Tentang Obrolan Malam

421 67 15
                                    

San bergerak gusar di kasurnya, membolak-balik posisi tubuhnya. Ini malam kelima dirinya berada di rumah mereka. Dia masih terjaga padahal waktu sudah menunjukkan pukul tiga. Dadanya terasa sesak, membuatnya kesusahan untuk tidur. Gerakan San ternyata membangunkan Wooyoung. Sedari tadi si Jung itu tidak tertidur, hanya memejamkan matanya hingga akhirnya dia mendengar isakan barulah Wooyoung membalik tubuhnya. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah punggung San yang bergetar dan membelakanginya. Wooyoung mendekat, merapatkan tubuhnya pada San. Tangannya yang besar meraih pinggang ramping San untuk direngkuh. Sang korban jelas terkejut, spontan membalikkan tubuhnya dan menampilkan wajah yang basah oleh air mata.

"Udah nangisnya?" Tanya Wooyoung.

San menggeleng, memberanikan diri mendekati Wooyoung dan memeluknya erat, wajahnya sengaja ia tenggelamkan di dada sang suami. Wooyoung tanpa banyak kata langsung mengelus punggung San yang masih bergetar karena tangis. Mata bulatnya melirik jam dinding yang tergantung di kamarnya.

Pukul tiga dini hari.

Perlahan tangisan San mereda. Wooyoung pikir San tertidur, jadi dia mencoba melihat ke bawah dan matanya langsung bersitatap dengan manik sipit San yang berkaca-kaca.

Wooyoung mengelus punggung San sambil bertanya, "Kenapa?"

San memutus kontak matanya, kembali menunduk, menenggelamkan wajahnya di dada Wooyoung, lagi. "Kangen mama," lirihnya.

Wooyoung mengangguk, seolah mengerti kesedihan si Choi. Dia juga rindu ibunya, rumahnya, dan suasana ketika dirinya masih menjadi tuan muda Jung. Dia maklum, tinggal dengan orang asing yang bahkan baru beberapa hari dikenalnya dan meninggalkan rumah tempatnya lahir dan tumbuh, pasti rasanya berat.

"Mau tidur lagi?"

San menggeleng. "Nggak bisa tidur," rengeknya.

"Mau minum sesuatu nggak? Teh? Kopi?"

San mendongak, matanya bergerak abstrak memandang langit-langit.

Wooyoung yang paham suaminya sedang gugup langsung menggenggam tangan San, mengelusnya dengan sayang. "Jangan sungkan. Udah tugasku menuhin kemauan kamu, Sayang. Kamu lagi pengen apa?"

Bola mata San langsung fokus ketika tangannya digenggam, dia menatap Wooyoung dengan mata berbinar seperti seekor anak kucing. "Wooyoung bisa bikin coklat panas?"

"Oh, bisa kok."

Wooyoung langsung bangun dari tidurnya, keluar kamar mereka tanpa sempat memberikan San waktu untuk merespon.

San yang ditinggal begitu saja akhirnya ikut turun dari kasur, namun langkahnya mengarah ke pintu kaca yang tertutup rapat yang terhubung ke balkon. Ia menggeser pintu itu dan melangkah keluar, angin dini hari yang dingin langsung menerpa tubuhnya, mengantarkan sensasi menggelitik. Dulu, waktu di rumah lama, kamar San memiliki balkon sendiri karena kebiasaannya yang suka berada di luar ketika tak bisa tidur atau banyak pikiran.

Beberapa menit kemudian, Wooyoung masuk ke kamar dengan dua cangkir di tangannya, satu berisi coklat panas dan satu lagi berisi kopi susu. Dia yang melihat San duduk di balkon langsung berjalan kearah suaminya, meletakan cangkir tadi ke pojok agar tidak tersenggol. Mata bulatnya memerhatikan San yang sedang menggosok-gosok tangannya, terlihat kedinginan. Wooyoung kembali ke dalam, mengambil selimut yang cukup besar dan membawanya ke balkon agar menghalau hawa dingin. Mereka berbagi selimut dan mulai bercerita random sambil menikmati minuman hangat yang baru dibuat Wooyoung tadi.

"Selesai cuti, kamu mau ngapain?"

"Nggak tau," ujar San. "Mungkin bantu papa di kantor," lanjutnya.

"Ada hal yang kamu suka atau mau lakuin?"

Mata San berbinar mendengar pertanyaan tersebut. "Ada," jawabnya semangat. "Tapi nggak jadi deh." Sinar matanya meredup.

"Kenapa?"

"Papa nggak suka."

"Tapi kamu udah menikah, San. Udah nggak sama papa lagi. Kamu udah jadi tanggungjawabku, bukan orang tuamu lagi."

San diam setelah mendengar ucapan Wooyoung barusan. Wooyoung benar, tapi tetap saja San rasanya takut untuk meminta, takut tidak diijinkan.

"Kamu emang mau apa?"

"Aku dari dulu suka gambar. Mungkin bangun studio di rumah ini? Atau aku harus buat galeria?" Kata San mengutarakan keinginannya.

Wooyoung mengangguk, merespon ucapan San.

"Kalo Wooyoung sendiri .... Gimana?"

"Hah?"

"Wooyoung mau apa?"

"Aku? Uh, aku .... Mau kamu ....?"

San memiringkan kepalanya mendengar kalimat rancu yang keluar dari mulut Wooyoung, menerka-nerka maksud ucapan tidak jelas suaminya itu namun ia tidak mengerti sama sekali.

"Mau aku?"

Wooyoung mengangguk, lagi. "Iya. Mau kamu, mau liat senyuman kamu, mau peluk-peluk gini," ujarnya sambil memeluk tubuh San yang terbalut selimut. "Aku mau bahagiain kamu, soalnya senyummu tuh cantik," tutupnya.

San menjadi salah tingkah mendengarnya. Tapi satu sisinya terasa lega, pernikahannya mungkin tak seindah kisah drama yang ditonton ibunya, tapi San yakin pernikahannya akan meninggalkan banyak kenangan menyenangkan dengan Jung Wooyoung di sampingnya.

"Wooyoung nanti kerja di kantor ayah Jung lagi?"

Wooyoung menjawab, "Iya, paling cuma beberapa bulan sampe restoran jadi."

"Restoran?"

"Papa janjiin restoran setelah aku nikah, katanya buat hadiah pernikahan. Aku pernah bilang 'kan aku bisa masak?"

"Iya, aku inget. Katanya kamu bakal buat aku suka sama sayuran," ujar San disertai tawa kecil.

"Ngomongin soal masak, besok-besok kamu nggak usah masak ya? Biar aku aja."

"Kenapa? Omelette yang aku bikin kemaren nggak enak ya?"

"Enak kok, cuma kebanyakan garem aja."

Oh, pantas aja San hanya bisa merasakan rasa asin ketika memakannya.

Mereka terus mengobrol hingga pagi menjelang dan sinar matahari mulai muncul. Keduanya tidak tidur lagi. Mereka memesan makanan untuk sarapan dan memakannya di ruang tamu sambil menonton film, keduanya memutuskan memutar series Harry Potter dari seri pertama hingga ketujuh. Walaupun di seri kelima, keduanya tertidur lelap di sofa, dengan badan San yang berada di atas Wooyoung dan tangan Wooyoung yang memeluk pinggangnya.

Yang mereka tidak tahu ternyata hari itu mama mereka mengunjungi pasangan baru tersebut. Nyonya Jung dan Nyonya Choi hanya bisa menatap pasrah saat melihat anak dan menantunya tidur di sofa dengan posisi yang sangat intim. Setidaknya dua wanita paruh baya itu bisa lega karena ini berarti dua anaknya bahagia dengan pernikahan mereka dan ketakutan Nyonya besar itu tidak terjadi.

"Saya nggak sabar pengen punya cucu deh," bisik Nyonya Jung.

Nyonya Choi mengangguk, menyetujui. Dia juga tidak sabar menimang cucu dari anak kesayangannya itu.

"Mereka udah bulan madu belom sih?"

"Kayaknya belom. Wooyoung cuma minta cuti bulan madu."

"Aduh, nggak bisa dibiarin ini. Masa mereka bulan madu di rumah aja, pokoknya harus ngasih tau suami saya ini," ujar Nyonya Choi.

"Saya setuju, nanti saya bujuk Wooyoung untuk mengajak San bulan madu."

"Nanti saya aja yang carikan tempatnya."

Dua wanita itu masih asik ngerumpi hingga pulang ke rumah dengan topik yang masih sama, bulan madu.

—TBC

a little reminder aku nih sekte wongwin dan natreun ya. itu berarti aku cuma buat konten woo!domtop dan san!subbottom

btw, kalian libur gak??

Imperfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang