#38

357 18 14
                                    

“semuanya aja ninggalin gue, bagus… SEMUANYA AJA NINGGALIN GUE… GAPAPA GUE HIDUP SENDIRIAN DI DUNIA INI!”

Raysa duduk bersimpuh di depan gundukan tanah yang masih basah, artinya itu baru saja dibuat. Tangan Raysa memukul-mukul terus pada gundukan tanah itu, tidak ada niatan untuk berhenti. Tangisannya terus mengalir deras, emosinya memuncak. Semua orang yang disayangnya meninggalkannya begitu saja, tidak bersisa.

“tega kalian semua ninggalin Caca? TEGA BANGET…”

Raysa meremat tanah yang ada di bawah telapak tangannya, mencoba untuk menyalurkan semua emosinya. Nafasnya tersengal, tidak kuat lagi melihat semuanya. Mengapa dirinya tidak bisa menahan tangisnya di pemakaman ini sih? dia benci menangis. Bahkan pemakaman yang lalu itu dia tidak menangis bukan? Kenapa dia menangis sekarang?

Azka berdiri di belakangnya, dengan tatapan yang mengasihi anak perempuan malang di depannya yang sedang menangis sejadi-jadinya. Azka tidak tega membiarkan itu, namun Amira di sebelahnya menghentikan gerakannya yang tadinya ingin ikut berlutut.

“KATA SIAPA GUE BISA HIDUP SENDIRI? BISA? ENGGAK…” kata Raysa dengan nafas yang benar-benar tidak stabil itu.

“ca…” lirih Azka melihat itu.

Aidan dan Amira benar-benar tidak bisa membiarkan anak perempuan itu begitu terus-menerus. Amira bahkan menggumam agar yang sudah dikubur itu kembali dan mendekap anak perempuan yang sedang benar-benar tidak baik-baik saja itu.

“TEGA SEMUANYA NINGGALIN CACA, HAHHHHHH”

Raysa benar-benar berteriak kali ini. suaranya lebih keras daripada sebelumnya. Amira ikut berlutut di sebelah anaknya, mengambil bahu anaknya untuk dirangkul, untuk menguatkan Raysa. Namun tangisan Raysa semakin kencang.

“tenang nak… mama disini…”

“aaaaaaa… semuanya ninggalin aku…” kata Raysa yang kini mulai memeluk Amira dengan erat dan masih dengan tangisannya yang mengencang.

“mama disini nak… mama disini…”
 

---

 
Raysa menatap lekat pada figura foto besar yang ada di tengah rumah. Foto itu berisikan potret 1 keluarga yang terlihat utuh. Mamanya, papanya, kedua kakaknya, dirinya, dan satu adiknya. Mereka semua tersenyum lebar, benar-benar seperti keluarga bahagia. Ah, mungkin jika kalian melihatnya sendiri, kebahagian itu akan sampai terasa jika melihat foto itu saja.

Raysa melangkah maju, mengambil foto yang bingkainya kecil di lemari yang sengaja ada disitu untuk menyimpan bingkai-bingkai foto. Foto 2 anak kecil yang duduk dan sedang tersenyum dengan memperlihatkan giginya yang belum lengkap ke arah kamera, Raysa mengusap foto itu dengan hati-hati. Foto itu adalah foto yang sangat berharga bagi Raysa maupun Rasya sampai sekarang.

Air mata Raysa hampir keluar. Ya, Raysa tidak bisa menahan tangisnya. Mereka yang masih kecil itu, membuat Raysa ingin sekali kembali ke masa itu dan bersumpah tidak akan ingin kembali ke masa sekarang jika telah kembali menjadi muda itu. Dia akan menghentikan papanya yang mulai terbiasa menyiksa Rasya, dan foto itu tepat diambil sebelum setelahnya Rasya terkena tendangan di punggung bawahnya itu.

“hahhh…. Pengen balik biar semuanya ga gini…kali aja gue bisa perbaikin semuanya biar gabisa kayak gini… ya kan?”

Air matanya benar-benar mengalir deras sekarang. Lalu dia mengambil bingkai foto lain. Dimana dirinya dan Rasya menggunakan baju seragam TK lengkap dengan tas gendong mereka yang masih bergambar karakter kesukaan mereka. ah lucunya mereka saat itu.

“gue lucu banget disini, mas juga…” kata Raysa yang mengyunggingkan sedikit senyumnya.

Beralih ke bingkai foto lainnya. Dimana dirinya dengan kakaknya berpose menggunakan seragam sekolah dasar mereka. Raysa mengusap matanya yang basah dengan maksud agar lebih jelas melihat foto itu.

|1| My Precious Brother  •  Sunghoon ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang