persamaan

15 3 4
                                    

BAB 20

Dadanya naik turun mencari pasokan udara, tawa riang menguar menjadi komponen suara ber-ritme menyenangkan, permainan dengan banyak pilihan; basket ball, ride car. Bahkan permainan baru Damar lihat seperti game mengunakan teklonologi visual baru Damar temui, belum semua mereka coba satu persatu permaianan lelah sudah menjemput tubuh letih mereka.

'kruyuk . . .'

Tatapan Damar bertabrakan menatap manik Rudi, suara perut berasal dari Didin, terlihat kini ia mencoba menarik ingusnya kembali kebatang hidung.

Tawa mengelegar langsung membuat Didin merengut kesal –perutnya tak salah, hanya lapar meminta untuk di isi.

Macdonal menjadi pilihan Damar mengajak mereka ke sana, tersedia paket makanan kids membuat dua bocah kakak beradik terlihat riang.

Didin terlihat posesif pada menu baru di rasakan mereka, enak. Kunyahan berukuran besar membuat pipi Didin kian bulat mirip anppanman –tokoh kartun jepang dengan betuk bulat—menjadikan kadar imut Didin ingin di culik tante-tante.

"Hey, Din. Makannya pelan-pelan aja gak akan ada yang mencuri dari kamu, kamu juga Rud kalau kalian masih lapar boleh kok nambah lagi," Damar mempringati keduanya agar makan dengan tenang dan santai.

"Yang bener/ Beneran Om!" seru mereka kompak antusias, hampir terjingkat dari bangku memeluk Damar sebelum pria itu memberi gesture untuk tak terlalu heboh.

"Iya, apa Om kayak pembohong."

"Gak kok, cuman gak percaya aja," canda Rudi mulai mencomot nuget berbentuk lucu.

"Memang kalian kalau makan kekenyangan gak sayang masakan Ibu kalian di rumah?"

Didin serta Rudi saling berpandangan menyalurkan perasaan mereka rasakan.

"Masakan Ibu kadang aneh, makannya aku gak suka Om, baru lumayan enak pas ada Didin Ibu gak ber-eksperimen aneh-aneh lagi belakangan," kata Rudi.

Damar memiringkan kepalanya agak kurang paham, "Selama ini masakan Ibu kalian enak-enak aja, malahan sering'kan diminta jasa catring-nya terus warung Ibu kalian lebih sering rame dari pada sepi," terang Damar mengingat dirinya pernah kehabisan tempat duduk atau kehabisan lauk jika tak datang di waktu sepi –yaitu pagi buta ataupun saat mulai sore.

"Iya kalau buat dagangan, tapi kalau buat makanan di rumah masakan Ibu kadang aneh-aneh—"

"Cumi rebus, lele kecap asin, ketan di campur sirup atau kacang merah dikasih gula jawa sama susu kental manis," potong Didin menambahi info dari Kakaknya.

Damar langsung bergidig geli menahan bulu lebat di kakinya untuk berdiri, tak pernah dibayangkan betapa manis dan betapa mengelikan masakan lainnya, kalau dia jadi kepala rumah tangga apa akan di maskan ungkep ikan paus.

"Yang benar," suaranya agak sangsi membayangkan kalau itu benar di makan anak-anak itu, bisa jadi malah bahaya.

"Oh, aman sih Om, cuman kalau paling buruk aku bakal mules-mules waktu makan tinta cumi campur labu kukus, Didin pernah makan presto tulang dijadikan sop sama Ibu besoknya demam jadi udah ngak bikin eksperimen se-sering dulu."

Damar meraih tangan kiri milik Rudi serta Didin, matanya berkaca-kaca penuh haru suaranya menjadi rendah lalu berkata, "Terimakasih udah hidup, maksih masih di sini." tuturnya sembari menagis bombay suara Damar cukup berat untuk ukuran lelaki kini menangis dihadapan anak kecil menjadi sebuah tontonan diantara pengunjung lainnya, apakah hari pria itu cukup sulii atau dia baru bercerai serta akan pisah dari anaknya maknnya dia, asumsi random dari para orang anonim.

Benak Damar sendiri kini membayangkan betapa ngerinya masakan aneh tak biasa dari Aminah, terbesit perasaan negatif jika warung Aminah laris setelah 'menumbalkan' anaknya.

"Ibu masak aneh buat keluarganya karena emang nge-fans berat sama masakan korea tapi Ibu pengen buat fusion ada culture Indonesianya," ucap Rudi menarik tangannya segera dari gengaman Damar, "Om jangan mikir aneh-aneh." Imbuhnya memicingkan mata.

"Ngak, mana ada Om mikir aneh-aneh," elak Damar, dirinya bersingkut mundur menahan rona merah mulai membakar kulit wajahnya. Berfikir apakah begitu mudahnya isi otaknya terbaca.

"Tenang, aku gak bisa baca pikiran, kok."

Nah, Loh. Terus ini apa, mau jadi Tanos?

"Aku bilang gini karena keseringan dikira Ibuku pemuja setan atau penglarisan, temenku makan masakaan eksperimen Ibuku besoknya Opname," jelasnya, Rudi membayangkan kedua temannya nampak unik harus menerima imbasnya.

Damar mantuk-mantuk, mengelus dagunya, merasa kulitnya terasa tak mulus dia baru menyadari sesuatu, "Asataga brewokku udah tumbuh, besok bakal aku pangkas lagi kalau begini."

Didin begitu penasaran dengan stedmend dibuat Damar memanyunkan bibir, mulutnya masih penuh berusaha berbicara pada yang lebih tua, "Me-mang apha yang mau di potongh, Ohm." Celoter Didin menarik atensi Damar, "Ini, brewok Om, udah tumbuh."

"Bukannya lebih maskulin kalau ada brewoknya ya? Bapaknya temen aku malah sering pesen obat penumbuh rambut biar brewokan, bukannya brewokan malah dia botak sering mikir duitnya habis buat beli begituan gak ada yang numbuh-numbuh."

"Memang Ibu kalian suka sama Om yang brewokan, kan, kesannya malah kotor," Damar tersipu malu, namun sedikit membuat jelas kalau dia memang mau mengajukan diri menjadi ayah dari keduanya.

"Kalau itu sesuai selera aja, Ibu kan suka sama yang gak brewokan karena cowok korea bukan sama manusia disekitarnya." Pikir Rudi membayangkan detail tentang Ibunya.

"Memang Om betah pengen jadi Mas-mas korea terus," cecar Rudi.

"Om kan lagi berusaha buat dapetin hati Ibu kalian, biar agak trendy juga gak kalah sama Ibu kalian masih awet muda tapi keliatan seger."

"Ibu sebenernya suka Idol korea karena kata Ibu mirip Bapak, katanya ada aktor tinggi mulus bersih mirip bapak makannya Ibu suka banget sama cowok kayak begitu."

"Ibumu belum bisa Move on berarti?" harap Damar jika barusan hanya asumsi pribadi.

"Ibu masih sayang Bapak, sering banget ke makamnya Bapak kalau sengang, Ibu bilang kalau Bapak persis sama aktor korea."

"Oh." Damar bersukur mereka masih duduk, kakiknya terasa lemas. Damar mangut-mangut pelan, jadi dirinya tengah berusaha menjadi 'mantan' suami Aminah. Senyumnya menjadi miris.

"Sekarang kayaknya udah gak lagi tuh, Ibu gak terlalu 'gila' sama korea sama oppa-nya, terus Ibu juga udah gak sering ke makam Bapak, kalaupun Om brewokan Ibu bakal tetep suka, karena itu Om, bukan karena Om jadi oppa-oppa koriyah." Cetusnya lebih dewasa kini, meminum jus jeruk memandang Damar santai tanpa inggin lelaki itu merasa berhutang budi atas penjelasan barusan, angap saja Rudi baru memberikan clue agar damar mendekati Ibunya sebagai 'dirinya'.

"Jadi apa ada kesempatan buat Om, tanpa dandan mirip aktor kor—"

"Ribet, kalau Om dandan gini keliatan lebih ganteng ya udah gini aja, tapi jangan berubah." Ucapan simpel dari Didin yang nampak memilih asik –ayo ngemil terus—mencubit perasaan Damar, mungkin dirinya mulai sekarang harus lebih merapikan diri bukan buat Aminah tapi buat dirinya sendiri, begitu batin Damar memikirkannya.

"Ya sudah, kita bungkus makananya kita langsung pulang setelah ini." Ajak Damar menghabiskan minum Ice tea tegukan terakhirnya, Didin mendengar itu mengangkat tangannya senang tentu saja.


Aminin Aminah NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang