Reynan tampak diam, berfikir untuk menyusun jawaban yang akan ia katakan pada Ale.
"Ada masalah? Cerita sama gue Rey." ucap Ale.
"Banyak yang terjadi Le. Dan.. dan gue gak tahu harus cerita dari mana. Gue juga gak tahu apa yang terjadi sama diri gue sendiri. Belakangan ini gue sering merasa tertekan sama keadaan. Gue.. gue–"
"Jangan di lanjut kalau belum siap cerita," Ale memotong ucapan Reynan. Ia dapat melihat jelas bahwa pria itu tampak gelisah dengan nafas menggebu saat bercerita.
Entah apa yang di alami oleh Reynan hingga pria itu benar-benar kelihatan kacau.
Tangan Ale terjulur mengusap pundak tegap Reynan. "Gue ada disini sebagai sahabat, dan pendengar yang baik buat lo. Cerita apapun masalah lo Rey. Kalau sudah siap," ucap Ale.
Reynan menghembuskan nafasnya dalam. Ia mengangguk kecil mengiyakan perkataan Ale. Entah kapan ia dapat terbuka. Jika pun ia terbuka dengan seseorang setelah nya, Reynan akan menyesali perbuatan nya yang terlalu over-sharing.
Setelah makan malam, Reynan dan Ale kembali lagi ke rumah sakit itu untuk melihat keadaan Zeara.
Kini keduanya sudah berada di dalam ruangan karena dokter sudah mengizinkan."Kagak bangun-bangun, mati kali apa ya?"
"HUSH!! mulut lo jahanam banget!" Reynan berdecak kesal. Ale ini tipe orang yang selalu blak-blakan.
Reynan meraih tangan Zeara yang telah di pasang infus, Ibu jarinya sedikit mengelus tangan itu.
"Zeaa? bangun, lo denger gue kan?"
Kata dokter, untuk merangsang agar Zeara merespon. Harus di ajak banyak-banyak berbicara. Siapa tahu kalau memdengar suara seseorang, Zeara akan cepat bangun.
Tangannya terulur menyentuh perban di kepala Zeara. Entah kenapa hati Reynan sedikit merasa terhenyak. Dirinya tiba-tiba di selimuti rasa bersalah yang begitu hebat.
Reynan melirik jam tangannya. Sudah pukul 12 malam ternyata. Ia memang mengantuk, tapi entah kenapa saat ini lebih ingin berjaga dari pada tidur.
Ia melirik Ale yang sudah terpulas di sofa yang ada di sudut ruangan. Katanya, Ale ingin menemani Reynan disini. Tapi ia malah lebih dulu pulas. Dasar!
Reynan tersentak kaget saat tangan yang ia genggam itu mengalami pergerakan. Sudut bibirnya terangkat saat Zeara perlahan membuka matanya.
"Zea? lo bangun?"
"Aku mati ya?"
Dua manusia yang konyol!
"Lo bisa denger gue?" tanya Reynan. Gadis itu mengangguk.
"Lo bisa lihat gue?" Reynan mengulang tangannya di depan wajah Zeara. Gadis itu lagi-lagi mengangguk.
Reynan menghembuskan nafasnya lega. Syukurlah gadis itu tidak buta dan masih bisa mendengar. Ia takut nasib Zeara sama seperti di sinetron-sinetron yang buta dan tidak bisa berbicara setelah kecelakaan.
"Aku gak di dalam kubur?" tanya Zeara. Reynan membolakan matanya saat mendengar ucapan itu.
Namun setelahnya Reynan terkekeh geli, sepertinya efek bius setelah operasi membuatnya berhalusinasi."Lihat gue Zea. Ini berapa?" ucap Reynan menunjukkan dua jarinya.
"Tiga," tawa Reynan hampir saja pecah jika seorang perawat tidak masuk.
"Permisi, saya ingin memeriksa keadaan pasien." ucap perawat itu.
Reynan sedikit menyingkir memberikan ruang untuk perawat itu melakukan tugasnya. Setelah kepergian sang perawat, Reynan kembali menatap Zeara dengan intens.
KAMU SEDANG MEMBACA
TITIK KOMA [ON GOING]
Non-Fiction"Tolong ajari aku caranya menerima keadaan tanpa membenci kehidupan." -Reynanza Damara