18. Kebenaran Menurut Persepsi Tuhan

25 2 0
                                    

"Kamu sendirian aja di sini, emak kamu mana?" tanya lelaki berserban putih itu.

"Hmmm ... enggak tahu, Pak Ustaz. Sepertinya tadi pergi menuju koridor, barangkali kembali menemui ayah di ruangan." Bersama senyum simpul, remaja itu sangat senang berbincang pada lelaki yang baru ia kenal.

Sejenak percakapan mereka pun hening, suara kipas angin dan jarum jam terdengar seakan memecah keheningan suasana subuh di musala RS. Umum. Sedari tadi, lelaki yang mengenakan serban itu menatap Rudi secara saksama, akan tetapi enggan melanjutkan ucapannya.

Karena merasa ingin bertanya, remaja yang mengenakan celana jins itu memulai percakapan pertama kali. "Ustaz. Apakah saya boleh bertanya sedikit."

"Oh, boleh. Silakan saja, kamu mau bertanya apa?" tanya si ustaz.

"Apakah semua menurud Ustaz salah, jika kita memaksa orangtua untuk membiayai pendidikan lebih tinggi. Karena ... tujuan saya hanya satu, Taz. Yaitu membahagiakan mereka dan mengangkat derajat keluarga."

"Kalau menurud saya salah."

"Loh, emang kenapa, Ustaz?" tanya Rudi penasaran.

"Dalam kehidupan ini, kita tidak boleh memaksakan kehendak. Apalagi sampai membentak, bahkan melawan kedua orangtua. Sekalipun untuk pendidikan, karena hakikatnya orangtua sangat paham apa yang kita rasakan."

"Oh, begitu. Hmmm ... berarti niat saya untuk mengangkat derajat orangtua juga salah, ya, Taz. Saya kira, segala hal positif akan berdampak positif juga dalam hidup ini," titah Rudi menjelaskan persepsinya.

"Anak muda, terkadang apa yang menurut kita benar belum tentu benar juga di mata Allah SWT. Begitupun sebaliknya, belum tentu apa yang kita anggap salah, juga salah di mata-Nya." Si ustaz pun menjawab dengan membuang cengir.

Nasihat yang ia berikan sangatlah membuat Rudi nyaman, walaupun akhirnya harus mengubur kembali keinginan, remaja berusia delapan belas tahun itu mulai mengerti akan maunya sang waktu dalam menuntun kehidupan.

Entah kenapa, sejak salat di musala Rumah Sakit, Rudi tampak sedikit senang. Apalagi kehadiran ustaz yang mengaku sebagai penjaga musala, mampu membuat tenang jika berbicara padanya. Belum lama berbincang, remaja berambut cepak itu mendengar tapakan kaki dari arah luar ruangan.

Akan tetapi, Rudi tidak tahu siapa yang datang dengan membawa suara sendal jepit itu. "Le, kamu ngapain masih di sini, Nak?"

Dari ambang pintu, sang ibu pun menatap putranya yang tengah membelakangi arah kiblat. Khairia pun bergeming seraya celingukan tanpa henti, karena ia sempat mendengar suara orang dewasa yang mengajak putranya berbincang.

"Mak, kok, masih di situ? Ke sini, kita berbincang sama Pak Ustaz," ajak Rudi mempersilakan.

"Le, kamu lagi mengigau atau bagaimana? Di sini enggak ada siapa-siapa, Nak!" seru Khairia, ia membuang ekspresi sangat bingung dengan ucapan sang anak.

Dengan pongahnya, Rudi pun menoleh perlahan. "Masa enggak lihat ada Pak Ustaz, di—"

Remaja bercelana jins itu menatap mantap ke arah depan, ia pun seakan bingung karena tidak mendapati seorang lelaki berserban yang tadinya ia ajak berbincang. Seraya menggaruk kepala dua kali, sang ibu pun memasuki ruang musala seraya celingukan tanpa henti.

Yang ada hanyalah kipas angin ditimpali jarum jam, suara kecil itu memecah keheningan subuh di musala.

"Le, ayo, kita kembali," ajak wanita paruh baya itu.

Rudi pun berpikir keras seraya mendudukkan badan, ia menggaruk kepala beberapa kali sembari bersenandika. 'Kok, Pak Ustaz tadi hilangnya cepat banget. Perasaan aku baru saja curhat sama dia. Kalaupun hantu, mana mungkin muncul di tempat ibadah. Ah, sudahlah, mungkin aku lagi berhalusianasi saja.'

Sembari membangkitkan badan, Rudi pun berdiri tegap di hadapan sang ibu, lalu mereka keluar dengan berjalan seiringan. Karena merasa sangat kepo oleh pendengaran barusan, Khairia pun ingin bertanya serius pada putranya.

"Le, emak mau tanya sama kamu."

"Mau tanya apa, Mak?" jawab Rudi sekenanya.

"Tadi kamu ngomong sama siapa di musala?" tanya sang ibu lagi.

Rudi pun menarik panas panjang seraya menjawab, "tadi Rudi lagi bicara sama Pak Ustaz, dia bilang kalau dia adalah penjaga musala itu delapan belas tahun. Ya, udah, kami curhat saja."

"Tapi ketika emak ada di depan pintu enggak melihat siapa pun selain kamu, Le. Padahal, pas emak lagi di samping ruang praktik, dengar suara orang dewasa yang lagi ngobrol serius."

"Hmmm ... mungkin Pak Ustaz keluar sebelum Emak datang, karena dia malu kali, jumpa dengan perempuan yang bukan muhrimnya," papar Rudi menjelaskan.

"Benar juga kata kamu, Le. Ya, sudahlah, temani emak keluar cari sarapan. Kamu lapar enggak?" tanya sang ibu.

Tanpa menjawab, remaja berambut cepak itu mengangguk sembari membuang senyum kecil. Mereka pun bersama-sama keluar dari rumah sakit seraya berjalan menuju luar. Tepat di seberang jalan, ada sebuah rumah makan yang telah buka lebih awal.

Rumah makan khas yang menjual nasi Padang itu menawarkan berbagai menu, tampak dari lemari kaca telah ada lauk pauk dan segala sayur. Mereka pun berjalan laju menuju rumah makan itu dan masuk bersamaan.

"Le, kamu mau makan apa?" tanya sang ibu.

"Rudi makan ikan sambal aja, Mak," jawab Rudi tanpa berpikir panjang.

"Mbak, ikan sambal dua," kata wanita paruh baya itu kepada penjual.

"Tunggu sebentar di kursi, Bu, biar saya bungkus nasinya." Penjual itu mempersilakan pembeli untuk menunggu sebentar.

Seraya menanti, Rudi pun merogoh kantong celananya dengan menggunakan tangan kanan. Kedua netranya terpaku sejurus pada layar ponsel yang sudah pecah akibat benturan keras. Secara saksama, sang ibu pun menoleh ke samping kanan.

"Le, kenapa dengan ponsel kamu?" tanyanya.

"Ah, ini, Mak. Layarnya pecah," jawab Rudi sekenanya.

"Ya, sudah jangan sedih. Besok kita perbaiki di konter saja, agar kamu bisa pakai lagi."

"Ta-tapi, Mak. Rudi enggak punya uang untuk membayar," jawab sang anak.

"Besok emak yang bayar, kamu jangan khawatir."

Beberapa menit kemudian, datanglah penjual dengan membawa dua bungkus nasi. Kemudian ia berdiri tegap di hadapan sang ibu.

"Bu, ini nasinya," ucap penjual nasi Padang.

Khairia membayar nasi dan mengambil sodoran dari penjual cantik itu, lalu mereka berdua meninggalkan rumah makan segara berjalan menyeberangi aspal dan kembali menuju rumah sakit.

Tepat di depan ruang UGD, mereka mendudukkan badan. Kemudian keduanya membuka nasi bungkus yang telah dibeli tadi. Dangan lahap, Rudi menyantap nasi tersebut tanpa ada sisa.

Sang ibu memerhatikan tanpa henti, karena ia tidak pernah melihat sang anak sangat bersemangat makan subuh.

"Kalau makan pelan-pelan, Le," kata sang ibu.

"He-he-he ... lapar banget Rudi, Mak," jawab remaja berbaju kaus itu.

Menggunakan tangan kanan, sang ibu pun mengelus kepala anaknya dengan sangat lembut. "Kasihannya anak emak, pasti kelaparan sekali dari siang enggak makan."

Setelah selesai makan, remaja itu menatap sang ayah dari ambang pintu. Lalu ia menarik napas berat dan memutar potret kilas balik ucapan sang ustaz beberapa jam yang lalu.

'Anak muda, terkadang apa yang menurut kita benar belum tentu benar juga di mata Allah SWT. Begitupun sebaliknya, belum tentu apa yang kita anggap salah, juga salah di mata-Nya.'

"Ternyata yang dibilang ustaz ada benarnya, tidak semua menurut kita baik akan baik juga untuk orang lain. Begitu pun sebaliknya. Terima kasih, ustaz, karena telah memberikan pandangan yang indah dan pengajaran singkat untuk aku." Rudi pun berkata sendiri tepat di ambang pintu ruang UGD.

Bersambung ...

Ketua BEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang