Part. 2

5 4 0
                                    

Di dalam hidupku, aku bertekad hanya akan menikah sekali seumur hidup.

Apa yang telah diberikan oleh Sang Pencipta, tidak akan main-main. Itu yang terbaik untukku, walau bukan kemauan ku.

Aku anak tunggal. Dari dua pasangan yang selalu sibuk dengan pekerjaan. Dua pasangan yang mungkin menikah tanpa adanya cinta. Mereka menikah hanya karena kerjasama antar perusahaan.

Namaku Senandung Hartono Wijaya. Dua nama perusahaan besar ada di dalamnya. Tepat sekali, Mamah anak tunggal dari keluarga Hartono dan Papah anak tertua dari keluarga Wijaya. Keduanya tidak mau mengalah dalam memberikan nama.

Apakah kalian pikir, aku merasa bahagia?

Tidak. Aku merasa tertekan. Lahir menjadi anak semata wayang dari aliansi dua perusahaan besar, menyandang dua gelar Hartono dan Wijaya. Semua orang berpikir aku nyaman dengan kekayaan ini, tapi aku kesepian.

Aku hanya menyandang nama itu, tapi aku rasa... Aku adalah anaknya Mbok Darmi. Orang yang selalu mengasuhku sedari kecil. Papah, Mamah? Papah selalu memimpin cabang baru di luar Negeri, sedangkan Mamah, sibuk di kantor pusat dan selalu pulang disaat aku sudah terlelap.

Satu hal yang membuat kami bertemu. Saat ada pertemuan antar pengusaha, aku yang menjadi anak tunggal harus mewarisi semua ini. Harus belajar dan berkecimpung dalam dunia bisnis.

Padahal cita-citaku ingin menjadi Koki.

Saat ini umurku baru menginjak 17 tahun, masa-masa SMA ku biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Aku tidak populer dan tidak dikenal banyak orang, karena aku benci menjadi pusat perhatian.

Satu hal kebiasaan aneh ku yang tidak mencerminkan sebagai anak orang berpunya. Aku tidak bisa naik mobil, akan terasa mual saat di dalamnya. Sedari kecil, aku lebih memilih menaiki motor, karena aku merasa adanya kebebasan di sana. Merasakan motor yang begitu kencang melawan arus angin yang seharusnya diikuti. Aku ingin seperti motor tersebut.

Kegiatanku setiap harinya adalah sekolah. Aku ke sekolah menggunakan motor Scoopy hadiah ulang tahun dari Ayah. Ah, Ayah tidak pernah mencegahku mengendarai motor, berbeda dengan Mamah.

Seperti saat ini, aku sedang mengendarai motor cukup pelan, karena sebentar lagi akan sampai di pagar sekolah. Jam masih menunjukkan enam lewat lima menit, tanda sekolah masih sepi dan tidak akan ada kendaraan lain lewat.

Aku putuskan membelokkan stang motong ke arah kiri, tapi aku dikagetkan oleh klakson mobil yang begitu kencang menusuk telinga. Mobil itu berhenti secara mendadak, motorku pun sama. Sungguh, jantung rasanya berdetak dua kali lebih cepat. Kepalaku menengok ke kanan, melihat pengemudi mobil itu.

Pintu mobil terbuka dan muncullah satu siswa yang menurutku penampilannya tidak mencerminkan siswa yang baik.

“Lo nggak punya mata?!” Bentaknya sambil menunjuk ke arah wajahku.

Aku mengerutkan kening, bukannya dia yang salah? Tiba-tiba muncul dan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi di sekitar sekolah.

Ku putuskan untuk menstandar motor dan turun, “gue rasa mata lo yang nggak berfungsi dengan baik. Jelas-jelas gue punya dua mata, nih! Nggak lihat?” Balasku sambil menunjuk kedua mata yang dari lahir ada di tempatnya.

Cowok itu mengerutkan kening, “percuma, punya dua mata kalau nggak berfungsi.”

“Loh? Sadar diri!” Timpalku.

Tiring WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang