10). I was a little too fast

24 6 4
                                    

Setelah selesai berkerja Kana mengambil tas berwarna hitam miliknya. Gadis dengan rambut terurai panjang yang menjadi ciri khasnya,mengombak tersapu angin. Sepertinya Kana terlihat sangat lemas, pekerjaan yang begitu banyak sampai hampir membuat pinggangnya hampir remuk.

Cara berjalannya yang lunglai seperti tertiup angin. Wajahnya pun tidak menunjukkan gairah yang biasanya itu terpancar. Suram. Haha engga deh becanda. Kata itu terlalu berlebihan.

"Huekk, muak gue..!!" Geramnya saat netranya tidak sengaja melihat sekilas Ansel. Kana mengelus punggung tangannya sebelah seolah mengekpresikan melihat benda yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Setelah Kana rasa Ansel sudah pergi menjauh, kakinya mulai melangkah menuju ruangan Deva. Deva sebagai wakil direksi di sini,mau tidak mau Kana harus–sangat harus menghormatinya.

Sesuai janji tadi siang,pasti Deva sudah menunggunya. Pasalnya sesudah perkejaan nya selesai Kana harus menyiapkan beberapa berkas agar besok tidak terlalu membebaninya. Dia harus segera tidur saat sampai rumah karena akhir-akhir ini berat badannya menurun.

Setelah menyusuri koridor dia sampai di sebuah ruangan dengan hawa dingin menyeluruh. Gadis dengan matanya yang berkeliling mencari sosok bayangan Deva yang biasanya duduk di meja hitamnya.

"Keena..!!" Suara berat itu berhasil mengusik telinganya. Tapi Kana tidak menoleh jelas itu bukan namanya. Kakinya masih mematung di depan pintu yang transparan.

"Keena..!" Panggilan itu kembali terdengar matanya menyipit kearah kiri. Benar itu Deva dia sepertinya salah memanggil nama Kana.

"Aku?" Tanya Kana sambil menunjuk pada dirinya sendiri. Deva mengangguk sambil melambaikan tangannya ke arah Kana.

Tangannya meraih pegangan pintu dan mendorongnya dengan kecepatan yang terbilang slowly. Dengan pipi yang timbul akibat senyuman Kana terlihat sangat menggemaskan.

"Sini..!!" Titah Deva, Kana merasa tidak enak saat Deva memintanya duduk diruang khusus. Biasanya Kana duduk di kursi hitam yang bahkan tidak ada untuk bersandar, menyedihkan sekali.

Kedua kakinya terasa kaku ketika melihat Kevandra duduk di sofa dengan hanya mengenakan baju kasual. Dengan kaki bertumpu pada kaki satunya membuat Keva terlihat keren.

Dengan ragu Kana duduk didepan Kevandra, berhadapan. Kepalanya menunduk tahu akan malu, pipinya pun memerah. Tangannya tak henti menggaruk sofa yang jelas tidak merasa gatal, jelas sofa bukanlah manusia.

"Gimana?" Tanya Kevandra.

"Apanya?" Tanya balik Deva,dia memang sedikit pikun dari dugaan."Eh lo kan yang minta, ngomong sendiri lah" lanjutnya.

"Gak."

"Sial, punya temen. Kalo gak kaya gue tinggal lo."

"Terus? Lo gak kasian sama dia."

"Ya,gue salah. Teross..salah mulu gue"

"Oke keena" Lanjut Deva serius, langsung di benarkan oleh Kana. "Kana pak"

"Ahh maaf bodo amat"

"Agak..." Sudahlah Kana rasanya percuma membenarkan. Tapi disisi lain hatinya tertegun melihat tingkah konyol mereka berdua. Kana belum pernah memiliki teman seperti itu.

Kadang-kadang Kana rasa teman yang pernah dia temui hanya sebatas ingin tahu dan memanfaatkannya saja. Tidak untuk tempat berkeluh kesah tentang kehidupannya. Atau mengabiskan waktu hanya untuk bercanda ria.

"Oke kembali ke topik." mendengar itu membuat lamunanya membuyar. Pikiran itu langsung menghilang tat kala Kevandra dan Deva memandangi Kana dengan tatapan mengerikan. Seperti harimau kelaparan yang ingin melahapnya.

Dengan susah payah ia meneguk salivanya. Gadis yang tengah gugup itu hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan dari Deva. Ternyata dia bohong, katanya hanya mengobrol biasa tapi ini tidak biasa. Ini tentang bisnis yang membosankan.

Dan lagi-lagi dia dibuat menunduk oleh tatapan maut Keva yang terus menatapnya tajam. Seolah tidak membiarkan celah untuknya bernafas lega,atau menghirup udara.

"Oke mungkin segitu,dan ya. Maaf izin saya bertanya Kana." Ujar Deva sebelum menutup perbincangan itu, Kana sedikit termenung memikirkan apa yang akan Deva tanyakan.

"Saya dengar nama belakangmu—" ucapannya diserobot perkataan Keva tiba-tiba. "Apa anda anak dari Pak Yudo?" Kana mengangguk dengan ragu.

"Ada masalah?" Jujur Kana sedikit tersinggung dengan nada bicaranya sekaligus deg-degan saat ini juga. Memang tidak ada masalah dengan latar belakangnya,lagi pula dia tidak menyembunyikan itu.

"Sudah saya duga,pasti anda sering membantu ayahmu dalam merancang bisnis?" Lagi Kana menggeleng pelan.

"Tentu saja, tidak. Sebenarnya aku tidak suka mencampuri urusan ayah,aku lebih suka aku berjalan sendiri. Mencari arahku sendiri di labirin ku sendiri".

"Tapi anda terlihat ambisius dalam mengambil keputusan atau tindakan." Pendapat Keva terlalu berlebihan bagi Kana, dia terlihat ambisi karena memang punya ambisi untuk menjadi lebih baik bukan berarti hal lain.

"Mungkin,tapi aku terlalu meremehkan segala sesuatu karena aku lihat ayah begitu lihai dari segi apapun. Pikiran itu membuat ku berasumsi bahwa aku pasti bisa,aku anaknya lagi pula aku lulusan universitas bagus disana."

"Ternyata aku salah,ini semua tidak mudah. Bahkan buat aku sendiri ngerasa ini susah, jadi ya aku sangat berambisi karena aku ingin membuktikan ke ayah bahwa aku bisa." Diiakhiri senyuman tipis Kana kembali tertunduk lesu.

Merasa topik sudah terlalu jauh, Keva mengalihkan pembicaraan."Anda ingat anda pernah bertemu dengan saya waktu itu"

"Ahaha,iya benar. Maaf sekali." Astaga Kana benar-benar malu. Pikir Kana keva sudah lupa kejadian itu. Ingin sekali dia mengumpat kasar saat ini juga bibirnya sudah tidak tahan lagi.

"Sudahlah."

"Kamu tahu Kana. Alasan Keva memakai baju casual saat bertemu kamu?" Tanya Deva, Kana mengerutkan dahinya menerawang jauh perkiraan.

"Karena dia gak mau jasnya kotor lagi." Pipinya memerah sempurna, malu canggung dan sedikit menggemaskan berhasil membuat hatinya sedikit berpindah posisi. Itu berhasil menyentil ujung hatinya mungkin, jika di lihat bentuk love itu kan terjungkal. Ah, Kana lupa hati itu bukan berbentuk love ya?

Tapi-tapi ini benar-benar ada rasa berbeda di hatinya. Sudah dua puluh empat tahu dia terlahir di dunia,belum pernah merasakannya. Apa ini? Astaga Kana benar-benar tidak tahu. kenapa gue rasa Keva itu baik, gumamnya.

"Jadi intinya gimana pak?" Celetuk Kana, astaga itu terlalu cepat Kana. Rasanya ingin membenturkan kepalanya ke dinding. sometimes you are a little stupid Kana.

"Kenapa?saya hanya memanggil anda untuk berbincang sedikit,apa tidak membuatmu nyaman?" Tutur Keva, manik matanya terbuka sempurna. Kana terkejut Keva selembut itu ketika berbicara,tidak sama dengan rumor yang beredar.

"Bukan seperti itu,kali saja ada hal sangat penting" jawab Kana,dia menyesal telah bertanya seperti itu. Padahal di dalam hati kecilnya Kana masih ingin mengobrol panjang lebar dengan Keva.

"Iya,tadinya." 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Why should it be her ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang