Bed Rest

499 54 1
                                    

Awalnya San marah begitu diminta bed rest. Dia sudah membayangkan dirinya akan mati kebosanan tidak melakukan apa-apa seperti orang sakit parah padahal dirinya hanya hamil. Dia terus mengerucut bibirnya dan tidak memakan sarapannya karena masih merajuk pada Wooyoung.

Sedangkan si Jung muda itu tidak menggubris tingkah laku San. Menurutnya, keadaan makin runyam kalau dia menegur suaminya itu. Jadi, lebih baik Wooyoung membiarkan bapak hamil itu melakukan apa maunya.

"Wooyoung-ie nyebelin," seru San ketika Wooyoung menghampiri kasur, hendak bertanya tentang sarapan yang masih utuh di meja.

"Kamu mau makan yang lain? Nanti aku masakin atau mau beli aja?"

Kan? Wooyoung sama sekali tak peduli dengan acara ngambek San.

"Aku mau berangkat kerja," ketus San.

"Ke mana?"

"Kamu kok nanya gitu? Ya, ke kantor Papa Choi lah!"

Wooyoung tersenyum kecil lalu mengeluarkan amplop dari saku celananya. "Kebetulan ada surat cinta dari kantor sana, nih. Buat kamu." Wooyoung menyerah amplop berlogo perusahaan Tuan Choi itu kepada San.

San buru-buru mengambil amplopnya dengan kasar, membukanya dan membaca sekilas. "IH PAPA TEGA BANGET MECAT ANAKNYA SENDIRI?" Pekik San sambil melempar surat itu ke sembarang arah.

"Nah, kalo kayak gini, kamu mau kerja ke mana?" Tanya Wooyoung lagi, diselipi nada mengejek.

"Wooyoung nggak ngerti." San menunduk sambil memainkan selimut yang dipakainya. "Aku bosen tau kalo gini mulu. Sepi banget. Nanti siang juga Wooyoung pergi ke resto, kan? Nanti aku ditinggal sendiri. Nanti aku sedih kalo sendirian. Aku juga nggak bisa ngapa-ngapain gara-gara pake ini nih." San menunjukan infusan yang ada di tangannya. "Terus kalo aku nggak ngapa-ngapain aku jadi mikir yang aneh-aneh. Aku mikir kenapa Wooyoung lebih milih resto daripada aku? Apa aku ngerepotin ayah makanya dipecat? Apa aku ngelakuin kesalahan makanya pada pergi?"

Setelah beberapa menit, San tidak mengeluarkan suara lagi, hanya tangisan yang terdengar. Wooyoung lantas menaiki kasur, merangkul San dalam pelukannya.

"Selama kamu bed rest, aku juga di rumah. Resto diambil-alih Yeosang sementara. Biar suamiku yang lucu mirip kucing ini nggak kesepian," jelas Wooyoung.

"Kan, aku beneran ngerepotin!"

"Suamiku nggak pernah ngerepotin, kok. Kamu udah lupa sama ucapanku waktu ada Mama Jung dan Mama Choi di sini? Apa perlu aku ulang lagi?"

San menggeleng pelan, mengusap air matanya sendiri lalu berseru, "Tapi kan–"

"San, kamu nggak pernah ngerepotin buatku. Aku serius nih ngomongnya," bisik Wooyoung.

San tidak menyahut lagi setelah itu. Namun dia langsung menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya.

"Sayang, pelan-pelan," tegur Wooyoung.

"Sana ke restoran aja. Kamu makin ngeselin kalo di rumah," teriak San dari balik selimut.

Setelahnya, tak ada sahutan lagi. San bisa merasakan Wooyoung turun dari kasur, namun dia belum mendengar bunyi pintu kamar yang tertutup jadi dia lebih memilih berdiam lebih lama di dalam selimut sampai yakin kalau Wooyoung benar-benar pergi. Cukup lama San dalam posisi itu. Pelan-pelan dia menyingkap selimut, mengintip apakah suaminya benar-benar sudah pergi ke restoran.

"Wooyoung," panggil San. "Wooyoung-ie beneran pergi, ya? Kok beneran pergi sih? Aku jadi sendirian 'kan!" San menatap pintu kamarnya yang terbuka. "Wooyoung pasti kesel punya suami yang ngerepotin kayak aku," ujarnya pada diri sendiri.

Sementara di tempat lain.

"Yang paling bagus aja. Terserah deh tipe apa atau merek apa, yang penting bagus," seru Wooyoung pada penjaga toko yang ada.

"Baik. Ada lagi, Pak?"

"Ini udah komplit semua belum?"

"Tinggal kertasnya aja, Pak. Kebetulan kami menyediakan–"

"Apa aja. Yang paling bagus dan sesuai sama yang ada di sini," tunjuk Wooyoung pada peralatan melukis yang ada di keranjangnya.

"Baik, Pak. Ada lagi?"

"Emang masih ada yang kurang?"

Penjaga toko itu melirik keranjang Wooyoung, lalu menyahut, "Kalo untuk pemula, ini udah lengkap. Mungkin bapak mau nambah warna catnya?"

"Okay. Itu aja, harusnya."

"Mari, Pak. Saya antar ke kasir."

Selesai membayar belanjaannya, Wooyoung keluar dari toko dengan wajah senang. "Semoga San suka," gumamnya sambil menatap kantong besar yang dipegangnya.

Setibanya di rumah, Wooyoung langsung memasukkan motornya ke dalam garasi. Langkah kakinya lantas menuju kamar utama yang pintunya masih terbuka. Dia tak sabar memberikan peralatan melukis itu pada San. Namun kantong yang dibawanya langsung terjatuh ketika dia melihat suaminya menangis sambil menatap pintu.

"Sayang? Kenapa? Ada yang sakit? Perut kamu sakit? Atau ada darah lagi? Pusing? Mual? Mau–"

Kalimat Wooyoung terpotong ketika San memanggil namanya, lalu menerjang tubuh Wooyoung yang masih duduk di pinggiran kasur.

"Wooyoung, maaf."

Wooyoung tersenyum lembut, menggeser dirinya ke tengah kasur, kemudian baru membalas pelukan suaminya itu, melupakan sejenak perihal peralatan lukis yang dibawanya.

"Kenapa minta maaf?"

"Wooyoung tadi pergi soalnya aku ngerepotin 'kan? Wooyoung kesel makanya pergi."

"Aku tadi pergi beli alat-alat lukis, San. Eh, tadi di mana aku letakinnya ya?"

Wooyoung beranjak dari kasur, mengambil kantong plastik besar yang tergeletak di bawah, lalu kembali ke posisi semula.

"Kamu pernah bilang kalo berenti kerja, kamu mau ngelukis aja. Makanya aku kepikiran beli ini tadi. Aku gak begitu ngerti sih, jadi aku beli semuanya yang kata Noona Penjaga Toko bagus." Wooyoung terus mengoceh sambil mengeluarkan belanjaannya satu-persatu.

Sementara San sudah kembali ingin menangis dengan bibir yang mengerucut.

Si Jung ini benar-benar. Dia melebihi ekspektasi San tentang calon suami yang dia bayangkan sebelumnya.

Kalau begini, San bisa dengan yakin mengatakan pernikahannya akan menjadi kisah indah dengan banyak cerita bahagia di dalamnya nanti. Pasti.

—TBC

Imperfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang