Jepang Punya Cerita

395 61 12
                                    

Udah dua hari mereka tinggal di Jepang. Akhirnya keduanya memutuskan menyewa sebuah villa di pinggir pantai X. Mereka sudah menjelajahi banyak destinasi wisata hanya dalam dua hari mereka tinggal di negeri sakura itu. Ponsel Wooyoung bahkan sudah penuh dengan foto-foto San karena si Jung kerap memotret suaminya itu setiap mereka jalan-jalan. Awalnya Wooyoung pikir dia bisa memotret senyum San dalam ingatannya aja, tapi kemudian dia berpikir ulang dan ingin menyimpan satu atau dua foto suaminya bukanlah ide yang buruk.

Namun hari ini San ingin jalan sendirian, mau me time katanya. Lucu juga si Choi meminta waktu me time ketika sedang bulan madu. San benar-benar menganggap ini hanya liburan biasa bukan bulan madu.

Tapi di sisi lain ini menguntungkan Wooyoung. Akhirnya dia bisa menjalankan rencananya yang udah dia susun dari jauh-jauh hari, bahkan sebelum ayah Jung merencanakan bulan madu mereka. Dengan bantuan beberapa kawan koreanya yang kebetulan sedang tinggal di Jepang, Wooyoung menyulap villa yang ditinggalinya menjadi sedikit romantis dengan sentuhan bunga mawar di beberapa tempat. Ruang tamu yang disulap menjadi ruang makan malam yang romantis. Yang paling spesial tentu saja masakan yang Wooyoung buat sendiri dan yang terpenting, semuanya adalah makanan favorit San.

Wooyoung sudah yakin sekarang. Pemikirannya di awal tentang pernikahan dengan orang asing ternyata tidak seburuk itu. Malah ini anugerah terbesar di hidupnya.

Tepat pukul lima, ketika Wooyoung sudah rapi dengan pakaiannya, San juga pulang dari acara me time miliknya. Dia sedikit kebingungan melihat lampu yang padam namun digantikan dengan lilin-lilin cantik sepanjang jalan dan di ujungnya ada Wooyoung yang duduk di kursi dan makanan yang tersaji di meja.

"Loh? Ada acara apa nih?" Tanya San sambil berjalan menghampiri Wooyoung.

Wooyoung ikut berdiri, menghampiri San dan bersimpuh di hadapan San. Dia mengulurkan tangannya. "Hari itu Papa yang dateng ke rumah, yang minta kesediaan kamu untuk jadi menantunya dan nikah sama anak satu-satunya ini." Wooyoung memberi jeda pada kalimatnya. "Tapi hari ini, aku sebagai Jung Wooyoung, dengan segala kerendahan hati minta kesediaan kamu untuk jadi pendamping hidupku. Kamu bersedia, kan?"

Sebenarnya kata-kata Wooyoung biasa aja, seperti template yang selalu dipakai setiap orang ketika melamar pacarnya. Tapi kalo melihat lagi ke masa lalu, latar belakang mereka yang sama-sama asing dan menikah karena perjodohan. Mendengar Wooyoung dengan tulus hati meminta San hidup bersama, rasanya .... berbeda. Tangan kosong Wooyoung yang terulur terasa sangat tulus meskipun tidak ada cincin atau bunga di sana.

San bisa merasakan matanya memanas hanya dengan melihat Wooyoung di hadapannya. Bukannya menerima uluran tangan itu, San malah terduduk di depan Wooyoung dengan air mata yang mengalir di pipinya. Wooyoung yang kebingungan reflek mendekati dan menarik San ke dalam pelukannya. Meskipun bingung, Wooyoung tidak bertanya pada San, kata yang keluar dari mulutnya hanya kalimat-kalimat penenang tanpa ada larangan menangis atau sekedar pertanyaan 'mengapa?'. Karena Wooyoung tau San tidak butuh untuk saat ini, yang si Choi butuhkan hanyalah menumpahkan perasaan bisunya lewat air mata.

"Aku– Aku nggak pernah mikir ka–mu bakal gini," ujar San masih dengan isak tangis. "Aku takut. Takut banget kalo kamu nggak mau nerima aku. Kalo kamu ternyata udah punya pacar dan nggak cinta aku. Kalo kamu ternyata terpaksa sama pernikahan kita. Aku takut banget, Woo." Keluar sudah segala kegelisahan San selama ini. Tentang keluarganya, Wooyoung, dan pernikahan mereka. Setelah menyelesaikan kalimatnya, San mendongak, menatap mata Wooyoung. "Makasih, Woo. Makasih karena kamu nggak bikin ketakutanku jadi nyata," ucapnya. Tangan San terulur, mengalun di leher Wooyoung, mempertemukan bibirnya dengan bibir si Jung, melumatnya singkat sebelum melepasnya lagi.

Wooyoung tersenyum lembut, menggendong tubuh San yang duduk di lantai dan menurunkan di salah satu kursi.

"Makan dulu, nanti makanannya dingin," ujar Wooyoung sambil duduk di kursinya.

Mereka menikmati makan malam dalam keadaan sunyi. Walaupun begitu, hening ini tidak membuat suasana canggung. Malah rasanya menjadi lebih nyaman. Apalagi dengan tangan mereka yang saling bertaut di meja makan. Setiap satu suapan sekali Wooyoung akan mengelus tangan San di genggamannya dan melirik San dengan penuh puja. Selesai makan malam, Wooyoung menghampiri San, menggendongnya dan membawanya ke kamar mereka yang udah disulap seperti kamar pengantin baru.

Keduanya saling tatap kemudian tawa bersama. Rasanya malam ini sangat bahagia bagi keduanya, rasanya mereka tidak ingin melepaskan pandangan pada satu sama lain.

"Wooyoung, ayo bulan madu," ujar San yang berada di pelukan Wooyoung.

"Ini kita lagi bulan madu, Sayang."

San mencubit perut Wooyoung hingga si Jung mengaduh kesakitan.

"Tapi kamu belom jawab pertanyaanku tadi."

Perkataan Wooyoung membawa ingatan San pada beberapa saat lalu. Ketika si Choi menangis keras hanya karena melihat Wooyoung berlutut dengan kedua kakinya di depan San. Kalau diingat-ingat rasanya sangat memalukan sampai-sampai San bisa merasakan pipi dan telinganya memerah karena malu. Tapi Wooyoung benar, San belum menjawab pertanyaan tadi.

"Iya, aku mau."

"Mau apa?" Tanya Wooyoung dengan nada jenaka. Dia ingin menggoda San lebih jauh lagi, apalagi ketika tau wajah suaminya itu memerah karena menahan malu.

San menghela nafas pelan, menetralkan detak jantungnya dan rasa gugupnya. Dia memberanikan diri menatap mata Wooyoung, memandangnya dengan lekat dan menjawab mantap, "Aku mau hidup sama kamu, Wooyoung."

Gantian, sekarang Wooyoung yang salah tingkah karena ditatap seintens itu oleh San. Aish, bolehkah Wooyoung menerkam suaminya sekarang?

–TBC

mmm👉👈 ditanya wooyoung tuh, boleh gak san-ie nya diperadiperjakai gitchu👉👈

part esek-esek nya mau diupload di privatter atau di sini aja?

Imperfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang