Setelah malam pertemuan, hujan turun bak guyuran keras. Pagi itu aku diam memandang rintik hujan dari gili-gili muka kaputren. Memandang langit penuh dengan kilatan dan gemuruh membuatku bergidik ngeri. Aku lari kedalam ruangan memeluk ibunda yang ternyata tengah berkumpul dengan ketiga yundaku. Ketiga yundaku hanya tertawa melihat ketakutan di wajahku.
"Gayatri, kau begitu menggemaskan!" Rayu Yunda Tri begitu tak sabaran hingga menyubit pipiku yang kebetulan sedikit berisi. Aku mengeluh dengan erangan sakit. Bukannya meminta maaf, justru Yunda Tri, ibunda, Yunda Nare dan Pradnya semakin tertawa.
Dia kakak tertuaku, yunda Tribuaneswari, kakak yang paling ku sukai. Dia paling penyabar juga suka melucu. Berbanding terbalik dengan watakku yang serius, dan terkadang keras kepala. Rupanya begitu ayu. Kata ibunda Yunda Tri mewarisi kecantikan buyut kami, Ken Dedes yang paripurna. Bisa dikatakan nenek buyut kami adalah primadona para pujangga. Mereka menggubah kecantikannya dalam sastra berupa kidung, tembang, puisi, bahkan kuplet. Mereka semua memuji kecantikan dan keluhuran budinya.
"Gayatri, kau kemana saja dari tadi? Kami menunggumu disini. Tadi ibunda meminta Sasti mencarimu. Lalu saat gemuruh menggelar baru muncul. Jangan buat kami khawatir dengan kebiasaan menghilangmu!"
Itu dia nasihat kakak keduaku, Yunda Nare. Dia yang perhatiannya nomer satu dari pada kakak-kakakku yang lain. Senang menghawatirkan orang lain timbang dirinya sendiri. Tak terhitung berapa banyak nasihat yang terdengar bila satu hari berada bersamanya. Nampaknya sifat ini diturunkan oleh ibunda. Namun akhir-akhir ini sikap cerewetnya itu meningkat sejak Ayahanda Prabu menugasi Pendeta Agung Terenavindu, seorang karib dari resi Buddhis terpelajar untuk menjadi guru paruh waktuku.
Banyak hal yang Yunda Nare ajarkan padaku seperti kesopanan, tindak-tanduk keluarga raja, hingga filsafat yang sudah dia pelajari sendiri. Namun tetap saja guru favoritku adalah Ayahanda Prabu. Meski terlihat cerewet sebenarnya Yunda Nare adalah orang yang suka berbagi ilmu.
"Sudahlah yunda jangan memojokkan Gayatri seperti itu! Dia masih kecil. Wajar bila dia penasaran dengan hal yang baru dilihatnya. Benarkan ibunda?" Bela kakak ketigaku, Yunda Pradnya.
Usia kami memang terpaut lumayan jauh. Kami berbeda sekitar tujuh hingga delapan tahun. Namun Yunda Pradnya yang paling setia, tentunya dalam pembelaan atas kenakalanku.
Kami bahkan pernah bekerja sama memetik buah mangga di depan istana ayahanda. Dengan berbekal dua ketapel, masing-masing aku dan Yunda Pradnya menentang satu, dan beberapa batu, kami berhasil menjatuhkan empat hingga enam mangga matang. Kami langsung memakannya disana. Begitu segar dan manis kala menikmatinya di terik hari.
Ayahanda Prabu menangkap basah kami saat melakukan aksi itu. Tanpa ku minta Yunda Pradnya memasang badan membelaku. Padahal sebenarnya aku yang berinisiatif mengajaknya berbuat demikian. Namun sikap kedewasaannya diumur yang begitu muda membuat Ayahanda Prabu terkesan. Beliau memaafkan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandhana : Gayatri Sri Rajapatni
Ficção Histórica[TERSEDIA DI CABACA] Dyah Dewi Gayatri Kumarajassa, putri bungsu Raja Kartanegara dari Kerajaan Singhasari yang cantik dan cerdas, tidak pernah bisa memilih jalan hidupnya. Dia dikenalkan dengan rasa cinta oleh seorang perwira muda sekaligus sahabat...