membuatku ikut tersayat. Bisikan doa masih bisa aku dengar sebelum satu persatu dari para pelayat itu pergi. Mereka sempat menepuk pelan pundak Krisan sebagai salam pamit dan sekedar untuk membuat pemuda itu bisa lebih tegar menerima kepergian Nenek.

"Krisan?" Aku ikut bersimpuh disampingnya, kupeluk lembut tubuh itu dari samping dan aku turut menangis di sana. "langit mendung, kita harus pulang."

Krisan hanya menggeleng. Sedari tadi dia masih menggumamkan kata maaf yang tak kunjung usai. Pemuda itu nampak begitu menyesal akan kepergian Nenek yang terlalu mendadak tanpa pamit.

"Krisan--"

"Aku mau menemani Nenek sebentar lagi Wina. Tolong ngerti." Suaranya bergetar.

Tahu? apa yang aku rasakan saat mendengar cara bicara Krisan saat ini?

Hancur.

Tiba-tiba aku merasa asing pada orang yang sudah ku kenal lebih dari separuh hidup. Bahkan meski kami terpisah lama, Krisan tetap sama seperti ia saat berumur tujuh tahun dulu. Krisan yang hangat, dan penuh kasih sayang.

Cara bicaranya kini benar-benar dingin. Aku bahkan tidak tahu tubuhku menggigil karena hawa dingin menjelang hujan, atau karena kalimat Krisan.

Krisan benar-benar seperti seseorang yang kehilangan jati diri, pijakan yang membuatnya kuat selama ini, dan rumah yang selalu ia tuju untuk pulang. Nenek adalah satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa. Beliau yang membersamai Krisan tumbuh selama ini. Meski sekeras apapun aku mencoba, aku tidak akan pernah bisa mengerti perasaan seperti apa yang sedang dirasakan Krisan. Jelas itu lebih dari sekedar duka mendalam bagi Krisan.

Aku tidak lagi bisa membantah meski langit sudah teramat gelap dan beberapa tetesannya sudah mulai jatuh membasahi kami. Langit nampaknya tak ingin membiarkan Krisan menangis sendirian, mereka menemani Krisan dalam ratap yang dalam di hari suram ini.

***

Hampir tengah malam, dan Krisan belum juga kembali. Hujan bahkan belum reda dari sore, malah bertambah deras seiring semakin gelapnya malam.

Aku sudah berniat menyusul Krisan sembari membawa sebuah payung saat sosok yang kutunggu sedari sore muncul dari balik pintu dengan kondisi yang ingin membuatku menangis lagi. Bajunya basah kuyup, ia tampak menggigil dengan bibir yang berubah sepenuhnya biru. Kedua bola matanya bengkak dan begitu sayu seolah sorotnya sudah sepenuhnya ikut terkubur bersama Nenek dalam liang lahat.

"Krisan kenapa begini, sih?" Aku tidak bisa membendung air mataku saat menyelimuti tubuh itu dengan handuk. Tubuhnya lebih dulu luruh sebelum aku membantunya untuk masuk.

Krisan menangis lagi, tubuhnya bergetar, dan aku turut meraung sembari memeluk tubuhnya yang menggigil, berharap dengan begitu ia bisa sedikit merasakan hangat.

Sungguh, aku ikut hancur saat melihat Krisan seperti ini.

***

Krisan turun dari kamarnya. Dia baru selesai mandi dan mengeringkan rambutnya sebelum menyusulku di meja makan. Aku memang tidak bisa memasak, jadi sore tadi aku sudah memesan sup ayam dan bubur, sehingga saat ini aku bisa memanaskannya untuk Krisan.

"Kenapa pakai sweater doang sih?!" Aku buru-buru mengambil selimut dari sofa dan menutup tubuh bagian atas Krisan dengannya. Bibirnya bahkan masih biru.

"Ayok makan supnya mumpung hangat. Gue bikinin teh Chamomile dulu ya, tadi gue sengaja beli, katanya bagus buat penderita insomnia."

Krisan menahan pergelangan tanganku, dan ya tuhan, kulitnya begitu dingin saat menyentuhku.

"Ini aja cukup." Lirih sekali suara itu terdengar.

Krisan duduk dengan tenang sembari menyeruput kuah sup ayam yang aku siapkan untuknya. Meski Krisan melarang, aku tetap membuatkannya teh Chamomile, setidaknya untuk membuatnya merasa lebih hangat dan lebih tenang.

"Kamu gak pulang?"

Aku berdeham canggung, masih belum terbiasa dengan gaya bicara Krisan yang satu ini.

"Oh, itu tadi ... aku udah kabarin ibu kos kalau aku gak bisa pulang sementara waktu. Tadi aku juga udah telepon bonyok dan ... maaf ya Krisan, mereka belum bisa ke sini hari ini."

Aku tadi menelepon, memberi kabar duka tentang Krisan pada mereka. Dan mengingat keduanya saat ini menetap di Bali, mereka baru bisa kemari setelah selesai dengan urusan pekerjaan. Dan aku harap, Krisan bisa maklum.

Krisan hanya mengangguk singkat untuk menanggapi. Dia menatap gamang pada sup yang entah sejak kapan berhenti ia santap, sedari tadi Krisan hanya sibuk melamun sembari mengaduk-aduk supnya. Bahkan saat bertanya padaku barusan, tatapannya masih setia pada sup dihadapannya tanpa mau menoleh barang sedetik padaku.

"Dimakan, jangan diaduk doang. Nanti keburu dingin."

Aku meletakkan teh Chamomile yang baru saja aku seduh ke hadapan Krisan.

"Habis ini kamu bisa pulang."

Aku sedikit terkesiap. Sungguh, sikap dan cara bicara Krisan begitu dingin padaku. Padahal kalau tidak salah ingat, baru tadi siang dia menghapus jejak-jejak air mataku dengan lembut disertai tatapan hangat yang membuatku nyaris membeberkan isi hatiku padanya.

"Kamu gak ngerti ini udah malem? Aku nginep di sini, temenin kamu."

Aku ikut bicara dengan nada dingin padanya.

Krisan mengernyit. "Kamu memang sebodoh ini untuk mengerti aku ya, Win?"

Bodoh? Kenapa Krisan menjadi begitu sensitif untuk hal seperti ini? Aku tidak cari-cari alasan untuk tetap tinggal. Saat ini sudah hampir dini hari, dan Krisan serius memintaku pulang saat ini juga?

"Aku mau sendiri dulu." Ada jeda. "Dan aku gak mau ketemu kamu untuk sementara waktu."

Padahal aku berusaha membuatnya merasa tidak kesepian meski Nenek baru saja meninggal. Aku sengaja menunggunya pulang dan menghangatkan sup untuknya agar ia tidak merasa sepi saat kembali dengan duka dari pusara Nenek. Aku bahkan meminta kedua orang tuaku untuk segera kemari setelah pekerjaannya usai. Tapi apa katanya? Dia memilih menyendiri saat aku merelakan waktu untuk menemaninya. Dia bahkan dengan terus terang mengatakan tidak mau menemuiku untuk sementara waktu.

"Kalau gitu bilang aja kamu mau sendiri. Kenapa harus nyakitin aku dulu sama omongan kamu barusan? Apa yang gak bisa aku ngerti Krisan? Perasaan kamu atau perasaan aku?"

Aku hampir menangis melihat cara Krisan memandangku saat ini. Entahlah, Krisan nampak bukannya marah atau semacamnya. Tapi ia nampak ... lelah?

"Kamu bisa tunggu di sini sampai pagi kalau gitu."

Dia pergi. Tanpa menyentuh teh Chamomile yang aku buatkan untuknya, barang sedikit pun.

***

LANDING✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang