-I want to hold out the palm of your hand-
Wina
-------Aku benar-benar pulang saat jam menunjuk pukul 6 dini hari. Masih terlalu pagi sebenarnya, tapi itu tetap lebih baik dari pada harus pulang saat hari masih terlalu gelap.
Aku masih kesal pada Krisan, dan nampaknya dia juga masih enggan melihatku, jadi aku pergi tanpa pamit. Tanpa menunggu dia bangun--atau mungkin dia bahkan tidak tidur semalaman--yang jelas dia sama sekali tidak turun dari lantai atas. Aku juga tidak membereskan sisa makan malam kemarin, aku membiarkannya tertinggal seperti terakhir kali Krisan meninggalkannya.
Hari-hari setelahnya, Krisan bahkan tidak berusaha menghubungiku atau menemuiku. Apa dia sungguh tidak sedikit pun merasa bersalah padaku? Apa dia benar-benar ingin sendiri seperti itu sampai bersikap begitu dingin padaku.
tepat di hari kedelapan setelah kepergian Nenek--dan ucapannya yang menyakitkan tempo lalu--Krisan akhirnya muncul. Di sore cerah saat langit dihiasi dengan semburat oranye dan daun-daun kering nampak gugur memenuhi sepanjang gang menuju kost ku.
Krisan tersenyum, senyum yang begitu cerah dari senyum terakhir yang pernah aku ingat. Setelah menyakiti perasaanku dengan begitu dingin lalu menghilang tanpa kabar tujuh hari lamanya, bisa-bisanya dia tersenyum seperti itu padaku sekarang?
"Mau kemana nih sore-sore begini udah cakep aja?"
Aku berdecih, terlalu malas untuk menjawab pertanyaan sampahnya itu.
Kemana pun, yang jelas gak ada niat ketemu sama lo.
Gerutuku dalam hati.
Meski jujur saja, aku merindukan Krisan, sangat. Kalau aku tidak ingat dia melukaiku cukup dingin minggu lalu, mungkin aku sudah menenggelamkan diri dalam peluknya pada detik dia muncul di hadapanku barusan.
"Marah nih?"
Aku mempercepat langkah untuk segera enyah dari jangkauan Krisan. Aku tidak mau tiba-tiba luluh hanya karena Krisan mengumbar senyum murahan itu ya!
Namun nampaknya Krisan tidak berniat menyerah semudah itu juga. Tanpa aba-aba cowok jangkung itu dengan mudah mengangkat tubuhku layaknya karung beras untuk kemudian ia dudukkan ke dalam mobilnya, tepat di samping kemudi.
Aku beberapa kali meronta, tapi apa arti tenaga kecilku untuk ukuran Krisan? Jadi aku hanya bisa menggerutu dengan muka sebal di samping Krisan yang malah terkekeh melihat tingkahku.
"Gemes banget, sih."
Ku tepis kasar tangan Krisan yang berusaha membelai pipiku, membuatnya terkesiap dan gagal mengendalikan ekspresi terkejutnya.
Serius aku ingin menertawakan ekspresi jeleknya itu, tapi aku harus tetap straight to the line agar membuatnya sadar bahwa tidak semudah itu untuk meluluhkanku.
Kami hanya diam sepanjang jalan, lebih tepatnya aku yang mati-matian mengabaikan semua ocehan Krisan, sampai akhirnya mobil Krisan berhenti di kawasan yang paling aku rindukan saat ini.
Danau yang biasa kami kunjungi saat liburan musim panas untuk piknik. Danau yang menyimpan banyak memori singkat masa kecil kami dulu.
Aku sibuk terpana hingga lupa lagi dengan peranku untuk membalas sikap dingin Krisan tempo hari.
"Udah kali, pura-pura marahnya."
Krisan sibuk mengeluarkan barang bawaan dari bagasi, dan aku jelas tidak berniat membantu meski Krisan tampak memberi kode untuk membantunya membawa beberapa barang.
"Bantuin."
Aku lagi-lagi mengacuhkan Krisan, membuatnya menggerutu kesal di belakangku. Aku lebih berminat menatap hamparan danau indah--yang bisa-bisanya tidak banyak berubah sejak terakhir kali aku ke sini entah berapa belas tahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANDING✔️
Fiksi PenggemarSHORT STORY 18+ Krisan tidak pernah tahu sejak kapan ia mulai melihat Wina sebagai seorang wanita. Padahal dulunya, Wina tidak lebih dari sekedar teman masa kecil yang menjelma layaknya keluarga. I decided to land on you -Krisan Nagara Start; April...