BAB 09
Terpaksa warung harus tutup setelah Aminah mendapatkan pesanan makanan untuk hajatan di desa sebelah, pasar menjadi tujuan utamnya.
"Mau aku bantuin, neng." Goda Damar, lelaki itu cengegesan mengikuti seluruh pergerakan si wanita, jangan lupakan tas belanjaan dalam gengaman Damar, pagi hitam Damar sudah memaksa Aminah menerima bantuan si lelaki. Si kecil Didin juga mengikuti keduanya, tak mungkin Aminah menginggalkan Didin seorang diri sedang Rudi mengabrikan dirinya sebagai siswa sekolah dasar yang baik dan nurut.
"Masa apa, aku bantuin nyari deh, kurang nya banyak loh, ini semua." Tawar Damar tersenyum sumringah, Aminah mengigit bibir bawahnya –kalut—berlahan dirinya menganguk.
"Emang bisa nawar," lelaki itu mengangkat kedua tangan ala binaragawan. "Kamu itu jarang dipasar kan? Udah aku aja." Lanjut Aminah tak enak hati.
"Tenang aja, percaya dengan abang, kurangnya apa aja nih." Desak Damar meluluhkan Aminah.
Didin sedari tadi hanya mengekor memperhatikan kedua orang dewasa nampak saling tawar menawar atas bantuan tengah dilakukan, sejak kapan Om Damar memangil dirinya sendiri abang, mau jadi abang none, pekik si kecil dalam hati gemas.
Aminah akhirnya menyerah akan desakan Damar terus meneror, "Yang kurang itu, sayur kangkung, ikan gurami, sama semua bumbu ada di situ, sebagian aku aja." Damar menerima secarik kertas, membaca isinya lamat lamat, di susul anggukan darinya.
"Oke! Aku beliikan semua, dan untuk Didin biar ikut aku aja ..., me time antar lelaki," sorak Damar mengaitkan tangan munggil Didin.
"Din, kamu gak papa sama Om Damar?"
"Ngikut aja, yang penting nanti balik ke rumah bukan di pinggir jalan," balas Didin santai
"yaudah, neng Abang mau pergi dulu, ya."
"Kalu pergi ya pergi aja, gak usah jadi abang, kita gak lagi cosplay finalis jakarta," kelakar Aminah memperingati.
Abai akan penolakan halus tadi, Damar mengeret Didin ke sana kemari mirip topeng monyet.
"Din, ingusmu kok lucu, ada warnanya kuning."
"Masa sih om, biasanya Didin mainin kayak slime rasanya," timpal Didin. "Loh, kok lucu sih, malah kayak mainan dihasilkan oleh badan sendiri, ha ..ha ... ." balas Damar tanpa rasa jijik, panas menderai termasuk kedua lelaki berbeda umur, Damar dengan santai mengajak Didin duduk lesehan dengan semangkuk es podeng.
"Enak ngak Din, kalau panas gini emang makan es udah kayak di surga."
'Om, pernah mati."
"Belum, tapi kalau mau mati, iya Din," tukas Damar. "dulu jaman Om masih kecil sama bapaknya Om dibelikan es kelapa, kadang di ajak makan ubi bakar di kebun."
Lama menunggu jawaban Didin hanya fokus memakan hidangan, matanya memperhatikan raut gemas Om Damar.
"Kok Diem, gak pernah ngerasain ya, ihh ... seru tau," ungkap Damar sok pamer.
"Didin gak pernah di ajak Bapaknya Didin Om, Didin pusing kalau Bapak sama Ibu Didin ketemu, gak bisa tidur." Mulut Damar terkunci rapat, Damar memang baru kemarin tahu jika Didin untuk sementara menjadi anak angkat Aminah namun kini dia sadar Didin seperti bukan anak yang di harapkan.
"kalau gitu, nanti kamu ijin sama Ibu Aminah, entar Om ajak jalan – jalan keluar."
"Setuju," riang Didin tersenyum cerah.
Sosok perempuan cukup di hafal oleh keduanya datang beberapa kantung kresek berisikan belanjaan menyambar wajah Damar, hampir kena.
"Ngelamun bae, dari tadi dicariin malah santai disini," amuk Aminah, sedari tadi dirinya kebingungan mencari keduanya.
"Ya, maaf," kata Damar tak merasa berdosa, dirinya melirik ke Didin tengah terkikik geli.
"Pulang yuk, Didin kayaknyanya capek, sekalian makan siang bareng Rudi nanti." Aminah menganguk saja, enggan berdebat namun sekantung penuh belanjaan diberikan kepada Damar.
"Loh, ini kok—"
"Bawa aja, aku capek mana gak sempet makan es," sindir Aminah menggaet Didin berjalan beriringan.
Damar tersenyum cerah mengikuti keduanya, bergantian dirinya mengekor.
* * *
Damar tengah mengipasi tungku, sesekali meniup dengan corong bambu agar nyala api tak padam. Ekor matanya melirik Aminah tengah masak dengan kompor moderen dengan gas.
"Bantuin harus iklas, angan setengah – tengah, lagian sayang kalau tungkunya gak dipakai, biar cepet."
Berbagai umpatan ditahan Damar, "Untung aku cinta, kalau itu Mbakku sendiri udah aku gantiin sama piring cantik," gumam Damar meringis ngeri.
"Mau beli rinso ya? Pakek hadiah piring cantik." Aminah mendengar gerutuan dari lawan jenisnya, segera Damar malu malu kucing meniup kencang tungku perapian.
"Udah masak nih, rasanya enak."
"Kurang gurih ini, mah." Kekeh Damar.
"Mau emang yang makan mati keasinan."
Aminah mengambil sendok baru menjejalkan daripada mendengarkan komentar nyiyir.
"Nah, kalau gini enak."
"Ngomong aja, pengen di suapin, dasar bayi babon," Aminah tersenyum tipis memalingkan wajah, mereka begitu dekat.
Jantung Damar hampir copot mendengar suara kerasa dari arah luar, Rudi. Anak itu sudah pulang pakaian biru batiknya nampak kedodoran membalut tubuh ramping anak SD itu.
"Loh, ada Om brownis di sini." panggilan Rudi Khusus untuk Damar, tentu rambut kuning menyala kini menjadi ciri khas seorang Damar dimata Rudi, gaya nyentrik Damar kadang mencolok mata anak dibawah umur tersebut.
"Bukan Brownis ini,"
"Tapi ... ." tanya Damar menggantung.
"Jagung bakar," tawa Aminah pecah, ngeri juga melihat tampilan Damar berubah begitu ajaib.
"Ngak ada yang lebih bagus apa, kayaknya udah betul deh, Brownis. Brondong manis."
Ibu dan anak itu terdiam memandang Damar datar, sejak kapan dirinya nampak lebih muda selain kerutannya menambah.
"Bu, kayaknya kok mirip Ibu deh tingkahnya." Kata Rudi tiba – tiba.
"Emang sejak kapan ibu modelnya kayak gitu," balas Aminah berbisik tak terima.
"Itu, pas Ibu dapet foto artis korea, Ibu sampe naik ke meja sambil konser nyanyi lagu JKT45."
Kini Aminah balik di tertawakan Damar, tentu sembari di tunjuk oleh lelaki bermuka cemong mirip orang kebakaran, "Ternyata kamu kayak gitu di rumah, astaga aku ngak nyangka." Damar tertawa nyaring dengan memegangi perutnya terasa keram.
"Bisa diem ngak, sebelum nih centong mandiin kamu," titah Aminah segera, Rudi kini terkikik geli dipandangi tajam oleh sang Ibu, "Kamu ketawa, uang saku kamu dipotong." Rudi diam seketika membuat dapur menjadi hening seketika.
Damar suka meledek kakak iparnya dulu, ternyata perjuangan kakak ipar patut di acungi jempol kaki, mendapatkan cinta kakaknya yang abstrak mirip gambaran anak TK tapi bisa menerima sampe langeng.
"Ibu kita di suruh diem sampe kapan?"
"Sampe makanan jadi, kalian diem aja gini terus, kepalaku pusing." Aminah kembali meniriskan masakan mengabaikan keduanya tengah menjadi patung saling berpandangan.
"Kasian mereka, ini namanya kutukan Ibu." Itu suara Didin tengah mengintip prilaku tak dewasa dari orang lebih dewasa darinya
KAMU SEDANG MEMBACA
Aminin Aminah Nikah
HumorMenjadi emak-emak harus pakek daster serta berperilaku kalem? tentu hal itu tak berlaku pada Aminah, janda dengan satu anak. Bagaimana tidak, sebagai ibu modern walaupun janda dia tetap mengikuti perkembangan zaman bahkan sosok idolanya bukanlah ped...