Part. 4

10 4 0
                                    

•••

Setelah menempuh jarak sekiranya setengah jam, akhirnya aku sampai di depan gerbang rumah yang cukup besar. Ku tekan klakson motor supaya Pak Hadi membuka gerbang rumah.

Tiinn.

Tak lama gerbang didorong oleh Pak Hadi, satpam yang bertugas menjaga rumahku.

“Siang, Non.”

“Siang Pak Hadi. Makasih, ya.” Balasku sambil menarik kembali gas motor.

Lagi-lagi hatiku sedih saat melihat teras rumah sepi. Tidak ada satupun mobil dari Mamah atau Papah yang terparkir di sana. Tandanya mereka tidak ada di rumah, apa mereka tau, kalau aku di sini kangen dan kesepian?

Setelah melepas helm, aku memutuskan masuk ke dalam rumah. Menghampiri Mbok Darmi yang sedang menyapu ruang tamu.

“Mbok, Mamah Papah nggak pulang juga?” Tanyaku basa-basi, berharap ternyata ada Mamah ataupun Papah di rumah.

“Ndak, Non. Seperti biasa. Non Senandung mau makan apa?” Tanya Mbok Darmi, dia menghentikan aktivitasnya dan menyenderkan sapu ke dinding rumah.

Huh. Mbok, Mamah sama Papah sampai sekarang emang nggak punya rasa sayang sama sekali ya?” Tanyaku sambil menjatuhkan tubuh ke sofa ruang tamu.

“Non Sena kenapa? Coba cerita ke Mbok.” Tanya Mbok Darmi sambil duduk di sebelah, tangannya mulai memijat lengan kiri ku.

“Apa mereka nggak tau, ya, Mbok. Kalau anaknya ini kangen.” Ucapku sambil melihat ke plafon rumah. Mataku mulai berkaca, kalau menyangkut Mamah dan Papah, aku tidak bisa mengendalikan air mata.

“Non Sena ndak boleh ngomong gitu. Tuan sama Nyonya sayang banget loh sama Non Sena.” Kalimat ini yang selalu keluar dari mulu Mbok Darmi. Tapi, aku tidak pernah bosan mendengarnya. Walau tidak tau sudah berapa ribu kali Mbok Darmi mengatakan itu. Seolah, aku ingin perkataan itu benar adanya.

Ku sandarkan tubuh ke sofa. Hari ini di sekolah aku tertimpa banyak masalah, sampai rumah sebenarnya pengen cerita ke Mamah. Seperti layaknya anak remaja kebanyakan. Tapi nihil, orang tuaku selalu tidak punya waktu, waktu mereka hanya untuk uang.

“Kalau mereka sayang, kenapa nggak pernah ada waktu buat aku?”

Mbok Darmi merapihkan beberapa rambutku yang menutupi wajah, “Non Sena, tua ndak? Nyonya sama Tuan sibuk kerja juga buat Non Sena loh. Mereka mau Non Sena lancar dalam segala apapun. Mereka mau Non Sena tidak pernah kekurangan apapun yang Non Sena mau.” Ucap Mbok Darmi.

Aku membuang napas, “huh. Padahal, Mbok. Aku nggak cuman butuh uang, aku butuh kasih sayang dan waktu dari mereka. Aku kesepian, Mbok. Sampai aku berpikir, sebenarnya yang Mamah aku itu siapa? Apa Mbok Darmi Mamah aku?” Perkataan ku ini memang terdengar menyedihkan. Aku selalu berpikir, Mbok Darmi yang selalu menemani saat aku masih kecil. Bahkan waktuku habis bersama dia, apa mungkin aku anaknya?

Hust. Kok Non Sena ngomong begitu? Ndak boleh loh, ya. Kalau Nyonya tau, bisa marah nanti.”

Aku tertawa ringan, “hahaha. Mbok, dulu Mamah Papah beneran nggak ada rasa cinta, ya, saat menikah?” Tanyaku lagi.

Mbok Darmi sempat berpikir, “hm. Mungkin awalnya belum, Non. Tapi seiring berjalannya waktu, Nyonya dan Tuan saling menyayangi. Buktinya Non Sena lahir, itu tanda mereka saling mencintai.”

Aku hanya mengangguk, mencoba percaya dengan ucapan Mbok Dari. Setelah itu aku memutuskan untuk bangkit berdiri, “aku lahir karena mereka saling sayang. Tapi kenapa sekarang aku nggak disayang?” Gumam ku.

Tiring WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang