kecewa

16 4 0
                                    


BAB 22

Aminah belum ingin memejamkan mata, matannya masih mengawang obrolan ringannya barusan dengan para anak-anaknya, wajah begitu kecewa tak mendapat kunjungan dari Damar seolah membuat mereka merindu, Aminah langsung berjingkat dari acara rebahannya mendumel kesal.

"Kenapa aku mirip istri sirih gini, gak dapet jatah kunjungan." Aminah melipat kedua tanggannya di depan dada, mengusak helaian halusnya menjadi cukup berantakan.

"Kayaknya kurang minum, jadi cairan dalam otak tersendat, makannya aku halusinasi mikir yang iya-iya." Aminah terus mengerutu hingga benar-benar merasa lelah, dia memilih bangkit menuju dapur sebelum tungkai kakinya sampai ke ruang belakang pintu kamar di huni Rudi serta Didin terpancar cahaya dari dalam, ia berinisiatif menutup pintu.

Aminah mengulum senyum tak tertahankan, kedua anaknya nampak rukun, Rudi nampak kompak menulis sesuatu di atas potongan kertas entah apa itu –Aminah tak ingin mengangu kegiatan keduannya di sana—memilih pergi meninggalkan menuju dapur daripada dirinya malah mengangu suasana kedekatan antara mereka.

* * *

Jumat sore warung Aminah tutup lebih awal dari pada biasanya maklum dia ada jadwal khusu, senam zumba, lama tidak mengikuti kegiatan tersebut karena kesibukan membuat Aminah menjadi begitu rindu mengoyangkan tubuhnya sesuai irama musik.

Celana legging abu-abu dengan garis putih, kaus lengan panjang berwarna hitam bertulisan I'm woman, nampak begitu sederhana namun pas dengan topi pitam menjadi pemanis gayanya sekedar untuk menghalau helainnya berjatuhan saat dia bergerak.

Ruanggan bernuansa coklat ber-marmer-kan kepingan kotak berwarna krem serta putih membuatnya nampak seperti papan catur dengan warna berbeda, atau mungkin dulu saat membuatnya kekurangan kramik atau dana, entahlah.

Aminah memilih sudut ruangan meletakan tas berisikan tempat minum serta handuk, sekedar untuk melepas penat dan mengelap kringat.

Pemanasan seorang diri Aminah lakukan membuat tubuhnya agak lentur tak sekaku pertama kali dia mencoba.

"Loh, Min. Udah datang dulu," sapa seseorang baru masuk, rambut bob nya mengembang tingginya hanya 150 cm, lebih pendek dari Aminah, Ayu.

"Iya nih, lama ngak ke sini rasanya capek aja, pengen gerak lagi." Timpal Aminah menjawab, dia tak begitu dekat dengan Ayu, mereka beda desa hanya sesekali bertemu jika keduanya latihan bersama.

Deritan pintu selanjutnya memecah kedua atensi perempuan dewasa di sana, sosok ayu di usianya sekarang Bu Tarno muncul dengan pakaian legging warna kuning di balut atasan juga kuning, rambut di kuncir dua di pasakangan ikat kepala warna hitam, Aminah menjadi teringat filem Bruce Lee, sang legenda laga china.

Terbesit pikiran di benak Aminah untuk menanyai kabar tentang adiknya—Damar— kepada Bu Tarno, tangan aminah terulur suaranya ingin mengaung menyapa perempuan itu, sebelum suara lainnya mendahuli niatan Aminah.

"Wah, cantik banget Bu Tar, rahasianya apa, bisa cerah secerah mentari." Gombal Ayu mendekatui Bu Tarno, Aminah dalam hati mensetuju dengan berbagai gaya anti maistream bisa membuat kecantikannya tak pudar, membayangkan dirinya bergaya kuning dari atas hingga bawah bak pisang berjalan mungkin lebih mirip maskot pisang goreng.

Bu Tarno tertawa ceria, "Iya hari ini harus ceria dong, bestie. Kuning tandanya semangat dan keceriaan," jelasnya memutarkan badan memperlihatkan setelannya kini tengah dikenakan.

Aminah harus menelan bulat-bulat pertanyaanya begitu menumpuk untuk dimuntahkan segera sekedar bertukar kata dengan Bu Tarno, sedikit info menghilanya Damar dapat terpecahkan kalau kalian bertanya di mana fungsi fiture telepone maka jawabannya Aminah terlalu gengsi bertukar kabar semua pesan nampak seperti satu pihak dan itu semua Damar yang melakukannya percakapan di dominasi pertannyaan tentang anak-anak tentu menjadi aneh jika Aminah mendahului percakapan membahas anaknya kepada lelaki itu, dia merasa tak becus jika harus meminta tolong kepada Damar.

Tanpa Aminah sadari tingkahnya memilih bersingkut menghindar dari obrolan heboh kedua Ibu-ibu di sana, mata jeli Bu Tarno mengamati kegelisahan tercetak dari raut Aminah, seulas senyum simpul tergambar sekilas.

Satu persatu para kawanan Ibu-ibu berbadan kerempeng hingga tambun mulai memasuki ruangan serta saling sapa satu sama lainnya, sosok perempuan bertubuh tinggi dengan lengan kekar di balut bra sport merah akhirnya membuat para kawanan Ibu-ibu tadi berjejer rapih,

panggil saja Iis—sang instruktur senam—Iis juga memiliki tubuh kekar nampak kuat bukan hanya sebagai pelatih senam zumba dia juga mengambil sambilan sebagai kuli panggul di pasar walaupun dia memiliki toko beras tersohor sebagai juragan, katanya biar tiap hari latihan dari pada keluar uang buat nge-gym.

Lagu barat yang dikenal sebagai lagu Justin Biber mengaung memenuhi tiap sudut ruangan tertutup di sana, gerakan mirip tarian reok di campur gerakan penari jawa dengan ritme tempo cepat tengah di contohkan Iis kepada para anggotanya, walaupun sama sekali tak singkron mereka memilih mengikuti saja selama bukan ikut sekte sesat, toh melastarikan kebudayaan katanya—walaupun musiknya barat.

Bak bermandikan kringat gerakan aneh milik Bu Iis cukup efesien membuat para Ibu-ibu bercucuran kringat hingga berhasil menurunkan berat badan, satu persatu semuannya saling berpamitan ketika jam bergulir menuju jam 6 sore, waktunya pulang ke rumah masing-masing begitupun dengan Aminah, segala benda sudah ia rapihkan dalam tas kecilnya berniat untuk menyapa Bu Tarno selagi sempat.

"Bu." Panggil Aminah mendekati perempuan mirip pisang itu, menyapanya dengan sopan.

"..."

"Anu, saya, mau nanya, soal—"

"Ada apa, Min. Kangen ya saam adekku," ucap Bu Tarno tepat sasaran, Aminah cukup kaget serta malu dia langsung di tembak pertanyaan seperti itu.

"Aduh bukan-bukan," sangkal Aminah menutupi wajahnya, bersukur rona akibat kelelahan masih ada hingga dia tak akan begitu malu, "Saya cuman mau nyapa, saya permisi dulu ya." Lanjutnya memilih ngacir dari sana begitu cepat.

"Padahal aku belum cerita loh, udah pergi aja. Aduh, memang mau muda mau tua kalau dia udah kenal jatuh cinta agak malu-maluin kayak ABG," kekeh Bu Tarno melihat pintu sepeningal Aminah.

Aminah mulai melambatkan tungkai kakinya setelah merasa cukup jauh dari tempat Bu Tarno, mengambil sepedah ontel kesayangannya untuk mengambil jalur pulang.

"Padahal cuman nanya 'Keadaannya Damar gimana, apa dia sakit' gitu aja kok ngak bisa sih, ayolah, Min. Cuman nanya bukan mau ngambil uang rakyat kenapa tremor," kesalnya pada dirinya sendiri, pertannyaan sederhana begitu sulit keluar dari mulutnya makin membuat dia kesal.

Aminah memberhentikan rodanya ketika sudah sampai ke tujuan—Rumah sederhana dengan nuansa biru—ia ceilingukan mencari kedua bocah kesayangannya.

"Loh, kalian belum makan," heran Aminah mendapati masakannya masih utuh, dia memang selalu menyediakan masakan dalam kulkas untuk dipanaskan dan lebih mudah jika memang sedang keroncongan.

"Nunguin Ibu," Kata Didin mulai mengambil nasi serta lauk mulai dingin.

Rudi cekatan mengambilkan makanan serta lauk dalam piring Ibunya, Aminah tersenyum bangga kepada keduannya.

"Padahal ngak ada yang ngelarang, kenapa harus nungguin Ibu."

"Kalau ngak nunguin, semua makanan bakal di makan sama Didin, nanti Ibu ngak kebagian kan ribet harus masak lagi." Pujian serta perasaan haru tiba-tiba menguap, dia pikir anaknya begitu inggin makan bersama dirinya ternyata alasan di balik itu ada Didin si tukang makan akan menghabiskan makanan di atas meja.

"Kalau begitu besok Ibu bakal ngambil jatah makan Ibu biar kalain bisa makan tanpa mikir lagi," jawab Aminah sedikit lesu.

"Yeeee!" sorak Didin antusias, "Didin jadi bisa langsung makan," katanya enteng, Rudi langsung menyengol si adik segera, "Bikin orang gak jadi terharu aja," Rudi berujar lirih membuat Didin bungkam memilih diam untuk memulai acara menyantap kangkungnya.

Aminin Aminah NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang