BAB 30
"Kau tak apa-apa, Din. Ibu cariin," panik Aminah memeluk Didin, Damar dan Aminah tak menyadari tatapan sinis dari sosok wanita kini berdiri dekar Didin.
"Makasih, ya mbak, udah nemuin Didin," ucap Damar yang pertama kali menyadari perempuan cantik dengan baju terusan krem berdiri jenjang dengan high heels, cantik.
Didin terus merengek meminta gendong Aminah, "Makasih ya, Mbak udah nemuin anak saya." Tukas Aminah menyadari sosok cantik itu.
"Didin, itu anakku." Kata Putri singkat.
"Apa maksut Anda?" Aminah menahan geramannya, dia tak suka putranya diaku oleh orang lain, walaupun Didin memang bukan anak kandungnya.
"Aku, Putri, Ibu dari Didin, aku sudha mencarinya kemana-mana—"
"Setelah Anda membuangnya!" potong Aminah, Damar segera menengahi pertengkaran tersebut, "Kita bicara baik-baik dulu ya, kita gak bisa pisahin anak dengan Ibunya." Tukas Damar mengajak kedua wanita itu berbicara santai di salah satu spot tempat duduk.
"Jadi Anda bisa jelasakan sesuatu," kata Aminah menjadi lebih formal.
Didin nampak diam membisu dalam gendongan Damar, dia tak inggin mengangkat wajahya.
"Aku memiliki Didin itu sangat muda, dan aku terlalu mencintai fisik dari suamiku, ayah dari Didin, tapi kehidupan kami sama sekali tak bagus, suamiku pemalas sedang aku yang putus sekolah serta punya Didin masih kecil sama sekali tak punya akses yang mudah untuk bekerja, kalau pun bekerja itu hanya serabutan," katanya, "Kini aku punya calon suami, dia cukup berada, setelah ini aku bisa menghidupi Didin, aku yakin, tolong kembalikan Didin padaku." Jelasnya memohon.
Aminah segera menolak dengan tegas, "Aku tak bisa menyerahkan dia pada seorang ibu yang sudah membuangnya dan bergantung pada laki-laki, kau harus bisa bertangung jawab akan dirimu sendiri," cetus Aminah menahan kesal.
"Kenapa kita tak tanya anaknya sendiri dia mau dengan siapa, aku pikir kau juga belum bisa bertangung jawab atas anakmu sendiri dan dirimu," poton Damar mencoba melerai emosi keduanya.
"Din, Didin mau sama siapa?"
"Pengen sama Ibu, tapi Didin sayang Ibu Aminah, Didin sayang... ." tangisnya pecah kembali memeluk leher Damar erat.
"Din, tapi aku Ibumu," putus Putri lemah.
"Begini saja, bagaimana kalau kami tetap merawat Didin, dan kau bisa mengunjunginya jika perlu, jangan melupakan jika anakmu kecewa akan tindakanmu."
Putri, Ibu muda itu menganguk lemah, ucapan Damar memang ada benarnya, dia memang terlalu muda untuk menjdai orang tua yang bertangung jawab, apalagi dia baru saja mendapatkan calon suami loebih baik dari pada mantan suaminya yang kini entah kemana.
"Terimakasih kalau begitu, aku juga akan terus meminta maaf dengan Didin atas perlakuanku padanya, terimakasih sudah mau menampung Didin selama ini, maafkan Ibu ya nak." Putri mengelus pucuk kepala sang putra, Aminah dengan kesal akhirnya memberikan alamat rumahnya setelah Damar mengkode untuk memberikan alamat kediamannya, setidaknya itu saja yang bisa mereka perbuat kali ini.
Apa yang ditakutkan Aminah nyaris kejadian, Ibunya datang untuk mengambil Didin bersukur Didin tetap memilih dirinya dari pada Ibunya, tapi secuuli rasa bersalah telah mengambil kasih sayang anak dari orang tuanya membuat Aminah tak tenang namun juga rasa kesal akan tindakan Putri yang gegabah juga membuatnya ingin emosi.
Hari itu mereka memutuskan segera pulang setelah makan di salah satu restoran, tentu dengan Rudi yang telah di jemput orang tuanya dari ruang informasi.
Kini keluarga kecil itu tengah makan di sebuah makan fast food
Rudi sedari tadi diam hanya celingukan, suasana biasanya hangat kini terdiam sejak Om Damar serta Ibunya tak begitu banyak membuka percakapan, Didin juga hanya terdiam tak biasanya dia tak begitu membuat heboh meja makan, terlihat lesu.
"Din, kau kenapa, tumben." Beberapa kata henya bisa terucap lirih di semping telinga Didin kini, Didin mengeleng lemah tak berniat menjawab.
"Bu, kenapa ini Didin?"
"Dia kecapekan, kan habis ilang, shock mungkin." Ujar Aminah mengelak untuk memberitahukan prihal sebenarnya juga, tak begitu tega mengungkit perasaan didin yang begitu campur aduk.
Rudi hanya menganguk lemah, dia tiba-tiba menjadi tak nafsu melihat ayam gorengnya seolah tak begitu nikmat lagi.
Damar kini berbicara pada Rudi, "Udah jangan dipikirin, Didin sama Ibu kamu capek kali, liat muka mereka letoy maklum orang tua sama anak kecil," hibur Damar sedikit meledek dua manusia di sana, "Didin ngak letoy." Balas Didin tak terima, Damar tersenyum mendengar bantahan dari bocah lucu itu.
"Ihh, masaaa, ngak percaya tuh, Rud. Beli coca cola, Didin ngak usah di bagi," ajak Damar mendapat pelototan mata lucu dari si kecil, "Iya sekalian gak usah di ajak lai, orang dianya gampang lemes." Imbuh Rudi menambahi.
"Ihh, ngak kok, Didin ngak capek." Elak si kecil nampaknya dia sudah bisa melupakan kejadian tadi, Aminah ikut terhibur kini.
Waktu sudah menjelang sore setelah sekkian jam dari pagi mereka menikmati wahana, kalau bisa sampai puas itu pikir Damar jika bukan karena kejadian kecil –pertemuan dengan Putri.
Damar kembali ke kediaman Aminah setelah dia pulang sekedar berganti baju dan istirahas sejenak, memastikan keluarga kecil itu untuk sekarang.
"Anak-anak gimana," Damar menyapa setelah Aminah datang membawa seangkir teh hangat untuk suguhan.
"Mereka langsung tidur karena kelelahan,"
"Didin?"
"Kayaknya dia udah lupa soal tadi, jadi aku ngak mau bahas juga, makasih untuk hari ini."
"Min, ayok nikah, aku udah siapin semuannya buat kita, buat anak-anak." Damar kini beruap dengan wibawa, Aminah terhenyak, "kamu beneran yakin."
"Kalau ngak yakin kenapa aku bisa serius sama kamu, aku seriusan." Tegasnya lagi, "Aku akan pastikan jaga kamu sama anak-anak, buat Didin juga." Jelasnya menambahi mentap lurus ke Aminah.
Ibu dua anak itu terdiam sejenak sebelum berkata dengan halus untuk mengiyakan ajakan lelaki bujang tersebut, "Aku mau, aku mau kau jadi Imamku." Jawabnya pasti.
"Ma-makasih, makasih banget Min." Haru Damar mulai berkaca-kaca, akhirnya dia bisa meminang sang pujaan hatinya.
"Tapi apa kamu ngak keberatan, dengan anak-anakku, aku memang mulai cinta sama kamu, tapi ..., aku tetap sayang sama anak-anakku, kamu tetap mau jadi imamku kan?"
Damar menganguk kuat, "Aku sayang sama kamu satu paket dengan anak-anakmu, aku satu paket nerima kamu, dari dulu sampe sekarang." Pukas Damar.
Aminah menghela nafas lega, dia berterimakasih dengan Tuhan yang sudah membuat Damar tetap menyukainya dari dulu hingga sekarang Tuhan yang sudah membuat hati Damar menetap dengannya.
Malam di iring bunyi jangkrik serta gesekan daun menjadi bunyi merdu kali ini.
"Dam, makasih." Makasih udah tetap menjadi Damar yang aku suka.
"Eh, Dam. Ngomong-ngomong kamu hari ini ngapai pake baju ini," Aminah baru menyadari Damar datang dengan kupluk biru tua dengan pakaian kaus di dalam kemeja tak terkancing.
"Ini, aku mau jadi pelayannya di Itaewonclass."
"Kenapa gak ada yang lain agak ganteng."
"Muka ku standart, jadi cari aja model pemain figuran."
Kini keduanya berdebat masalah fashion antar pemain drama serta make up-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aminin Aminah Nikah
HumorMenjadi emak-emak harus pakek daster serta berperilaku kalem? tentu hal itu tak berlaku pada Aminah, janda dengan satu anak. Bagaimana tidak, sebagai ibu modern walaupun janda dia tetap mengikuti perkembangan zaman bahkan sosok idolanya bukanlah ped...