Pengertian

14 3 5
                                    

BAB 16

Bola mengelinding begitu lincah tendangan melambung tinggi memasuki gawang, sorak sorai bergema menyoraki tim dinaungi Rudi, Didin ikut berdiri menyoraki sang kakak.

"Bagus gak Om," pamer Rudi menghampiri Radit, Radin mencebik.

"Iya bagus, mainnya udah kan, kita mampir ke tempat makan yuk, kalian pasti lapar."

"Wih makan gratis."

"Kata siapa gratis, Om Damar yang harus bayar ini semua ha ... ha ... ." Tawa Radit bak tokoh antagonis di sinetron azab.

"Itu kesurupan mak lampir." Didin menyengol Rudi, "Bukan, mana mau setan masuk ke badan situ, nanti kena panuan yang ada." Rudi melirik pergelangan kaki terdapat bercak putih polkadot aestetik.

"Ayo! Sekarang kita berburu makanan," teriak Radit mengandeng kakak beradik kini berwajah tulalit.

Dertan jalan penuh ruko sederhana nampak menghiasi pandangan mereka, kini Radit –sosok ditugaskan menjaga dua bocil—mengajak sejenak beristirahat di rumah makan bakso, duduk nyaman sembari lesehan, Radit tak terlalu bingung memilih menu kesukaannya.

"Mas, biasa, Bakso urat gajah merapai."

"Siap mas! Level nol, kan." Radit mematuk.

"Apa ada bakso gajah nge-trill nga, mas?" si pelayan pria itu menganga sembari berfikir.

"Emang ada menu kayak gitu."

"Om aja ada menunya gajah merapi masa gajah nge-trill gak ada, diskriminanasi."

"Dis-kri-mi-na-si," pinta Radit untuk di ulang. "Mimanasi," seloroh Didin tetap pada pendiriannya, salah.

"Kalau ngak ada yang Didin minta, ini deh mas yang paling gampang. Sup buntut gajah, terus gajahnya yang langsing," sahut Rudi menjelaskan.

Mas-mas pelayan mengaruk kepalanya mirip bolam lampu taman, keluarga macam apa ini.

"Yaudah gini aja, kita pesen bakso normal aja mas, yang bisa dimakan minumnya, kalian minum apa?" tawar Radit.

"Air putih pakek batu ice yang ada rasa jeruknya satu."

"Didin minumnya sama air yang dikasih teh nya satu, pake batu dingin."

Pelayan pria itu mematung sejenak pandnagannya mengarak ke atas membuat ekspresi berfikir, "Bakso bisa dimakan, iya itu normal, air putih di kasih jeruk sama air di kasih teh sama batu dingin, itu mah es jeruk sama es teh, bapak... ." pelayan itu merasakan ingin salto sambil makan beling saja.

"Biar kayak Jakput."

"Jaksel, bocah."

"Kalau Jakput itu initi segala inti," jelas Radit antusias.

Pelayan itu berjalan cepat bergegas pergi menghindari kumpulan sekte sesat seperti pelangannya kali ini, mungkin dia memilih keluar dari sana segera kalau berlama lama bisa menjadi pasien RSJ.

Hidangan bakso masih mengepulkan asap namak mengoda tak lagi memikirkan bau badan sudah asam terkena sengatan mentari, wajah bahagia kepala bergoyang mirip tele tubis menjelaskan mereka tak salah memilih tempat untuk sekedar mengisi tenaga.

"Om, enak."

"Iya enak, gratisan." Sangah Rudi menambahi.

"Dasar bocah, manis benar bibir kalian kalau ngomong," sahut Radit masih mengunyah bola daging.

Didin mangut-mangut menikmati bakso hangatnya, saos melumer menambah rasa nikmat dikala kelaparan.

Daging berbentuk bulat di kunyah begitu lama, ujung lidah dapat berasakan gurih msg-nya serta kuah ringan mengalir ke tengorokan.

"Rud, Din. Kalau umpanya Ibu kalian nikah lagi, apa kalian boleh?" Radit melempar pertanyaan, mumpung dirinya mempunyai waktu bersama anak dari Aminah.

"Boleh, asal Ibu bahagia." Jawa lugas Rudi, Radit diam mencari kebohongan dibalik jernih anak itu, karena mereka tau dirinya teman dari Damar dia tak mau membuat anak-anak menjadi sungkan ataupun engan bicara jujur, tersirat kini jawaban Rudi jujur.

Suara indra pengejap tengah mengoyak bertabrakan dengan gigi menjadi sumber suara setelahnya, Radit menimang pertanyaan lainnya begitu menganjal pikirannya, untuk Damar. Pikir Radit ingin melakukan pertannyaan pedekatan tentang lelaki bersetatus sobat karibnya.

"Kalau boleh tau, siapa aja yang deketin Ibu kalian sekarang," lempar Radit nampak abai padahal dirinya begitu penasaran. "Kalau sekarang kayaknya cuman Om Damar, iya ngak kak?" Didin melempar opininya pada Rudi, Rudi mengerakan matanya liar memikirkan orang selama ini berusaha mendekati sosok Ibunya nampak awet muda.

"Kalau sekarang yang belum nyerah cuman Om Damar, sih. Om." Kata Rudi memangku dagu.

"Lalu menurut kalian pertama kali bertemu Om Damar, bagaimana menurut kalian." Radit melirik sekilas wajah keduanya nampak anteng.

"Baik, cuman agak aneh, meneurutmu bagaimana, Din." Radit melemparkan pertannyaan untuk Didin berpendapat.

"Gembel." Jawabnya santai, Radit sampai tersedak, kaget. "abis, datang ke rumah rambutnya kuning aku kira dateng ke rumah mau minta-minta, terus besoknya pake baju nyolok mata." Imbuhnya menjelaskan

Radit mengakui dirinya setuju dan sependapat dengan si bungsu, Damar mirip gembel gagal audisi jaid TNI."

"Tapi, eumh. Om Damar baik, terus ngajak main," sorak Didin mengingat kedekatan mereka belakangan ini.

"Kalau kamu Rud, misal Ibu kamu nikah sama Om Damar kamu iklas?"

"Kalau Rudi, setuju kayaknya," gamang Rudi nampak tak pasti. Didin dengan suara cemprengnya membuat protes, menarik atensi lebih dewasa.

"Didin, gak mau kalau nanti Ibu nikah sama Om Damar." Protes si kecil.

"Loh, kenapa."

"Nanti takut di tinggal pergi, bapak Didin dulu begitu." Jawab Didin polos, baksonya terlitat tak mengoda lagi dimata si kecil

"Din—" wajah Rudi memerah, dirinya ingin memprotes ke-egoisan Didin, ingin mulut melontarkan betapa egois anak itu, kalimat kekesalah seperti 'dia bukan Ibu kandungmu bisa kamu protes' terasa ingin terlontar.

"Biar, Om aja." Potong Radit melerai perkelahian kecil antar bocah ngambek itu.

"Didin, Didin boleh Om tanya, jawab yang jujur ya, Didin sayang ngak sama Om Damar, apa selama ini Om Damar nyakitin Didin."

Didin termangu helaian poninya hampir menutupi alis mata.

Berlahan Didin menggeleng pelan, mengoyangkan rambutnya lucu.

"Nah, umpanya Om Damar ilang tiba-tiba, apa Didin ngak kangen sama Om Damar?"

"Eum, kangen." Jawabnya bingung.

"Berarti Om Damar orang baik, Om ini temannya Om Damar, tapi Om beda sama Om Damar beda dari fisik, keperibadian, bentuk, terus masa Om Damar mau di samain sama Bapaknya Didin. Kak Rudi sama Didin beda tapi pasti ada kelebihan Didin sama kak Rudi yang beda." Radit menjelasakan berlahan dengan cara paling mudah di telaah anak kecil membuat berbandingan dengan sekitar lebih mudah di fahami si bungsu keluarga Aminah.

Didin mendongak melihat wajah ramah pria berkulit bersih ini, memandnag lekat wajah Rudi sesaat. "Kalau begitu Ibu boleh nikah, deh."

Radit menghela nafas, lega. Tak lekat dirinya membayangkan apa yang bisa terlontar dari Rudi jika emosinya tadi meluap, sebagai orang dewasa dia faham anak kecil kadang tak punya kontrol emosi untuk mengunakan kalimat baik nan manis seperti orang dewasa yang menjilat atasan, apalagi ini berhubungan dengan orang tua, pasti ucapan menyakitan dari Rudi bisa terlontar untuk sosok anak kecil sekalipun, kalau di lihat dari kilatan matanya.

"Nah, mulai sekarang kalian coba terima Om Damar jadi Bapak ... Ayah, kali ya." Monolognya. "jadi coba deh kalian anggap Om Damar ayah kalian, kalau dia baik buat Ibu kalian." Ajak Radit mendapat kedipan polos dari kedua bocah sebelahnya kini.

Setidaknya Radit pikir ini bantuan 'kecil' bisa dia berikan, memberi pengertian jikalau kedua orang berbeda kelamin bisa jatuh cinta sewaktu-waktu, dan anaknya harus saling menerima satu sama lain.


Aminin Aminah NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang