Kunjungan Semalem

17 9 4
                                    

Story by: Tiyipow

"Tok tok tok."

Suara ketukan pintu berhasil membuat gadis itu bangkit menuju kamar neneknya. Malam-malam seperti ini dan hujan deras mengguyur gunung Lali membuatnya sedikit ragu untuk membuka pintu. Apalagi ditambah suasana mati lampu.

"Nenek saja ya, yang buka pintu," ucap Maria penuh harap.

Eyang Fitri menghentikan kegiatan merajut sebuah sapu tangan. Dan menatap sayu cucunya.

"Kamu harus berani, derajatmu lebih mulia dari pada setan." Eyang Fitri bangkit dan menuju ruang tamu.

"Astaga, aku melupakan kalimat itu," batin gadis itu sambil menatap lilin di atas nakas kamar neneknya.

Eyang Fitri membukakan pintu dan merasa iba melihat kedua anak muda basah kuyup karena air hujan. Eyang Fitri mempersilakan masuk dan menyuruh Maria, cucunya untuk menyeduhkan susu jahe hangat.

Gadis itu melaksanakan perintah neneknya. Maria sedikit kesulitan karena sedang mati lampu. Menggunakan penerangan seadanya, lilin panjang di dekatnya. Sementara Eyang Fitri mengambil handuk kering untuk kedua pemuda yang sedang menjadi tamunya malam ini.

Wanita paruh baya itu memberikan mereka berdua handuk dan merebahkan pantatnya di atas kursi kayu dengan beribu ukiran ribet. Sementara Maria baru datang membawa dua gelas susu jahe hangat untuk mereka. Gadis itu meletakkan kedua gelas dengan pelan di atas meja dekat mereka. Lalu duduk di samping neneknya. Mereka berempat duduk saling berhadapan.

"Terima kasih, Nek," ucap kedua pemuda bersamaan sambil meneguk segelas susu jahe buatan Maria.

"Sama-sama," balas Eyang Fitri tersenyum.

"Kami ragu untuk turun melanjutkan perjalanan ke bawah, soalnya kami tadi terpeleset jadinya kedua kaki sudah tak tahan lagi," jelas salah satu pemuda itu.

"Kami hanya melihat rumah nenek yang paling dekat, sementara lainnya masih lumayan jauh," kata pemuda sebelahnya.

Eyang Fitri mengangguk paham. Begitulah saat hujan mengguyur gunung Lali, semuanya harus berhati-hati jika keluar. Apalagi rumah eyang Fitri yang terletak di kaki gunung.

"Kalau kalian mau menginap sampai besok, boleh," ucap eyang Fitri.

Maria merasa keberatan dan enggan untuk menatap kedua pemuda itu. Gadis itu meraih novel yang sedari tadi berada di meja bundar tempat buku-buku fiksi. Mulai membaca fokus dan menghiraukan mereka bertiga. Berusaha membaca dengan cahaya minim untuk mengabaikan pembicaraan mereka.

"Ah, tidak, Nek. Kami akan segera pulang kalau hujannya sudah mereda. Sedikit istirahat disini sudah cukup," tolak salah satu pemuda dengan halus.

"Nenek boleh tau nama kalian? Siapa tau nanti berpapasan di jalan," tanya Eyang Fitri.

Pemuda di sebelahnya berkata, "saya Afan dan di sebelah saya ini Afton, kami berdua kembar."

"Kalian kembar? Benarkah?" tanya Eyang Fitri berusaha meyakinkan karena penglihatannya yang sudah rapuh. Dibantu sebuah kacamata setia menempel di wajahnya.

Afan berusaha meyakinkan perkataannya bahwa mereka kembar. Mereka berdua mendekatkan wajahnya ke arah cahaya lilin supaya terlihat jelas. Maria yang membaca fokus jadi tertarik untuk melihatnya, berpaling dari arah novel.

Gadis itu sepertinya melihat luka di area daun telinganya tetapi mengabaikannya. Mungkin salah lihat juga karena sedang mati lampu.

Beberapa jam kemudian hujan berhenti. Kedua pemuda itu sudah mengganti atasnnya dengan jaket yang mereka bawa. Dan membawa handuk kering yang diberikan oleh eyang Fitri. Mereka berpamitan dengan ramah dan pergi melanjutkan perjalanan. Padahal eyang Fitri sudah memaksanya untuk menginap, namun mereka menolak.

Jam di ponsel Maria menunjukkan tengah malam. Gadis itu mengerutu tidak jelas di dalam hatinya, melihat listrik yang tak kunjung hidup. Padahal baterai ponselnya sudah diangka dua puluhan.

Keesokan harinya, Maria dan Neneknya melihat berita di televisi tentang ditemukannya dua pemuda pendaki yang sudah hilang dalam waktu seminggu. Mereka ditemukan dalam keadaan meninggal dunia dan luka yang serius. Terlihat jelas luka di telinga yang membuat bulu kudung gadis itu Meremang.

Apalagi wajah mereka terlihat sama. Itu memang benar mereka, Afan dan Afton. Kedua pemuda yang semalam mengunjungi rumahnya. Gadis itu bangkit dari duduknya menuju ruang tamu.

Gelas bekas mereka tadi malam sudah habis isinya. Tetapi pagi ini, susu jahe itu penuh seperti tidak ada yang meminumnya. Dan dua handuk itu terlipat rapi di kursi kayu. Handuk yang tadi malam mereka pakai.

Maria semakin merinding ketakutan. Gadis itu gemetar hebat dan hampir saja jantungnya copot saat pundaknya di tepuk neneknya.

"Nenek sudah terbiasa dengan hal seperti ini ...," wanita paruh baya itu membawa dua gelas sisa tamu tadi malam, "kamu harus berani jika berlibur di rumah nenek."

Maria berharap hari cepat berlalu. Sebulan rasanya lama sekali dilewati. Ingin rasanya kembali pulang ke kota. Liburan kali ini bukan menyenangkan, tetapi menyiksa batin saja.

TAMAT

CERMIN HORORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang