BROTHERHOOD

39 6 0
                                    

Special thanks to some comments who made my day❤

Gray POV

Aku melepas kaosku dan menggunakan itu sebagai perban sementara untuk luka yang kubawa. Rasa sakitnya tak tertahankan, tapi aku bertekad menekan luka agar pendarahannya berhenti. Tidak lama kemudian, penglihatanku mulai kabur dan aku kehilangan kesadaran. Segala yang terjadi setelah itu, aku tak ingat sama sekali.

Aku membuka mataku perlahan-lahan dan menyadari bahwa aku berada di sebuah ruangan yang tidak dikenal bagiku. Kulihat lukaku sudah diobati dengan baik, dan tanganku terpasang infus yang memberiku tambahan darah.

Suasana ruangan terasa tenang, dengan cahaya remang-remang yang menyelimuti tempat itu. Aku merasakan kelemahan di tubuhku, tetapi juga rasa lega karena tahu bahwa aku dalam perawatan medis yang tepat.

Tak lama kemudian, datanglah seorang wanita berambut biru mendekatiku. "Sudah sadar, Gray? Beristirahatlah lebih lama," ujarnya dengan lembut, menunjukkan kekhawatirannya padaku.

Aku mengangguk lemah sebagai jawaban, masih merasa sedikit pusing dan lemah. Wanita itu tampak tenang dan penuh perhatian, memberi kesan bahwa aku berada di tangan yang tepat untuk mendapatkan perawatan yang aku butuhkan.

Kutatap wanita itu dan membaringkan kembali kepalaku di bantal. "Sudah berapa lama aku tertidur?" tanyaku sambil memijat kepalaku yang masih terasa ringan.

"3 hari," jawabnya sambil duduk di kursi dan meneguk teh yang sudah disajikan.

"3 hari? Baiklah, aku tidak berencana untuk lama-lama berada di tempat tidur ini," kataku sambil berusaha untuk bangkit dari tempat tidur. Namun Juvia menahanku dengan lembut.

"Sudahkah kamu tahu? Pertunangan adikmu dipercepat," kata Juvia dengan serius, menarik perhatian Gray dari keinginannya untuk bangkit dari tempat tidur.

Gray menatap Juvia dengan tatapan terkejut. Dia merasa campur aduk dengan berita tersebut, tidak bisa membayangkan bagaimana hal itu bisa terjadi begitu cepat.

"Apa? Bagaimana bisa?" tanyanya dengan nada khawatir.

Juvia menjelaskan dengan lembut, "Tuan besar memutuskan bahwa ada perlu untuk mengatur pertunangan lebih cepat, mungkin karena alasan politik atau keamanan keluarga."

Mendengar hal tersebut, aku menatap wanita itu dengan tidak percaya. "Apa kamu serius? Pertunangan adikku hanya 2 minggu lagi? Dan aku sudah tidak sadarkan diri selama 3 hari penuh?" kataku, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja kudengar dari wanita itu.

aku hanya bisa menangis. kakak macam apa aku? aku berusaha membunuh adikku sendiri.

"Gray... mereka pasti memiliki alasan mengapa ini harus terjadi, kau hanya perlu percaya," kata wanita itu sambil memelukku, mencoba menenangkan diriku yang masih terkejut dengan berita tersebut.

"Entahlah, Juvia. Semua ini membuatku sakit. Di satu sisi, ada kedua adikku yang membutuhkan bantuan. Di sisi lain, aku harus berpisah dengan mereka," kataku dengan suara tercekat, air mata membasahi pipiku. Juvia selalu setia mendukungku sejak aku menjadi bagian dari keluarga Heartfilia.

"Juvia, aku butuh istirahat. Kamu bisa keluar sekarang," perintahku padanya. Juvia mengangguk dengan penuh pengertian dan meninggalkan ruangan itu, memberiku waktu untuk merenungkan segala yang terjadi.

Juvia POV

Aku menutup pintu ruangan tempat Gray dirawat, kemudian menempelkan tangan dan keningku di pintu tersebut.

"Kau sangat sayang pada adikmu itu, hingga kau tidak menyadari seberapa besar cintanya diriku padamu, Gray. Selama kau tersenyum, maka aku akan senang," bisikku dengan hati yang terbebani oleh perasaan yang rumit.

"Maaf telah mengganggu, Nona," ucap seorang informan sambil menyerahkan selembar kertas kepada Juvia. Cahaya bulan memantulkan warna biru di rambut hitamnya yang basah terkena hujan deras tadi. "Ini jauh lebih berbahaya dari sebelumnya. Dengarkan aku, simpan rahasia ini dari Gray untuk sementara waktu. Aku tidak ingin dia bertindak gegabah seperti kemarin," perintah Juvia sambil mengembalikan kertas itu kepada informan tersebut.

Juvia menatap dalam-dalam ke dalam mata informan itu, mencoba memahami implikasi dari apa yang baru saja dia terima.

'Kuharap Lucy bisa menangani semua ini saat dia tahu rencana ayahnya,' batinnya, memikirkan Lucy yang selalu kuat namun rapuh di saat yang sama. Gadis itu memiliki beban yang sama beratnya dengan mereka semua, dan Juvia berjanji untuk melindunginya dengan segala cara yang dia bisa.

Kediaman Heartfilia
No One POV

Tentu! Berikut ini versi yang lebih terstruktur dari cerita yang kamu buat:

Loke terdengar marah karena tidak ada yang berhasil menangkap orang misterius itu. "AKU TIDAK PEDULI APA, BERAPA, ATAU BAGAIMANA. AKU INGIN ORANG ITU DITANGKAP. PEKERJAAN MUDAH SAJA KALIAN TIDAK BISA. PERGI!" Para penjaga itu segera meninggalkan ruangan, takut dengan kemarahan Loke.

Aquarius memasuki ruangan, berusaha menghadapi Loke. "Tuan muda," sapa Aquarius, tetapi tidak ada jawaban dari Loke. "Anda tahu, tuan, bahwa membalas salam bisa mendapatkan berkah dari Tuhan?" kata Aquarius dengan nada santai, mencoba menenangkan situasi.

"Ahhhhh................... Aku paham," ucap Loke, memotong Aquarius sebelum dia bisa melanjutkan. "Tuan muda Heartfilia.................... sedang menjadi tuan besar Heartfi-"

"JANGAN PERNAH BAWA-BAWA BAJ***N ITU, DIA BUKAN AYAHKU DAN TIDAK AKAN PERNAH!" Teriak Loke dengan penuh kemarahan saat Aquarius membandingkannya dengan Jude Heartfilia, ayahnya. Mendengar kata-kata itu, Aquarius tersenyum puas sambil menjawab, "Buktikan bahwa Anda berbeda dari Tuan Besar, dan saya akan berhenti membandingkan Anda dengannya."

Pernyataan itu berhasil meredakan emosi Loke, dan ia akhirnya tersenyum.

kembali pada tempat Gray
Gray POV

Aku mencabut selang infus yang menempel di tanganku dan mengenakan kembali kaus dan jubahku. Ketika aku hendak keluar dari ruangan tersebut, Juvia menghadangku. "Jangan menghentikanku, Juvia. Kau tahu seberapa pentingnya Lucy bagiku" ucapku tegas, memandang Juvia dengan serius.

"Aku tidak berusaha menghentikanmu, Gray, tetapi jika kamu bersikeras pergi, maka aku ikut denganmu," kata Juvia sambil menahan tanganku dengan lembut namun tegar. "Apa kau akan tetap pergi, meskipun kau sudah dinyatakan sebagai pengkhianat dan dicari-cari oleh banyak orang?" Ucapan itu membuatku terkejut, sehingga aku tidak mampu menggerakkan kakiku.

Aku berbalik dengan cepat dan memegang pundak Juvia dengan kasar. "Apa yang baru saja kau katakan, Juvia?" Aku dapat melihat ekspresi Juvia yang sedang menahan rasa sakit karena aku mencengkeram tangannya dengan sangat erat.

"A... Aya... ayahmu menyatakan bahwa kamu telah kabur dari perusahaan... dan membawa lari seluruh keuangan kantor, dan sering memukuli adikmu," jawab Juvia sambil menahan tangisnya, terlihat ketakutan. Aku melepaskan cengkeramanku dari Juvia, terkejut dengan apa yang baru saja kudengar.

Hatiku terasa berat mendengar tuduhan yang begitu menyakitkan terhadap seseorang yang selama ini kuanggap sebagai seorang ayah. Pikiranku berkecamuk, mencoba memproses informasi yang baru saja kudengar. Bagaimana bisa ayah melakukan hal seperti itu? Apakah ini semua benar atau ada kesalahpahaman yang besar?

"Juvia, apa ini benar?" tanyaku dengan suara parau, mencoba menangkap tatapan mata Juvia yang terlihat penuh ketakutan dan kehancuran.

Juvia mengangguk dengan penuh ketakutan, tatapannya terpaku ke lantai seakan takut menghadapi realitas dari tuduhan yang baru saja dia sampaikan. Hatiku terasa berat melihatnya seperti ini, karena aku tahu betapa sulitnya bagi Juvia untuk mengungkapkan hal ini.

"Jude sialan. Dia mengeluarkanku dengan cara kotor. Aku harus bertemu Lucy secepatnya," gumamku dalam hati, merasa terguncang dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh ayah Lucy itu. Langkahku terburu-buru menuju pintu, dipenuhi rasa gelisah akan nasib Lucy dan keputusan yang harus kubuat dalam situasi ini.

Dont wanna live without youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang